Pungli, singkatan dari “pungutan liar”. Pungutan yang dilakukan ilegal, karena tidak ada dasar hukum, baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah lainnya. Namun, pungutan ilegal ini justru dilakukan oleh penegak hukum, yang seharusnya bertugas menegakkan hukum. Justru, mereka tergoda, memanfaatkan posisi mereka sebagai penegak hukum untuk melakukan pelanggaran hukum.
Harta yang dikumpulkan dari hasil pungli ini jelas haram. Dalam Islam, harta seperti ini masuk dalam kategori “ghulul” atau “suht”. Hanya saja, dalam praktiknya pungli ini dilakukan oleh petugas di lapangan, yang notabene berpangkat rendah. Lalu, apa yang mendorong mereka melakukan pungli?
Faktor pemicunya pun bisa bermacam-macam. Bisa faktor ekonomi, karena gajinya rendah. Bisa faktor lingkungan, karena harus setor ke atasan, atau karena melihat atasannya mendapatkan setoran cukong di belakang. Bisa karena faktor psikologis, dengan hilangnya qana’ah, sehingga selalu merasa kurang. Selain itu, tentu faktor sistem yang memungkinkan orang melakukan tindakan tersebut.
Semua faktor ini, baik sendiri-sendiri, atau bersama-sama telah membentuk mentalitas dan karakter aparat penegak hukum. Situasi dan kondisi seperti ini tentu tidak akan ada dalam sistem khilafah.
Akidah dan Ketakwaan
Akidah Islam yang menjadi dasar negara dan hukum Allah yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat telah membentuk kesadaran rakyat negara khilafah, baik secara individual maupun kolektif. Kesadaran inilah yang membuat mereka disiplin dalam menegakkan hukum. Karena, pelanggaran sekecil apapun berarti maksiat dan dosa. Filosofi, mazju al-madah bi ar-ruh [mengintegrasikan materi dengan ruh], dalam bernegara ini benar-benar menjadikan kesadaran rakyat sangat tinggi.
Bahkan, sekecil apapun pelanggaran yang terjadi, dengan mudah akan terdeteksi. Karena, kesadaran dan kedisiplinan ini telah membentuk karakter dan kultur penegakan hukum yang luar biasa. Mulai dari negara, masyarakat hingga individunya. Masing-masing individu, dengan ketakwaannya, selalu di jalan ketaatan. Jika dalam satu kesempatan tergelincir, maka dia segera insaf, bertaubat dan meninggalkannya. Jika pun harus dijatuhi sanksi, maka negara akan menjatuhkan sanksi dengan seadil-adilnya. Jika individu dan negara sama-sama tidak bertindak, maka masyarakat akan melakukan kontrol sosial.
Amar makruf dan nahi munkar benar-benar ditegakkan, sehingga langit tetap tegak. Amar makruf dan nahi munkar ini sekaligus mempunyai fungsi kontrol, agar kesalahan yang terjadi tidak menjadi habit (kebiasaan), apalagi tradisi dan kultur yang akut di tengah masyarakat. Ketika ada upaya-upaya melakukan pungli, masyarakat yang diminta, dengan kesadarannya akan menolak memberi apa yang diminta, bahkan dengan berani akan mencegah kemungkaran tersebut dengan tangan, lisan, dan hatinya. Semuanya ini, karena faktor ketakwaan yang ada pada dirinya.
Selain masyarakat, kedisiplinan pun harus ditegakkan oleh negara. Jika ada aparat penegak hukum yang jelas-jelas melakukan pungli, maka bisa dirampas harta haramnya, dan dikenai sanksi atas kejahatannya. Termasuk diberhentikan dari pekerjaannya. Selain menghentikan praktik pungli jalanan, negara juga akan menindak aparat penegak hukum yang terbukti mendapatkan dana-dana haram dari cukong di belakangnya. Bisa dengan dikenai sanksi, dipecat, dan dirampas harta haramnya.
Pembinaan Mental
Aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, pengacara, termasuk tentara harus mendapatkan pendidikan tsaqafah Islam. Mulai dari akidah, hukum syara’, hingga tsaqafah umum lainnya. Tsaqafah ini diberikan sebagai dasar, dan modal penting bagi mereka dalam mengendalikan diri, emosi, termasuk meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual.
Jika program dan kegiatan ini berjalan, dan dilakukan terhadap seluruh penegak hukum, maka selain aspek ketakwaan akan semakin kokoh mengakar di dalam dirinya, di sisi lain dampaknya akan terlihat dalam gaya hidup dan sikap mereka. Jika semuanya itu bisa dilakukan, maka wibawa penegak hukum yang saat ini runtuh itu pun akan kembali. Kepercayaan yang hilang terhadap mereka pun pulih.
Dengan kembalinya mentalitas aparat penegak hukum yang benar, maka faktor-faktor psikologis, lingkungan, dan ekonomi akan bisa diselesaikan dengan baik. Mentalitas ini sekaligus akan membentuk lingkungan dan kultur yang sehat, baik di dalam korpsnya maupun di tengah-tengah masyarakat.
Selain mentalitas para penegak hukumnya, mentalitas rakyat pun dibina. Pembinaan tersebut bisa dilakukan melalui berbagai sarana. Bisa melalui televisi, radio, media sosial, koran, majalah, tabloid atau kegiatan-kegiatan publik. Mulai dari khutbah Jumat, kajian di masjid-masjid, masyarakat, perkantoran dan sebagainya. Dengan begitu, mentalitas rakyat pun akan terbangun dengan baik dan benar.
Sistem dan Sanksi
Dengan sistem Islam yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat, mulai dari level individu, masyarakat hingga negara, maka faktor yang menjadi pemicu terjadinya pungli tersebut dengan sendirinya bisa dihilangkan. Sebut saja faktor ekonomi, karena gaji minim, kehidupan susah, biaya hidup mahal, dan sebagainya. Semuanya ini akan bisa diatasi dengan mudah, jika sistem Islam diterapkan. Karena, sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan dijamin oleh negara, dan dipastikan akan sampai kepada seluruh masyarakat.
Jika sistem tersebut telah dijalankan, sehingga faktor ekonomi yang menjadi pemicu pungli tersebut tidak ada, maka potensi dilakukannya pungli, boleh jadi karena tidak takut sanksi. Karena itu, negara harus memberlakukan sanksi yang tegas dan keras, terutama kepada penegak hukum yang bertugas menegakkan hukum. Mulai dari takzir, dirampas hartanya, dicopot, dan diberhentikan kerja, dipenjara hingga dipublikasikan.
Semua tindakan dan sanksi tersebut dilakukan untuk menutup celah, sekecil-kecilnya agar pintu pelanggaran itu tidak semakin lebar, bahkan sebaliknya. Sanksi tidak hanya diberikan kepada aparat penegak hukumnya, tetapi juga diberikan kepada masyarakat yang dengan sadar memberikan sesuatu kepada aparat. Termasuk cukong-cukong yang sengaja membeli aparat di belakang, agar bisa mengendalikan dan menguasai penguasa. Wallahu a’lam[]
Tabloid Mediaumat Edisi 184