Aksi Damai 212: Aksi Bermartabat, Memurnikan Keadilan

b1c3b0c39330c813f11a0be700b47604

HTI Press, Jakarta. Pada Jumat, 2 Desember 2016 kemarin telah digelar dengan khidmat dan damai yakni Aksi Damai Bela Islam jilid III di kawasan Monas Jakarta. Tidak kurang dari 4 juta umat Islam hadir dan jumlah tersebut terus bertambah hingga meluber ke berbagai jalan raya yang menjalar ke seluruh penjuru. Aksi gelar sajadah, doa bersama, dan sholat Jumat berjamaah ini sebagai kelanjutan dari Aksi Damai 411 menuntut penangkapan atas kasus penistaan agama oleh Gubernur non Aktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Aksi ini banyak mendapat apresiasi dan kisah heroik yang mampu meneteskan air mata. Disebut-sebut sebagai shalat Jumat berjamaah terbesar di dunia dengan tablig akbar terbesar yang pernah ada. Banyaknya massa yang datang di luar perkiraan Kapolri dan tim Gerakan Nasional Pendukung Fatwa (GNPF) MUI. Belum terhitung mereka yang gagal atau terlambat datang akibat pembatalan sepihak perusahaan bus, kemacetan, atau hal teknis tak terduga lainnya. Bukan main, peserta tak hanya datang dari Jabodetabek, bahkan dari berbagai daerah di Indonesia hingga Malaysia. Yang mencengangkan kita semua, kafilah Ciamis yang tak gentar dengan berbagai “hembusan makar” yang membuat mereka datang dengan berjalan kaki hingga ke Jakarta telah menjadi pembangkit bagi daerah-daerah lainnya seperti Bogor, Ciputat, dan Cianjur untuk turut mengikuti jejak mereka, berjalan kaki ke Jakarta. Allahu Akbar!

Suara-suara yang selama ini menuduh para peserta aksi sebagai peserta bayaran (500 ribu) tampak kehilangan bahan gorengan berita. Fitnah keji soal aksi yang kerap merusak, harus menerima kenyataan bahwa Islam dan ajarannya adalah sebuah inspirasi aksi bermartabat. Peserta datang mengenakan baju putih-putih meneduhkan, ber-shaf rapi tertib, menengadahkan doa pada Rabb Pencipta, Allah Swt. Aksi ini tentu tidak sama dengan kemarin. Tidak untuk datang ke Istana, mengetuk pintu presiden yang terhormat, yang tak berbalas ketukannya. Aksi Damai Bela Islam jilid III meminta dibukakannya pintu langit, untuk keselamatan Indonesia dari tangan jahil, kemunafikan, dan sistem kufur. Seperti doa yang dilantunkan oleh Ustadz Arifin Ilham, “Ya Allah, Al Maidah 51 kepunyaan-Mu, Al Maidah 51 kemuliaan-Mu, maka tegakkan ayat itu di negeri ini ya Allah”.

Fokus pada Substansi

Jika dicermati, isu dan persiapan jelang Aksi Bela Islam Jilid III (Aksi 212) ini tidaklah mulus. Penuh liku dan nuansa menghampiri. Umat masih ingin bersikap optimis di tengah kehidupan pragmatis yang kerap penuh kesimpangsiuran. Hanya demi seorang pelaku politik, pemerintah Indonesia dibuat kerepotan menghalau opini yang dinamis tak terbendung lagi. Aroma neo liberalisme dan neo imperialisme tercium kuat berada di balik sulitnya penanggulangan kasus penistaan agama ini.

Hadirnya Presiden Jokowi pada momen Aksi 212 tak memberikan makna lebih, selain bahwa kali ini citra presiden di hadapan rakyatnya sedikit terselamatkan dengan kata sambutan singkat tersebut. Kemana arah perjuangan dan keberpihakan pemerintah sebenarnya? Ambiguitas ini memancing beragam spekulasi untuk dihadirkan. Yang pada akhirnya, cepat atau lambat, keadilan akan mencari jalannya sendiri. Rakyat memang telah lelah berharap banyak. Yang diperlukan sekarang ialah berbuat lebih banyak dari sebelumnya, berpikir lebih jeli, dan tidak terjebak pada opini pengecoh oleh mereka yang berkepentingan.

Umat Islam dan ulama tidak boleh terjebak pada kanalisasi kepentingan dan ritme yang dibuat musuh. Rentetan Bela Islam 411 hingga 212, meski dibungkus judul besar “Aksi Super Damai” harus dibawa di atas rel perjuangan yang murni untuk menuntut keadilan atas Ahok sebagai simbol kuatnya cengkeraman asing.

Hari ini umat Islam telah membuktikan makna aksi bermartabat dan bersikap adil menunggu tegaknya kasus penistaan ini di ranah hukum. Bola panas itu kini berada di tangan pemerintah. Siapkah bersikap lebih memanusiakan kehidupan beragama di Indonesia? Siapkah bergerak lebih cepat, secepat mereka mengeksekusi kasus lainnya? Sebab agama ialah untuk manusia, maka sudah seharusnya tidak boleh ada penistaan atas kitab suci agama maupun pemeluk-pemeluknya. Bukan soal memaafkan, atau lagu lama toleransi. Kemurnian keadilan memang harus ditegakkan, tanpa pandang bulu.

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Maidah: 50)

Melalui surah Al Maidah ayat 51, sesungguhnya Allah Swt. telah menghentakkan keimanan kita tentang kepemimpinan kafir. Sementara di ayat sebelumnya yakni Al Maidah ayat 50, Allah Swt. pun menyadarkan, sistem yang terbaik berada di tangan-Nya. Maka sudah selayaknya setiap diri kita insyaf diri dan memurnikan tujuan hakiki dalam hidup, termasuk kehidupan bernegara. Secara retoris Allah Swt. bertanya dan menantang para sesembahan tandingan di kalangan manusia, apakah hukum manusia (jahiliyah) yang kamu kehendaki?

Maka Saudaraku, apakah hukum buatan manusia yang lemah ini yang kita kehendaki? Tidaklah dan tidak akan pernah keadilan tegak kokoh di muka bumi kecuali jika syariah Allah Swt. terpancang di bumi. Keadilan itu masih panjang nan berliku dalam ranah tarik ulur demokrasi. Jangan lemah dan berputus asa. Sesungguhnya kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Wallahu a’lam. [] Ayyat Akhras F

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*