Mampukah Kursus Pra Nikah Menguatkan Ketahanan Keluarga?
Ketahanan keluarga menjadi persoalan yang amat penting karena merupakan salah satu pilar ketahanan masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu segala hal yang mengarah kepada kerapuhan keluarga harus dihilangkan dan diselesaikan.
Salah satu kondisi yang menunjukkan kerapuhan keluarga di Indonesia adalah tingginya angka perceraian. Bahkan angka perceraian di Indonesia selalu mengalami peningkatan. Tidak main-main, Indonesia menempati ranking teratas dengan jumlah perceraian tertinggi di dunia. Setidaknya 40% perceraian terjadi setiap jamnya. Dari data tersebut 70,5 % nya adalah gugat cerai dari pihak istri, sedangkan angka cerai talak sejumlah 29,5 %. Tentu saja, peningkatnya perceraian ini akan berdampak luas bagi masa depan bangsa.
Sebenarnya, banyak faktor yang menyebabkan perceraian. Namun, pemerintah berkeyakinan bahwa sumber persoalannya adalah karena kurangnya pemahaman tentang pernikahan sehingga pasangan suami istri mudah menghendaki perceraian. Sebab, asumsinya jika pasangan suami istri memahami hakikat pernikahan maka mereka seharusnya mampu melewati badai kehidupan rumah tangga apapun bentuknya. Adapun kursus pra nikah yang sudah sejak lama ditetapkan dianggap kurang efektif. Oleh karena itu muncullah gagasan pemerintah untuk menambah jam dan materi kursus tersebut, mulai 2016 ini.
Tentu saja menjadi pertanyaan besar, akankah kursus pra nikah model baru ini benar-benar akan menyelamatkan keluarga dari maraknya perceraian. Mengingat, begitu kompleksnya persoalan yang memicu perceraian dan keluarga secara umum.
Kursus yang Diperbarui
Pemerintah melalui Kementrian Agama mencanangkan kembali Kursus Pra Nikah bagi semua pasangan yang hendak menikah. Dari beberapa publikasi yang disampaikan pemerintah kepada berbagai perangkat dinyatakan bahwa kursus ini tidak hanya untuk untuk menjaga ketahanan dan keharmonisan keluarga, yaitu menyelamatkan dari perceraian, tapi juga menyangkut kesehatan keluarga dan anak-anak. Oleh karena itu, dalam hal ini pemerintah bermitra dengan organisasi masyarakat seperti Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4), BKKBN, organisasi keagamaan, Kementerian Kesehatan, pengamat hubungan keluarga dan lainnya.
Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama Muchtar Ali menyatakan akan ada dua pengaturan baru mengenai kursus pranikah. Pertama, mengenai aspek legalitas kursus pra nikah, dimana setiap pasangan yang akan menikah diwajibkan mengikuti kursus pra nikah dan mendapatkan sertifikat kursus.
Jadi, ada perubahan legalitas dari sukarela menjadi wajib. Selama ini memang sudah ada mekanisme harus mengikuti kursus pra nikah, namun tidak diberi sertifikat. Nah sekarang bersertifikat. Dan ini akan menjadi syarat bagi siapa saja yang mau menikah.
Kemudian juga ada perubahan kedua, yaitu materi kursus pranikah yang diperluas. Materi kursus akan lebih diarahkan kepada sebab-sebab perceraian dan berbagai problematika dalam keluarga. Termasuk, di dalamnya disinggung mengenai persoalan kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan terhadap anak. Selama ini, durasi kursus yang sudah ada di Kantor Urusan Agama (KUA) dianggap masih kurang.
Solutifkah?
Edukasi bagi calon pengantin tentang segala hal yang berhubungan dengan pernikahan memang sangat penting. Terbentuknya pemahaman Islami tentu bisa meminimalisasi kehendak pasangan suami istri untuk melakukan berbagai tindakan tidak sesuai syariah sehingga diharapkan mengurangi perceraian. Hanya saja, ada hal lain yang harus disoroti dari kebijakan pengintesifan kursus pra nikah model baru ini. Sebab, persoalannya ternyata bukan semata-mata edukasi bagi calon pengantin.
Berbagai pihak menyangsikan efektifitas kursus ini. Pasalnya, pasangan calon pengantin bisa saja menjalani kursus ini semata-mata demi sertifikat agar bisa menikah. Kualitas pemahaman tidak diperhatikan lagi. Kekhawatiran itu sebenarnya juga sudah terjadi selama ini. Maka berapa pun durasinya, bagaimana pun luasnya materi kursus, jika kepentingan kursus ini tidak tertanam, maka menjadi kurang efektif.
Efektifitas kursus juga disangsikan jika dihadapkan pada beratnya beban yang harus dihadapi keluarga saat ini. Seandainya pasangan calon pengantin mampu memahami materi kursus, itu pun mungkin hanya bisa untuk mengurangi dorongan perceraian. Namun, sejatinya belum bisa menjadi solusi tuntas bagi maraknya perceraian, terlebih untuk meningkatkan ketahanan keluarga. Mengapa?
Sempitnya hidup berkeluarga dalam sistem kehidupan kapitalis yang memiskinkan ini tentu sangat berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami istri. Konflik suami istri sering terjadi hanya karena minimnya uang belanja dan ketidakmampuan keluarga mencukupi kebutuhan-kebutuhannya.
Keharmonisan suami istri juga sangat terganggu oleh paham kebebasan atau liberalisme di segala lini kehidupan. Di setiap tempat terpapar hal-hal yang membangkitkan naluri seksual. Kecenderungan terhadap lawan jenis atau penyimpangan seksual kian massif. Bahkan pasangan yang harmonis pun bisa tergerus oleh semua itu. Mereka yang memiliki pemahaman yang benar pada awal menikah tak sedikit yang kalah oleh beratnya tantangan kehidupan sekuler kapitalis saat ini.
Dengan pertimbangan ini, efektifitas program kursus pra nikah ini bisa diukur. Meski durasinya cukup lama, kemampuan manusia untuk memahami materi kursus tetap ada batasnya. Terlebih kursus itu dilaksanakan sebelum pernikahan, pada kondisi pasangan yang belum mengalami rumitnya hidup berumah tangga. Tentu saja penerimaannya sangat minim dibandingkan jika menerima kursus saat menjalani rumah tangga. Maka sangat mungkin mereka mengikutinya hanya sebatas menimba ilmu saja.
Kursus pra nikah, jika pun dapat menjadi sarana edukasi bagi calon pengantin, sejatinya hanya bersifat membantu saja dan kurang efektif untuk menekan perceraian, apalagi untuk memperkokoh ketahanan keluarga. Sebab, pada hakikatnya keluarga masih memiliki beban berat dari sistem yang tidak mendukung.
Sayangnya, inilah yang terjadi saat ini. Penguatan kursus pra nikah, tidak dibarengi dengan upaya menghilangkan penyebab hakiki yang memicu perceraian. Rusaknya sistem sekuler kapitalistik saat ini tidak pernah menjadi perhatian pemerintah dan diupayakan solusinya. Padahal, sistem ini menjadi sumber segala persoalan kerapuhan keluarga, tak hanya perceraian. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah (negara) fokus pada akar persoalan. Tentu akan lebih efektif mencegah daripada mengobati. Kursus pra nikah ibarat mengobati luka pada keluarga. Sedangkan pencegahannya tidak dilakukan.
Wujudkan Ketahanan Keluarga dengan Sistem Islam
Lantas, bagaimana mengokohkan ketahanan keluarga saat ini? Jika kapitalisme telah terbukti merusak tatanan keluarga dengan memicu perceraian dari berbagai sisi, maka menyelamatkan keluarga hanya bisa dilakukan dengan membuang sistem merusak itu dan menggantinya dengan sistem yang benar, yaitu Islam.
Sungguh hanya hukum Allah saja yang bisa menyelamatkan manusia. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ ٥٠
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (TQS. Al Maidah [5]: 50)
Hukum Islam harus terejawantahkan atau terwujud dalam sistem Khilafah Islam. Jika sistem ini diterapkan maka berbagai persoalan rumah tangga akan teratasi. Sistem Khilafah Islam akan menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sistem ini pun akan menjaga agar kewajiban nafkah berjalan sesuai aturan. Tak hanya mewajibkan suami untuk mencari nafkah, bahkan jika tidak ada lagi yang menafkahi perempuan dan anak, maka negara akan menjaminnya dari Baitul Mal. Negara pun menyediakan lapangan kerja yang luas. Dengan demikian, salah satu penyebab perceraian dapat dihindari.
Sistem Khilafah Islam juga mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan. Negara akan meminimalisir pergaulan bebas dan perselingkuhan. Hukum-hukum pergaulan laki-laki dan perempuan ditegakkan sesuai syariah. Di samping itu, media massa juga terjaga dalam menyebarkan berita. Mereka berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga aqidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Dengan aturan Islam, masyarakat akan terjaga dalam ketaqwaan. Maka perceraian pun dapat diminimalisir.
Demikianlah upaya sejati yang harus dilakukan untuk membangun ketahanan keluarga. Kursus pra nikah -sekali pun ada manfaatnya- sejatinya bukan solusi tuntas bagi perceraian khususnya dan kerapuhan keluarga pada umumnya. Bahkan jika pemerintah selama ini hanya fokus pada persoalan ini seraya membiarkan sistem merusak itu, dikhawatirkan hal itu hanya memperpanjang usia kapitalisme. Dan hal itu tentu sangat berbahaya bagi ketahanan keluarga. Oleh karena itu, tugas kita adalah mengembalikan Islam dalam kehidupan -dalam bingkai Khilafah Islam- agar keluarga terselamatkan. []