Darurat Perceraian, Darurat Ketahanan Keluarga, Solusinya?
HTI Press. Samarinda. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menyelenggarakan Forum Muslimah untuk Peradaban (Formuda) edisi ke-17. Tema yang diangkat adalah “Darurat Perceraian, Darurat Ketahanan Keluarga, Solusinya?” di Hotel Grand Jamrud II Jln. Panglima Batur Lt. 2 Samarinda pada Ahad (20/11/2016). Tidak kurang 150 peserta hadir dari kalangan tokoh, majelis taklim, organisasi kemasyarakatan/lembaga perempuan, mahasiswia, dan Ibu tumah tangga.
Dalam sebuah tayangan video sebagai pembuka acara memperlihatkan realitas masyakarat dengan kasus perceraian yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. “Hingga November 2016 saja sudah terdata 8.000 kasus perceraian dan mirisnya kasus perceraian ini didominasi oleh cerai gugat oleh perempuan (70%),” papar Rahmawati Al Hidayah, Pemandu Acara.
Sementara, Aafiah Lasemi, mewakili DPD I MHTI Kaltim, dalam sambutannya berharap dengan mengangkat tema ini masyarakat menyadari bahwa hanya islamlah yang mampu menjaga ketahanan keluarga yang darinya akan lahir generasi khoiru ummah.
Irma Suriani, S.H (Dosen Fakultas Hukum Unmul), memaparkan, bahwa pokok permasalahan dari tingginya angka perceraian karena ketidakharmonisan rumah tangga, masalah ekonomi, KDRT, selingkuh, dan sebagainya. Termasuk tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri dalam pernikahan.
Sehingga menurut Irma, solusinya adalah kembali memahami Islam, memenuhi hak dan kewajiban suami dan istri sesuai panduan al-Quran dan as-Sunnah serta menciptakan kualitas keluarga. “Dari keluarga yang kuat dan berkualitas inilah akan lahir bibit-bibit yang berkualitas dan generasi yang religius,” jelas Irma.
Sementara itu, Juli Nurdiana, M.Sc (Dosen Fakultas Tehnik Unmul), mengungkapkan bahwa tingginya angka perceraian disebabkan karena penerapan sistem sekuler yang menganut paham kebebasan, paham serba boleh dan serba hedonis.
Terkait data tingginya angka perceraian Juli menanggapi, “Perceraian, it’s not just a statistic, karena faktanya pada tahun 2013 dan 2014 saja kasus perceraian sudah menembus angka 43 kasus/jam, bahkan kasus perceraian di Indonesia tahun 2013 adalah yang tertinggi di Asia Pasifik,” beber Juli.
Menurutnya, faktor utama perceraian adalah faktor eksternal yaitu penerapan sistem sekuler kapitalis dan faktor internal yaitu ketahanan keluarga yang rapuh karena tidak dijadikannya Islam sebagai pondasi pembangun keluarga.
Sejalan dengan pemaparan kedua pemateri sebelumnya, Ratna Sari Dewi, SE (Anggota MHTI Kaltim) yang didapuk sebagai pemateri terakhir memaparkan tingginya angka perceraian dipicu oleh kurangnya pemahaman Islam setiap individu dan masuknya tsaqofah asing ke dalam negara secara bebas dan parahnya negara mengadopsi tsaqofah asing tersebut sebagai sistem tata kelola negara. “Paham sekuler inilah penyebab utama tingginya angka perceraian. Merasuknya paham kebebasan ini ke dalam keluarga akhirnya berhasil memporak-porandakan benteng terakhir kaum muslimin,” ungkap Ratna.
Karenanya, menurut Ratna, solusinya adalah mengembalikan Islam sebagai pondasi dasar keluarga, sehingga akan terwujud keluarga yang kuat, tangguh, dan mandiri. Selain itu yang utama adalah menjadikan Islam sebagai sistem yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan dan mengembalikan peran negara sebagai sokoguru ketahanan keluarga.[]