Gurita Penjajahan Asing-Aseng Makin Membahayakan Negara

[Al-Islam edisi 832, 25 Shafar 1438 H – 25 November 2016 M]

Menteri Perencanaan Pembangungan Bambang Brodjonegoro pada pertengahan November lalu mengatakan, “Ekonomi Indonesia saat ini tidak jauh beda dengan kondisi ekonomi saat kita dijajah Belanda…,” ujar Bambang (12/11/2016).

Jauh sebelum pernyataan di atas, mantan Presiden RI Habibie juga mengeluarkan keprihatinan serupa. Empat tahun silam Habibie mengatakan bangsa Indonesia mengalami situasi neo-VOC, yakni pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi. Kemudian negara tersebut menjual produk itu ke negara asal. Dengan demikian rakyat harus membeli jam kerja bangsa lain. “Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism atau VOC dengan baju baru,” katanya kala itu.

Penjajahan Asing-Aseng

Gurita penjajahan asing-aseng sudah sangat membahayakan negara karena sudah masuk ke segala sektor di Tanah Air, dari mulai perkebunan hingga industri migas. Dengan dalih investasi, Pemerintah mengizinkan masuknya pemodal asing ke negeri ini. Di sektor perkebunan, misalnya, kepemilikan lahan perkebunan sawit oleh asing semakin meningkat. Data dari Sawit Watch menyebutkan sekitar 50% dari luas areal perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, yakni sekitar 7,8 juta hektar, milik asing. Di antaranya pengusaha asal Malaysia, Singapura, AS, Inggris, Belgia. Perbandingannya 70:30. Tujuh puluh persen dikuasai asing. Sisanya dimiliki warga. Sebagian milik warga pun kerjasama dengan perusahaan asing.

Asing juga menguasai sektor kakao Indonesia. Produksi kakao Indonesia yang mencapai 700 ribu ton pertahun, sebanyak 75 persen pabrik pengolahannya yang berada di Indonesia adalah perusahaan multinasional. Nasib kopi juga sama mengenaskan. Banyak perusahaan asing kini menjadi pengepul langsung; membeli biji kopi dari petani lokal. Ini membuat petani tak bisa meminta harga yang pantas untuk dijual.

Di pasar saham, dominasi asing juga amat tinggi. Sebagian perusahaan yang ada di Indonesia ternyata sebagian besar sahamnya milik investor asing jika dibandingkan dengan investor dalam negeri. Bahkan menurut data Indonesian Stock Xchange, sekitar 64,3 persen saham dikuasai oleh investor asing dan sisanya oleh investor dalam negeri.

Di bidang minyak dan gas (migas), misalnya, ada 60 kontraktor asing. Mereka telah menguasai hampir 90% migas. Semua itu terjadi lantaran kebijakan liberalisasi di sektor tambang dan migas oleh Pemerintah (InilahREVIEW, 05/II/10/2012).

Pembangunan infrastruktur Indonesia juga sudah disapu bersih oleh perusahaan asing dari Tiongkok. Pada pertemuan Konferensi Asia-Afrika tahun lalu, Presiden Jokowi memastikan bahwa Tiongkok akan ikut berinvestasi dalam proyek infrastruktur.

Dari situs Sekretariat Kabinet disebutkan, proyek infrastruktur yang menggandeng Tiongkok antara lain pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW). Tiongkok juga terlibat dalam pembangunan jalur kereta supercepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.

Pemerintah Jokowi juga sudah mengizinkan asing menguasai tanah dan properti. Kawasan reklamasi pantai Jakarta sudah mulai ramai ditawarkan kepada kaum kaya di Tiongkok. Ini menunjukkan bahwa pembangunan reklamasi pantai di Jakarta memang bukan ditujukan kepada warga pribumi apalagi rakyat jelata, tetapi kepada kaum kapitalis aseng asal negeri seberang.

Bukan sekadar tanah, ada 16 pulau di Tanah Air yang sudah dikuasai asing. Pusat Data dan Informasi KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) menemukan fakta bahwa 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin tersebar di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Semuanya diabaikan begitu saja oleh Pemerintah.

Pahitnya Kebijakan Ekonomi Liberal

Cengkeraman penjajahan asing makin terasa sejak Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Selain belum mampu membangkitkan perekonomian nasional, sejumlah paket kebijakan justru menjerumuskan Indonesia ke dalam sistem ekonomi liberal. Melalui Paket Kebijakan Ekonomi Jilid X Pemerintah sudah mengizinkan pihak asing menguasai berbagai sektor usaha di Tanah Air. Ada 35 sektor usaha yang boleh dimiliki asing yang sebelumnya masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Bahkan sejumlah di antaranya boleh dikuasai hingga 100 persen, seperti sektor karet, gula, jalan tol, bahan baku obat dan lemari pendingin penyimpan ikan atau cold storage.

Banyak kalangan menilai kebijakan ini bagian dari liberalisasi ekonomi dan amat pro asing. Penyerahan sejumlah garapan untuk dikuasai pihak asing justru menyulitkan pengontrolan dan berpotensi mematikan perekonomian dalam negeri.

Pemerintahan Jokowi juga berencana akan mendorong Indonesia masuk ke dalam Pakta Perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP). Masuknya Indonesia ke dalam TPP justru akan memaksa Indonesia untuk semakin meliberalisasi perekonomian.

Jelas sudah, paket ekonomi dan berbagai kebijakan Pemerintah justru menjadi karpet merah untuk kaum kapitalis asing-aseng.

Penjajahan Lewat Utang

Asing juga semakin menguasai Indonesia akibat terus membengkaknya utang luar negeri. Baru dua tahun berkuasa, Jokowi telah berhasil mencatatkan sejarah utang luar negeri Indonesia yang begitu fantastis. Pada 2014 misalnya, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 2.608.78 triliun. Pada 2016 ini, total utang Pemerintah Pusat melesat menjadi Rp 3.263.52 triliun. Ini artinya, utang luar negeri Indonesia pada 2016 melonjak sekitar Rp 750 triliun lebih selama dua tahun pemerintahan Jokowi. Pada tahun ini saja Pemerintah harus menggelontorkan dana sebesar Rp 210 triliun hanya untuk membayar bunga utangnya saja yang akan jatuh tempo pada tahun 2017 nanti.

Pemerintahan Jokowi juga melakukan pinjaman utang ke Cina sebesar 40 miliar dolar AS atau sekitar Rp 520 triliun untuk refinancing sejumlah proyek insfrastuktur yang sebelumnya didanai tiga Bank BUMN.

Rezim Jokowi yang terlalu sering berutang dikhawatirkan oleh banyak kalangan akan memberikan celah bagi penguasaan aset-aset BUMN oleh pihak asing-aseng. Pemberian utang oleh Cina kepada Indonesia tentu tidak gratis. Pasalnya, selain harus membayar bunga, utang tersebut juga mensyaratkan berbagai hal. Dalam perjanjian tersebut, antara lain disyaratkan bahwa BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut harus bekerjasama dengan BUMN milik Cina.

Campakkan Liberalisme!

Jelas sudah bahaya yang mengancam negeri ini! Bukan Islam yang menjadi ancaman, tetapi justru kapitalisme dan imperialisme (penjajahan) yang dibuka pintunya oleh penguasa terhadap negeri ini. Padahal Rasulullah saw. telah mengingatkan para penguasa yang menipu rakyatnya dengan ancaman yang keras:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sementara dia dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kerusakan ini bukan sekadar karena para pemimpin yang tidak amanah, tetapi karena pemberlakuan kapitalisme-liberalisme. Sistem batil inilah yang membuat negeri ini tak pernah merasakan kemakmuran, justru membuat rakyatnya seperti anak ayam yang mati di lumbung padi.

Hanya Islam satu-satunya aturan yang dapat menyelamatkan negeri ini. Islam akan membangun kemandirian umat dan menciptakan ekonomi yang berkeadilan serta penuh berkah dari Allah SWT karena dibangun di atas asas ketakwaan.

﴿وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾

Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami itu). Karena itu Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu (TQS al-A’raf 7]: 96).

Kebijakan Pemerintah bertolak belakang dengan sistem politik dan negara dalam Islam. Seharusnya tugas dan peran penguasa dalam Islam adalah melakukan ri’âyah asy-syu’ûn al-ummah (mengelola urusan umat) dengan cara menerapkan syariah Islam dalam naungan Khilafah. Rasulullah saw. bersabda:

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Negara tidak boleh menyerahkan aset-aset negeri kepada asing maupun aseng yang menyebabkan mereka menjajah umat. Negara pun tidak boleh melakukan transaksi utang-piutang ribawi yang merugikan umat.

Sungguh tak pantas bila umat masih mempercayai sistem batil ini yang telah menciptakan kesengsaraan demi kesengsaraan. Bahkan keledai saja tak akan pernah jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali. Sudah saatnya umat kembali pada Islam. Sungguh Islam—dengan syariah dan Khilafahnya—bukanlah ancaman, tetapi rahmat dan pertolongan bagi siapa saja yang meyakininya. []

Komentar al-Islam:

Lintas Agama Sesalkan Tragedi Rohingya (Republika, 22/11/2016).

  1. Seperti biasa, dunia—termasuk PBB dan lembaga HAM—bungkam jika yang jadi korban kaum Muslim dan berteriak lantang jika yang jadi korban non-Muslim.
  2. Inilah bentuk ketidakadilan dunia di bawah kapitalisme-demokrasi.
  3. Jelas, Dunia Islam makin butuh Khilafah, yang akan melancarkan jihad besar melawan segala penistaan dan penindasan kaum kafir atas kaum Muslim!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*