Ribuan Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar di mana mereka telah diserang oleh pasukan keamanan Myanmar diusir kedatangannya oleh otoritas Bangladesh, menurut Amnesty International.
Muslim Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana puluhan orang telah tewas dan sebanyak 30 ribu orang mengungsi.
Serangan dari militer Myanmar dianggap sebagai akssi balas dendam atas serangan pada tiga pos polisi di perbatasan pada bulan lalu yang menewaskan sembilan orang polisi Myanmar namun penduduk Rohingya sebenarnya telah mengalami penganiayaan di negeri itu selama bertahun-tahun.
“Penduduk Rohingya sedang ditekan oleh tindakan tidak berperi kemanusiaan baik oleh Burma [Myanmar] maupun otoritas Bangladesh,” kata Champa Patel, Direktur Amnesty Asia Selatan
Dia menambahkan: “Pemerintah Bangladesh seharusnya tidak boleh menambah penderitaan Rohingya. Mereka harus diakui dan dilindungi sebagai pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan, bukan malah dihukum karena mereka adalah Rohingya.”
Pada awal pekan ini, seorang pejabat senior PBB, John McKissick, menuduh pemerintah Myanmar berusaha melakukan pembersihan etnis negara itu dari kelompok minoritas Muslim.
Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, telah menjadi sasaran kritik karena tidak berbuat apapun untuk mengakhiri aksi militer, yang – menurut laporan para saksi yang disampaikan kepada Amnesty Internasional- termasuk menembaki penduduk desa dengan helikopter tempur, membakar ratusan rumah, melakukan penangkapan dengan sewenang-wenang dan memperkosa kaum perempuan dan anak perempuan mereka. Namun, pemerintah Myanmar membantah tuduhan pelanggaran HAM oleh militer dan menuduh “para pelobi Rohingya” menyebarkan akun palsu.
Terdapat sekitar 1 juta penduduk Rohingya di Myanmar yang ditolak kewarganegaraannya. Pemerintah Bangladesh telah menolak untuk memberikan status pengungsi kepada Rohingya yang tiba dari Myanmar sejak tahun 1992. (theguardian, 25/11/2016)