Semua warga di wilayah Xinjiang yang sebagian besar dihuni Muslim China harus menyerahkan paspor mereka ke kantor polisi setempat untuk “Pemeriksaan dan pengurusan”, menurut Global Times, sebuah surat kabar pemerintah.
“Siapa saja yang membutuhkan paspor harus memintanya ke kantor polisi,” kata seorang perwira polisi di provinsi Aksu yang tidak mau disebut namanya kepada koran tersebut pada hari Kamis (24/11), sambil menambahkan bahwa kebijakan tersebut telah dilaksanakan di seluruh Xinjiang.
Artikel di Global Times menyususl banyaknya laporan mengenai kontrol paspor yang diperketat di kota-kota di seluruh wilayah tersebut.
Sementara peraturan itu mencakup semua orang yang tinggal di wilayah tersebut, banyak penduduk Xinjiang yang memikiki lebih dari 10 juta jiwa penduduk minoritas Muslim Uighur mengeluhkan diskriminasi tersebut- termasuk penolakan terhadap permohonan paspor – serta kontrol atas budaya dan agama mereka.
Pada pertengahan bulan Oktober, biro keamanan publik kota Shihezi memposting peraturan pada akun media sosial yang meminta warga untuk menyerahkan paspor mereka ke polisi.
Foto pemberitahuan lainnya yang diposting di media sosial menunjukkan pos polisi di berbagai kabupaten dan di ibukota wilayah Urumqi yang meminta warga menyerahkan paspor mereka atau menyatakan bahwa dokumen baru tidak akan lagi diterbitkan.
Seorang penduduk mengatakan: “Xinjiang menjadi semakin asing seiring berlalunya waktu.”
Pada bulan Juni, media pemerintah setempat melaporkan bahwa sebagian besar penduduk Kazakh dari wilayah perbatasan Xinjiang harus memberikan sampel DNA, sidik jari, dan suara kepada polisi termasuk “gambar tiga dimensi” bila ingin mengajukan dokumen perjalanan, termasuk paspor.
Seorang pejabat Xinjiang mengatakan kepada Global Times bahwa pengetatan kebijakan baru itu dimaksudkan untuk menjaga ketertiban sosial di wilayah tersebut.
Beijing terus-menerus menuduh adanya kelompok separatis, seperti Gerakan Islam Turkestan Timur, berada di balik serangan di Xinjiang, yang telah mengalami gelombang kerusuhan dengan kekerasan. (rz/aljazeera)