Seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari berbagai disiplin ilmu tidak pernah berselisih pendapat atas keharaman menyerahkan Imamah (kepemimpinan) kepada orang kafir, baik kafir asli atau karena murtad dari Islam. Perkara ini termasuk ma’lûm[un] min ad-dîn wa adh-dharûrah. Siapa saja yang mengingakri kepemimpinan kafir atas kaum Muslim sama seperti mengingkari keharaman daging babi, khamer, darah mengalir, riba dan perzinaan. Pelakunya dihukumi murtad dari Islam dan diminta bertobat kembali ke dalam Islam. Jika menolak, ia wajib dihukum mati.Dalil yang menunjukkan keharaman kepemimpinan orang kafir atas kaum Muslim ditunjukkan oleh al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Shahabat dan Qiyas.
Dalil al-Quran al-Karîm
Banyak ayat al-Quran yang menjelaskan keharaman mengangkat orang kafir sebagai pemimpin kaum Muslim. Pertama: Perintah untuk menaati ulil amri dari kalangan kaum Mukmin:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri dari kalangan (QS an-Nisa‘ [4]: 59).
Allah SWT tegas memerintahkan kita untuk menaati pemimpin Muslim. Sebab, frasa minkum bermakna “dari kalangan kaum Mukmin”. Pertanyannya: Bagaimana mungkin kaum Muslim bisa menunaikan kewajiban mereka untuk menaati pemimpin Muslim jika dipilih dan diangkat adalah pemimpin kafir?
Kedua: Larangan condong kepada orang kafir (musyrik):
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim sehingga kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (QS Hud (11):113).
Condong kepada orang-orang kafir adalah haram, apalagi memilih mereka menjadi pemimpin yang harus didengar dan ditaati.
Ketiga: Larangan menaati orang-orang kafir:
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيرًا * فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
Andai Kami menghendaki, Kami benar-benar mengutus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Karena itu janganlah kalian mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar (QS al-Furqan [25]: 51-52).
Allah SWT juga berfirman:
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا
Bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang kafir di antara mereka (QS al-Insan [76]: 24).
Ayat di atas, juga banyak ayat-ayat lainnya, menunjukkan larangan menaati orang kafir dan perintah memerangi mereka. Ini sekaligus menunjukkan larangan mengangkat mereka sebagai pemimpin.
Keempat: Larangan ber-muwâlah kepada orang-orang kafir:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai wali; sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai wali, sungguh dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS al-Maidah [5]: 51).
Jika ber-muwâlah kepada orang kafir dilarang, apalagi lagi mengangkat mereka sebagai pemimpin.
Kelima: Perintah memerangi kaum kafir.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, perangilah kaum kafir dan kaum munafik itu, serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Neraka Jahanam. Itulah tempat kembali yang paling buruk (QS at-Taubah [9]: 73).
Berdasarkan ayat ini, bagaimana orang kafir absah dijadikan pemimpin bagi kaum Muslim, sedangkan mereka wajib diperangi dan diperlakukan dengan keras?
Keenam: Orang kafir wajib membayar jizyah sebagai bukti ketundukan mereka kepada kaum Muslim:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah kaum yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir, yang tidak mengharamkan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya haramkan, dan tidak beragama dengan agama yang benar (Islam), yaitu kaum yang diberi al-Kitab, hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dan mereka dalam keadaan tunduk (QS at-Taubah [9]: 29).
Bagaimana bisa dinyatakan orang kafir absah memimpin kaum Muslim, sedangkan mereka wajib diperangi dan membayar jizyah kepada kaum Muslim?
Para fukaha mensyaratkan penyerahan jizyah oleh orang kafir harus disertai dengan ketundukan terhadap hukum dan kekuasaan Islam. Mereka tidak boleh dibiarkan menampakkan permusuhan atau penghinaan terhadap keyakinan dan hukum Islam. Bagaimana bisa dinyatakan orang kafir yang wajib membayar jizyah dan harus tunduk di bawah aturan Islam boleh diangkat menjadi pemimpin?
Ketujuh: Larangan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Muslim:
وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Allah sekali-kali tidak akan memberi kaum kafir jalan untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa‘ [4]: 141).
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Kepemimpinan adalah jalan paling besar untuk menguasai dan mengatur kepentingan kaum Muslim.”
Imam al-Qurthubi menyatakan, “Allah tidak akan pernah menjadikan bagi kaum kafir atas kaum Mukmin jalan untuk menghapus negara kaum Mukmin, melenyapkan pengaruh mereka dan mencederai kesucian mereka.”
Menyerahkan kepemimpinan kepada orang kafir sama artinya dengan memberi mereka jalan untuk menguasai kaum Muslim. Ini adalah perbuatan haram.
Dalil as-Sunnah
Di dalam as-Sunnah, banyak riwayat menjelaskan keharaman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Ubadah bin Shamit ra. berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Nabi saw. menyeru kami. Lalu kami membaiat beliau. Beliau berkata, “Dalam semua hal yang telah disyaratkan kepada kami,” yakni agar kami membaiat beliau untuk selalu mendengar dan taat baik kami dalam keadaan senang atau benci, sulit atau mudah dan dikuasai oleh egoisme pribadi; juga agar kami tidak mencabut suatu urusan (kepemimpinan) dari pemegangnya, “kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (HR al-Bukhari).
Riwayat di atas menjelaskan ihwal kewajiban memakzulkan pemimpin yang jatuh ke dalam kekufuran secara nyata.
Rasulullah saw. juga telah memerintahkan untuk memerangi penguasa yang tidak menegakkan shalat (hukum Islam). Ummu Salamah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkaran mereka. Siapa saja yang membenci mereka, terbebas (dari dosa). Siapa saja yang mengingkari mereka, selamat. Namun, siapa saja yang rela dan mengikuti mereka, (celaka).” Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi mereka? Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.” (HR Muslim).
Mafhûm hadis ini menunjukkan jika penguasa tidak lagi menegakkan shalat, dia wajib diperangi. Imam Muslim juga menuturkan sebuah riwayat yang menjelaskan kewajiban memerangi penguasa yang tidak lagi menegakkan dan mengajak masyarakat untuk shalat, juga tidak menjatuhkan sanksi atas siapa saja yang tidak melaksanakan shalat:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
Ditanyakan, “Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!” Rasul menjawab, “Tidak, selama di tengah-tengah kalian mereka masih ditegakkan shalat.” (HR Muslim).
Perintah memakzulkan dan memerangi penguasa yang menampakkan kekufuran nyata, tidak melaksanakan shalat, tidak mengajak masyarakat mengerjakan shalat, dan tidak menjatuhkan sanksi atas orang yang meninggalkan shalat merupakan dalil tak terbantahkan atas keharaman mengangkat orang kafir menjadi pemimpin kaum Muslim.
Kesepakatan Ulama Ahlus Sunnah
Seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah sepakat atas keharaman menyerahkan kepemimpinan atas kaum Muslim kepada orang kafir. Mereka sepakat bahwa Islam merupakan syarat keabsahan pengangkatan seorang peminpin.
Qadhi Iyadh berkata, “Para ulama sepakat bahwa Imamah tidak absah diserahkan kepada orang kafir.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/35-36).
Imam al-Qalqasysyandi, saat membahas syarat-syarat Imamah (kepemimpinan), “Syarat kesembilan adalah Islam. Imamah tidak absah diserahkan kepada orang kafir, baik kafir asli atau kafir karena murtad. Sebab, yang dimaksud Imam (pemimpin) adalah orang yang mengatur urusan kaum Muslim dan menolong agama (Islam). Siapa saja yang bukan Muslim tidak berhak mengatur kemaslahatan Islam dan kaum Muslim.” (Al-Qalqasysyandi, Ma’âtsir al-Inâfah fî Ma’âlim al-Khilâfah, 1/36).
Para fuqaha mensyaratkan untuk Imam (pemimpin) sejumlah syarat, di antaranya ada yang disepakati (mujma’ ‘alayhi) dan ada yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fîh). Syarat-syarat kepemimpinan yang disepakati di antaranya adalah Islam. Oleh karena itu tidak boleh mengangkat penguasa kafir. Jika melekat kekufuran pada penguasa maka dia wajib dimakzulkan sesuai syarat-syarat yang telah diketahui menurut ahli ilmu (Lihat: Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah, 6/218).
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili juga menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imam (pemimpin) disyaratkan harus seorang Muslim untuk mengatur kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Tidak sah kepemimpinan kafir atas kaum Muslim.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/197).
Fungsi dan Syarat Kepemimpinan Dalam Islam
Imamah adalah ketetapan syariah. Fungsinya adalah untuk menerapkan Islam secara kâffah di dalam negeri sekaligus menyebarkan risalah Islam ke luar negeri dengan dakwah dan jihad (Lihat: QS al-Maidah [5]: 49).
Abdullah bin ‘Umar ra. menuturkan bahwarasul saw. pernah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan, “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan itu, terpeliharalah harta dan darah mereka dariku, kecuali karena alasan yang haq, dan perhitungan mereka di sisi Allah (HR Muslim).
Dua fungsi di atas—menerapkan syariah Islam secara kâffah dan menyebarkan risalah Islam dengan dakwah dan jihad—mustahil diserahkan kepada orang kafir maupun orang-orang yang tidak memenuhi syarat imamah. Atas dasar itu, para fuqaha menetapkan sejumlah syarat yang sudah sepakati (mujma’ ‘alayhi) agar esensi dan fungsi kepemimpinan bisa diwujudkan di antaranya: Islam, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu menjalankan tugas kepemimpinan.
Khatimah
Akhirnya, yang dibutuhkan umat Islam sekarang bukan hanya pemimpin Muslim adil yang memiliki personalitas dan integritas yang baik, tetapi juga sistem politik dan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, yakni Khilafah Islamiyah yang menarpkan syariah. Tegaknya syariah membutuhkan Khilafah. Berdirinya Khilafah meniscayakan dukungan dan perjuangan umat, khususnya orang-orang yang memiliki kemampuan dari kalangan ulama, jenderal dan para perwira militer dan tokoh berpengaruh.
WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyy at-Tawfîq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]