Gereja Katolik di Rwanda, Minggu (20/11/2016), menyampaikan permohonan maaf atas keterlibatan gereja dalam kekejaman genosida di tahun 1994.
Selain permintaan maaf, pihak gereja pun menyesali terlibatnya orang-orang di dalam lingkup gereja dalam aksi pembantaian etnis di negara itu.
Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok, dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut.
“Kami memohon maaf untuk seluruh keputusan dan tindakan salah yang telah diambil pihak gereja kala itu,” demikian kalimat yang tertuang dalam pernyataan tertulis Konferensi Wali Gereja.
Pernyataan itu dibacakan di seluruh paroki yang ada di negara itu.
Paroki adalah komunitas jemaat yang dibentuk secara tetap dengan batas-batas kewilayahan tertentu dalam keuskupan.
“Kami memohon maaf atas nama umat Kristen untuk segala bentuk kesalahan di masa lampau. Kami pun menyesali adanya anggota gereja yang terlibat dalam aksi itu.”
Pernyataan itu sekaligus menjadi pengakuan bahwa anggota gereja pun ikut merencanakan, membantu dan bahkan melakukan eksekusi dalam genosida di Rwanda.
Lebih dari 800.000 etnis Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh ekstrimis Hutu di masa itu.
Tahun-tahun berikutnya setelah aksi genosida, yang dipicu tewasnya presiden kala itu dalam kecelakaan pesawat, gereja setempat pernah membantah keterlibatan gereja dalam pembunuhan massal.
Mereka mengatakan para pejabat gereja yang melakukan kejahatan itu bertindak secara individual.
Banyak korban pembantaian yang tewas di tangan para pemuka agama, dan aktivis gereja lainnya di masa itu.
Cerita ini muncul dari pengakuan korban pembantaian yang selamat, dan juga pernyataan Pemerintah Rwanda yang menyebut banyak warga tewas di dalam gereja-gereja.
Pernyataan Gereja Katolik saat ini menjadi sebuah perkembangan positif dalam upaya rekonsiliasi di Rwanda.
“Ampunilah kami atas kejahatan berlandas kebencian yang telah kami lakukan kepada saudara kami hanya karena mereka berbeda suku.”
“Kami tidak menunjukkan bahwa kita semua adalah keluarga besar, namun malah melakukan perbuatan saling bunuh.”
Pastor Phillipe Rukamba, selaku Jurubicara untuk Gereja Katolik di Rwanda, seperti dikutip Associated Press, mengatakan, pernyataan ini muncul di penghujung Tahun Pengampunan yang dideklarasikan Paus Fransiskus.
Momen ini, kata Rukamba, menjadi kesempatan untuk mendorong upaya rekonsiliasi yang lebih besar, dan pengampunan untuk gereja di Rwanda dan juga di dunia.
Sementara itu, Tom Ndahiro, seorang peneliti peristiwa genosida di Rwanda, berharap, pernyataan gereja ini akan mendorong persatuan di antara warga Rwanda.
“Saya sangat bahagia, menyaksikan apa yang mereka sampaikan dalam pernyataan itu. Gereja meminta maaf, karena tak mampu meredam aksi genosida,” ungkap Ndahiro. (kompas.com, 21/11/2016)