Titik Nadir Ketahanan Keluarga Muslim di Era Liberal
Oleh: Putri Ria Angelina
Saat ini, sumber informasi berita baik cetak maupun digital di Indonesia hampir tidak pernah absen memaparkan berita yang membuat miris bagi yang membaca. Mulai dari plagiasi, tawuran, pacaran, pergaulan bebas, pelecehan, dan masih banyak lagi. Terkadang yang membuat miris bukan hanya konten berita yang terjadi, tetapi pelaku dan korban dari kejahatan tersebut adalah remaja bahkan tidak sedikit dari mereka sedang mengenyam pendidikan. Mereka bukan hanya dari kalangan menengah ke bawah tetapi juga menengah ke atas.
Siapa yang salah? Orangtua ada yang menyalahkan sekolah, karena sudah menitipkan anak agar bisa memiliki akhlak yang baik. Sekolah juga balik bertanya kepada orangtua, bagaimana pendidikan anak selama di rumah. Dan terkadang negara jarang dilirik orangtua maupun sekolah ketika terjadi permasalahan pada anak.
Keluarga Muslim saat ini beraneka ragam kondisinya. Ada yang masih menanamkan nilai islami, seperti sholat berjamaah, motivasi menutup aurat, penjagaan pergaulan anak, dsb. Ada juga yang menanamkan nilai demokratis, yang membolehkan anaknya berbuat apa saja dengan catatan bertanggung jawab, seperti tidak apa-apa pacaran asalkan tidak hamil, boleh pulang malam asal besok sekolah, dsb.
Kondisi keluarga Muslim pastinya dipengaruhi oleh cara pandang dari orangtua tersebut. Cara pandang tersebut juga pastinya diwarnai oleh proses berpikir ataupun maklumat (informasi-informasi sebebelumnya) yang telah mereka miliki. Ketika orangtua telah memiliki pandangan bahwa anak adalah amanah dari Allah Swt., maka orangtua akan berusaha mendidik anak dengan cara Rasulullaah saw. ajarkan. Orangtua tersebut akan mencari tahu bagaimana Islam mendidik anak.
Ketika ada orangtua Muslim yang sudah terbiasa dengan kebebasan, maka mereka tidak merasa terlalu memikirkan cara mendidik anak. Namun yang mereka pikirkan hanyalah memenuhi kebutuhan primer bahkan tidak sedikit dari mereka yang berusaha memenuhi segala kebutuhan sekunder dan tersier anak-anaknya sebagai bentuk tanggungjawab sebagai orangtua. Maka sebagai efeknya, dengan kebebasan yang didapatkan oleh anak. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya kebablasan dan seperti gasing yang sulit dikendalikan oleh pemainnya.
Lalu ada pertanyaan, remaja pelaku kegiatan negatif dilakukan oleh dari keluarga yang mana? Ya, dari dua tipe keluarga di atas ada. Tetapi porsi keluarga yang terbiasa dengan perilaku kebebasan lebih banyak mewarnai. Mengapa tetap ada anak yang berasal dari keluarga Muslim yang sudah menginternalisasi nilai Islam tetap melakukan? Karena lingkungan luar dan masyarakat bisa mewarnai seorang anak yang mungkin sedang mencari identitas dirinya. Untuk anak seperti ini, ketika melakukan kekhilafan tidak akan sulit untuk menariknya kembali kepada kebaikan.
Lalu anak yang sudah terbiasa dengan kebebasan memang memiliki porsi lebih banyak karena bisa jadi awalnya orangtuanya menganggap kesalahan yang dilakukan adalah hal biasa. Tetapi mereka tidak berpikir bahwa hal tersebut bisa saja merembet kepada kesalahan yang lain.
Sebagai contoh, negara saat ini tidaklah terlalu serius dalam mensensor konten negatif di media sosial sehingga menimbulkan atau mencetak perilaku dan pemikiran bagi anak. Ada anak yang akhirnya melihat, dan terpengaruh dan mengadaptasi perilaku bebas yang gampang dilihat. Bagi anak yang berasal dari keluarga Muslim, mungkin ada juga yang melihat, tetapi dengan bekal ilmu yang dia miliki ataupun dari nasihat juga pengawasan dari orangtua akan segera menghentikan melihatnya. Bagi anak yang berasal dari keluarga bebas, mungkin akan membiarkan saja dan tidak terlalu peduli dengan konten yang sedang dilihat atau dibaca anak sehingga anak mengadaptasi mulai dari penampilan, perkataan, dan perilaku. Ada anak yang akhirnya melakukan pacaran dan terkadang diamini oleh orangtua karena mereka punya pemikiran tidak mengapa pacaran asal dalam batas kewajaran meskipun pada akhirnya kebabalasan seolah nantinya tiada hari penghisaban.
Terlepas bagaimana kondisi keluarga Muslim saat ini, sudah seharusnya negara bertanggung jawab penuh dalam melindungi warga negaranya. Sekuat apapun keluarga Muslim yang baik, pasti akan ada peluang terwarnai jika sistem negara ini tidak melakukan pembenahan atau hal-hal preventif terhadap tindakan kejahatan. Sekolah pun saat ini sudah mulai berupaya untuk membenahi akhlak para siswa, tetapi negara belum secara serius secara sistemik dalam menjaga anak-anak kita.
Sebagai contoh, orangtua dan sekolah sudah memberi pemahaman agar tidak melihat konten konten pornografi di gadget, bahkan sudah mensetting agar terhindar dengan memasang software-software anti konten pornografi, tetapi negara dalam hal ini Depkominfo tidak serius untuk mensetting pensensoran konten pornografi sehingga peluang terbuka lebar saat ini ketika kita membuka situs-situs selancar di dunia maya dan biasanya anak melakukan sesuatu hal yang buruk karena ada peluang.
Allah Swt. telah memberi contoh dalam mendidik anak yang terukir dalam al-Quran melalui kisah Luqman Al Hakim. Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, ‘amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).
Kerjasama semua pihak mulai dari keluarga, masyarakat, dan negara sebagai soko guru akan memulihkan ketahanan keluarga dari titik nadirnya. Bangkitlah keluarga Muslim dengan menginternalisasikan al-Quran dan Sunnah di dalam kehidupan sehari-hari dan tentu saja hal itu akan terasa mudah ketika negeri kita ini pun menginternalisasikan al-Quran dan Sunnah dalam semua sistem kenegaraannya. Ketika negeri ini telah menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah, maka akan tercipta individu yang beriman dan berakhlak mulia, keluarga yang memiliki ketahanan mantap serta negara yang minim kejahatan dan kemaksiatan sehingga tampaklah wujud Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang sesungguhnya.[]