Pengantar Redaksi:Jauh sebelum kasus penistaan agama oleh Ahok mencuat, HTI telah lebih dini menyerukan keharaman pemimpin kafir. Karena itu, menistakan Islam atau tidak, Ahok—juga kalangan non-Muslim lainnya—tidak layak dipilih menjadi pemimpin di tengah-tengah mayoritas umat Islam di negeri ini. Mengapa? Apa alasannya? Apakah masih relevan mengangkat isu pemimpin kafir saat ini? Bukankah ini negara demokrasi dan siapapun berpeluang untuk menjadi pemimpin, termasuk non-Muslim? Bukankah juga pemimpin itu yang penting kinerjanya, bukan preferensi agamanya?
Untuk menjawab beberapa persoalan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), M. Ismail Yusanto. Berikut hasil wawancaranya.
HTI sejak dini menyerukan “Tolak Pemimpin Kafir”. Mengapa slogan yang terkesan “menohok” itu dipilih? Mengapa bukan karena alasan lain misalnya pemimpin zalim, tukang gusur, bermulut lancang?
Mungkin saja secara politik penolakan terhadap Ahok lebih tepat menggunakan istilah pemimpin zalim, tukang gusur, bermulut lancang dan sebagainya ketimbang penyebutan istilah kafir. Sebagian orang malah menyebut, ini tidaklah strategis. Namun, secara teologis-ideologis, penyebutan itu lebih dekat pada hakikat masalah. Maksudnya, alasan utama penolakan terhadap kepemimpinan Ahok adalah memang karena dia kafir. Surah an-Nisa’ ayat 41 jelas sekali mengharamkan umat untuk mengangkat orang kafir menjadi pemimpin di negeri Muslim. Meski dalam redaksi berita, ayat ini mengandung celaan. Maknanya adalah larangan, yakni larangan untuk memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum Muslim. Kekuasaan atau kepemimpinan merupakan jalan terbesar untuk itu. Kata “lan” dalam ayat ini menunjukkan larangan ini bersifat tegas. Artinya, haram kaum Muslim menyerahkan kekuasaan kepada orang kafir. Meski umpamanya Ahok tidak korup, bertindak santun atau berkinerja bagus, sepanjang masih kafir, tetap saja harus ditolak.
Penyebutan istilah kafir ini juga lebih dekat ke hakikat dakwah. Inti dakwah adalah seruan ke jalan Islam. Islam telah dengan tegas mengharamkan pemimpin kafir. Istilah kafir itu sendiri adalah istilah al-Quran. Bila Allah menyebut istilah kafir, dan mengharamkan orang kafir menjadi pemimpin bagi umat Islam, mengapa kita enggan mengabarkan ketentuan ini? Ingat, salah satu makna berpegang teguh pada al-Quran adalah dengan menjadikan istilah-istilah al-Quran sebagai ukuran kita menilai dan memandang suatu masalah.
Misalnya dalam masalah LGBT. Bila kita berpegang teguh pada al-Quran, pasti dengan mudah mendudukkan status perbuatan itu, dan tidak akan bingung seperti yang terjadi pada sebagian kelompok masyarakat yang menilai fenomena LGBT sebagai refleksi kebebasan dan sebagainya. Merujuk ayat 28 surah al-Ankabut, perbuatan seperti yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth (sodomi) itu disebut dengan istilah fâkhisyah. Fâkhisyah itu tidak bisa diartikan lain kecuali keburukan. Imam Ibnu Katsir mengartikan fâkhisyah sebagai ‘amal al-khabîtsah (perbuatan yang amat keji).
Jadi, menyampaikan istilah-istilah dalam al-Quran seperti fâkhisah, mu’min, munâfiq, jihâd, amr ma’rûf nahy mungkar, kâfir dan sebagainya sangatlah penting. Pasalnya, istilah itu mengandung pemikiran atau pemahaman tertentu. Sebaliknya, mengingkari istilah dalam al-Quran sama artinya kita menghindar dari pengertian yang dikandung oleh al-Quran. Sikap seperti ini tentu saja tidak sesuai dengan spirit dakwah itu sendiri.
Penyebutan istilah kafir ini juga lebih dekat ke hakikat solusi atau penyelesaian masalah. Kita tahu, orang kafir bisa terpilih menjadi pemimpin politik di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini karena ada partai yang mencalonkan, kemudian calon itu dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Partai itu bisa mencalonkan orang kafir karena menurut peraturan perundangan yang ada memang hal itu dibolehkan. Jadi, andai tidak ada partai yang mencalonkan, dan andai pun dicalonkan tetapi tidak dipilih oleh rakyat, tentu orang kafir tidak akan bisa terpilih menjadi pemimpin. Apalagi bila dibuat aturan yang melarang, tentu tidak akan mungkin orang kafir bakal menjadi pemimpin di negeri mayoritas Muslim ini.
Ada yang mengatakan, slogan “tolak pemimpin kafir” itu SARA dan membahayakan masyarakat Indonesia. Bagaimana Ustadz?
SARA itu kan singkatan dari Suku – Agama – Ras – Antar Golongan. Suku, maksudnya mempertentangkan antarsuku-suku yang di Indonesia yang memang sangat banyak. Misalnya antara suku Jawa dengan Sunda, atau antara Jawa dan luar Jawa, dan lain sebagainya. Ras adalah mempertentangkan Cina dengan Pribumi, atau antara Cina dengan Arab atau dengan yang lainnya. Antar Golongan artinya mempertentangkan antara golongan kaya dan miskin, golongan sipil dan ABRI dan semacamnya.
Dalam pandangan Islam, memperten-tangkan suku dan ras dilarang karena manusia memang diciptakan Allah bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, bukan untuk saling bertentangan. Juga tidak boleh mempertentangkan antar golongan karena, dalam konteks ekonomi, pasti ada yang kaya dan miskin. Itu merupakan realitas masyarakat yang sebagiannya merupakan qadhâ atau takdir Allah. Dalam konteks profesi pasti ada yang memilih sipil dan non-sipil. Apalagi bila mereka semua yang bersuku Jawa, Padang, Sunda, atau yang Cina, Arab atau pribumi, atau yang sipil dan militer adalah Muslim, maka lebih tidak boleh lagi dipertentangkan.
Adapun mengenai agama, bukan kita mau mempertentangkan, tetapi memang watak antaragama itu pasti bertentangan. Lihat saja, Muslim menyatakan Allah itu ahad (esa), sedangkan orang Kristen mengatakan Tuhan itu satu dari tiga. Soal ketentuan halal-haram pasti juga berbeda. Begitu pun terkait masalah kepemimpinan. Islam tegas melarang memilih pemimpin dari kalangan orang kafir. Mengapa? Karena tugas pokok dan fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah menerapkan syariah secara kâffah dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Bagaimana kita bisa mengharap orang kafir bisa melakukan tugas ini bila ia sendiri tidak paham amar makruf nahi mungkar dan tidak mengimani syariah? Sikap ini harus dipahami sebagai ketundukan umat Islam pada ketentuan agama. Tidak boleh dianggap SARA.
Di negeri Muslim seperti Indonesia, soal keterkaitan politik seperti Pemilu, Pilkada atau Pilpres, bahkan juga dalam pergantian pejabat di berbagai instansi Pemerintah, faktor agama mestinya harus dipandang sebagai hal yang biasa. Islam itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik negeri ini bahkan sejak sebelum merdeka. Lihatlah ada Sarikat Islam, ada Muhammadiyah, NU dan lain sebagainya yang turut mewarnai perjuangan kemerdekaan. Sebelumnya ada P. Diponegoro, Imam Bonjol dan lainnya. Semua itu menunjukkan bahwa Islam itu tak pernah lepas dari masalah politik. Bahkan heboh penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta, juga dipicu oleh soal agama.
Soal keharusan pemimpin itu harus bertakwa, sebuah idiom agama, juga dicantumkan secara resmi dalam peraturan perundangan. Misalnya dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Pasal 6 disebutkan, syarat-syarat untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia nomer 1 adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Meski pengertian takwa di situ dimaknai secara umum, bukan dalam pengertian Islam, faktanya ajaran Islam memberikan tuntunan yang sangat jelas tentang kriteria takwa. Kalau dia kafir kan berarti tidak memenuhi kriteria takwa itu. Karena itu aneh sekali bila umat Islam menginginkan pemimpin yang bertakwa lantas dituduh SARA.
Meski umat Islam menolak pemimpin kafir, tidak berarti kita boleh berlaku semena-mena terhadap orang kafir. Kita dilarang menyerang atau menyakiti orang kafir tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah. Bila sikap seperti ini dipegang teguh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari penolakan terhadap pemimpin kafir.
Masalahnya, sekarang ini eranya demokrasi modern. Propaganda tolak pemimpin kafir itu sudah tidak cocok. Bagaimana?
Siapa bilang tidak cocok? Lihatlah, di negara sekular seperti AS yang disebut sebagai kampiunnya demokrasi, juga Jerman, faktor agama dalam memilih pemimpin tetap saja diperhatikan. Di AS, WASP (White – Anglo – Saxon – Protestant) menjadi referensi utama dalam memilih presiden. Karena itu selalu saja presiden AS terpilih adalah dari kulit putih. Obama yang kulit hitam adalah perkecualian. Itu pun terjadi setelah 220 tahun AS merdeka. Juga umumnya presiden AS beragama Kristen Protestan, bukan Kristen Katolik, apalagi Islam. Butuh waktu 171 tahun untuk John F Kennedy, yang beragama Katolik, bisa jadi presiden di sana.
Bukan hanya di AS, di Jerman pun preferensi agama juga cukup kuat. Partai yang sekarang memerintah di sana adalah Partai Kristen Demokrat, CDU, pimpinan Kanselir Angela Merkel. Lihatlah, nama partainya saja pakai Kristen. Di Indonesia malah tidak ada partai yang eksis yang menggunakan nama agama, termasuk Islam. Partai berasas Islam seperti PKS, PBB dan PPP tak ada satu pun yang menggunakan nama Islam. Kalau di AS dan Jerman, juga negara-negara lain, agama boleh menjadi referensi dalam memilih pemimpin, mengapa di Indonesia yang mayoritas Muslim, tidak boleh?
Yang penting itu bagaimana kinerjanya. Jadi kalau pemimpin kafir itu kinerjanya lebih baik, ya mengapa tidak? Kalau ada yang bilang begitu, bagaimana?
Siapa bilang agama seseorang tidak terkait kinerjanya? Coba tanyakan hal itu kepada penduduk AS, mengapa Presiden AS harus Kristen Protestan? Bukankah Katolik juga sama-sama Kristen? Apa hubungan keprotestanan dan kekatolikan pemimpin dengan kinerja? Mereka pasti punya jawaban.
Islam juga sangat mementingkan kinerja dalam memilih pemimpin. Kinerja itu terkait dengan tugas pokok dan fungsi pemimpin dalam pandangan Islam, yakni kemampuan dalam menerapkan syariah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Dengan itu akan terwujud rahmatan lil alamin berupa kemajuan dalam seluruh lapangan kehidupan, keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan ketenteraman serta kesucian. Inilah ukuran kinerja pemimpin menurut Islam.
Oleh karena itu Islam mengharamkan pemimpin kafir justru karena kekafirannya itu memastikan ia tidak akan mungkin bisa mewujudkan kinerja yang dikehendaki itu. Iya, kan? Bagaimana bisa ia diharapkan bisa menerapkan syariah dan melakukan amar makruf nahi mungkar jika dia sendiri tidak paham, bahkan tidak percaya pada syariah serta tidak mengerti mana yang makruf dan mana yang mungkar?
Pemimpin kafir yang penting membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Ahok, misalnya, dia membangun masjid besar di Balaikota, sesuatu yang tidak dilakukan pemimpin Muslim sebelumnya. Dia juga mengumrahkan banyak orang, dsb. Bagaimana, Ustadz?
Kalaulah itu semua dianggap kebaikan, itu hanya bagian kecil dari kebaikan atau rahmat yang dikehendaki oleh Islam. Penerapan syariah akan mencakup seluruh aspek kehidupan. Bukan hanya aspek ibadah mahdhah; tetapi juga politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Terwujudnya kesejahteraan, keadilan, kedamaian, ketenteraman serta kesucian adalah sebagian dari rahmat yang dimaui oleh Islam. Jadi, tidak bisa hanya karena Ahok mengumrahkan para pengurus masjid, membangun mushalla atau masjid, apalagi masjid di Balaikota itu faktanya bukan dia yang usahakan, melainkan Ibu Sylviana Murni yang sekarang menjadi calon Wagub, lantas kita sebut ia telah melakukan banyak kemajuan.
Mestinya, kita menilai kinerja dengan ukuran-ukuran yang lebih substansial. Lihatlah, bila kita merujuk pada Perda No. 2/2012 tentang RPJMD Provinsi DKI Jakarta 2013-2017, nyata sekali kegagalan Ahok. Di antaranya, jumlah orang miskin di DKI terus makin meningkat. Pada September 2015, jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta mencapai 368.670 orang, atau 3,61 persen dari total jumlah penduduk. Lalu pada bulan Maret 2016 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 384.300 orang atau 3,75 persen. Artinya, ada peningkatan sebesar 15.630 orang atau meningkat 0,14 poin. Kesenjangan kaya miskin juga makin meningkat. Ini ditunjukkan dengan naiknya indek gini DKI yang sekarang menjadi 0,46; lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya 0,41. Serapan anggaran semester pertama tahun 2016 pun sangat rendah, baru sekitar 33%, sama seperti tahun lalu, terendah di seluruh Indonesia. Pertumbuhan ekonomi DKI juga terus menurun. Pertumbuhan triwulan I 2016 hanya sebesar 5,62 persen secara tahunan (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, yaitu 6,48 persen (yoy). Problem akut seperti banjir dan macet juga tetap saja tak tertangani dengan baik.
Ada yang mengatakan, seruan tolak pemimpin kafir itu membahayakan kebhinekaan. Komentar Ustadz?
Seruan itu (tolak pemimpin kafir, red.) mestinya harus juga dianggap sebagai bagian dari kebhinekaan itu, yakni sebagai seruan agama (Islam). Saya sangat yakin, seruan itu tidak akan membahayakan bila ditanggapi secara tepat. Justru yang berbahaya adalah bila ditanggap secara salah, seperti yang dilakukan Ahok. Jujur saja, demo besar 4 November lalu itu kan terjadi karena tanggapan yang tidak tepat terhadap al-Maidah 51. Ahok telah gagal menanggapi hal itu, khususnya pemaknaan ayat-ayat dalam al-Quran, sebagai bagian dari kebhinekaan yang harus dihormati.
Ada pula anggapan, larangan menjadikan orang kafir sebagai wali itu jika dalam kondisi perang, kalau dalam kondisi damai tidak dilarang?
Ingat, larangan pemimpin kafir bukan hanya ada dalam surah al-Maidah ayat 51. Ada juga ada di surah an-Nisa’ ayat 141, juga di banyak ayat lain. Itu semua berlaku umum dalam seluruh keadaan, bukan hanya dalam kondisi perang.
Ada juga anggapan, tidak boleh pemimpin kafir itu kalau dia memusuhui umat Islam. Kalau tidak memusuhi pemimpin kafir boleh. Betulkah?
Kalau orang kafir itu memusuhi umat Islam, ia bukan hanya tidak boleh menjadi pemimpin, tetapi bahkan harus diperangi.
Apakah cukup kalau pemimpinya Muslim?
Tidak cukup. Setiap pemimpin Muslim wajib memimpin secara adil, yakni melaksanakan syariah secara kâffah dan menegakkan amar makruf nahi mungkar. Oleh karena itu, kepada pemimpin Muslim harus terus diserukan tentang kewajiban ini melalui dakwah fikriyah dan dakwah siyâsiyah. []