Telaah Tentang Kasus Penistaan Al-Quran

Aksi bela quran

Oleh: Ummu Syakira (Lajnah Siyasi DPP MHTI)

Seperti yang telah diungkap di berbagai media dan oleh banyak kalangan, kasus penistaan al-Quran ini bermula dari tayangan video pidato Gubernur DKI Jakarta (Basuki Tjahaya Purnama/BTP atau Ahok), di Kepulauan Seribu. Pada video tersebut, BTP, dengan menggunakan pakaian dinas menyampaikan pada masyarakat: “Kalau Bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin dengan surat Al-Maidah 51, macem macem itu. Kalo bapak ibu merasa ga milih neh karena saya takut neraka, dibodohin gitu ya gapapa.”

Pernyataan Ahok ini jelas merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap keagungan dan kesucian al-Quran. Al-Quran adalah wahyu Allah Swt. yang pasti benar dan pasti akan menuntun manusia kepada petunjuk dan jalan kebaikan. Dan menyampaikan kebenaran al-Quran, khususnya ayat 51 dari surah al-Maidah, sebagai dasar haramnya memilih pemimpin kafir adalah dakwah, yang sangat diperlukan agar setiap muslim bisa memilih jalannya dengan benar sesuai tuntunan agama.

Untuk itu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah mengeluarkan press release yang berisi:
1. Mengutuk dengan keras pelecehan terhadap al-Quran yang dilakukan oleh Ahok (BTP) sebagai tindakan yang sama sekali tidak bisa diterima. Ahok secara sadar telah menyatakan bahwa orang yang tidak memilih dirinya oleh karena dasar surah al-Maidah ayat 51 sebagai telah dibodohi. Itu artinya, Ahok telah secara nyata menyebut al-Quran sebagai sumber kebodohan, dan siapa saja yang menyampaikan haramnya memilih pemimpin kafir dengan dasar ayat itu juga disebut oleh Ahok sebagai telah melakukan pembodohan.

2. Menuntut kepada aparat yang berwenang untuk segera bertindak mengusut tindakan penghinaan terhadap al-Quran yang telah dilakukan oleh Ahok ini, serta menindak lanjuti laporan mengenai hal ini yang telah banyak dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat. Bila merujuk KUHP Pasal 156a dan UU No.1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, perbuatan Ahok ini secara sah dan meyakinkan telah melanggar aturan tersebut sehingga harus ditindak.

3. Dengan penghinaan terhadap al-Quran yang telah dilakukan oleh Ahok ini, semakin jelaslah siapa Ahok sebenarnnya, dan ini menambah bukti-bukti yang sudah ada tentang betapa tidak pantasnya Ahok memimpin Propinsi DKI Jakarta yang berpenduduk mayoritas muslim ini.

4. Menyerukan kepada umat Islam di Jakarta khususnya, untuk dengan tegas menolak Ahok untuk menjadi gubernur mendatang. Dan bagi yang masih mendukung, untuk segera menghentikan dukungan itu, karena sebagai muslim mestinya kita berpedoman kepada al-Quran yang telah dengan jelas melarang memilih pemimpin kafir. Tak sepantasnya seorang muslim mendukung calon pemimpin kafir, apalagi yang bersangkutan telah terbukti menghina al-Quran.

Beragam Ormas dan tokoh muslim pun telah mengadukan Ahok ke kepolisian dengan tuduhan penistaan terhadap al-Quran. Namun, respon dari pemerintah dan kepolisian sangatlah lamban. Polda Metro Jaya sempat menolak gugatan sejumlah tokoh dan elemen umat Islam dengan dalih tidak ada fatwa dari MUI. Namun, saat MUI telah menetapkan bahwa isi video tersebut mengandung unsur penistaan agama, Bareskrim Polda Metro Jaya justru enggan menjadikan fatwa MUI sebagai dasar acuan pengaduan. ‎Bareskrim mencari tahu soal peristiwa ini secara hukum dengan menanyakan ke ahli bahasa, ahli agama, dan ahli pidana. Bahkan ketika sejumlah tiga ahli tersebut sudah menyatakan bahwa ada unsur penistaan agama, Ahok tidak kunjung diperiksa. Kapolri Tito Karnavian mengatakan pemeriksaan Ahok selaku Gubernur DKI harus menunggu izin Presiden. Padahal aturan itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 26 September 2012.

Lambannya respon dan penanganan kasus ini oleh pemerintah membuat ghirah umat makin membara. Muslim yang sehat imannya tak akan berdiam diri manakala orang yang sudah menistakan agamanya masih berjalan seenaknya dan justru mendapat pembelaan. Sikap ini yang membuat gelombang unjuk rasa dari umat terus bergulir di berbagai daerah. Puncaknya adalah aksi besar di Ibukota pada tanggal 4 November 2016.

Namun, lagi-lagi pemerintah melalui sikap Presiden Jokowi, terkesan lamban dan enggan menanggapi tuntutan umat. Lebih dari 2 juta umat Islam yang melakukan aksi 4 November 2016 tidak ditemui oleh presiden. Tuntutan umat agar Ahok ditangkap, tidak segera direspon. Provokasi agar aksi berubah menjadi ricuh pun terjadi. Hasilnya, ratusan orang menderita luka akibat tembakan gas air mata yang ditembakan aparat keamanan.

Pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla, menjanjikan bahwa kasus penistaan agama ini akan diproses dengan tegas, cepat, dan transparan. Namun, Presiden Jokowi di malam harinya lalu mengeluarkan pernyataan bahwa aksi 411 ditunggangi oleh aktor politik. Lalu, kasus ini pun dibawa melebar kemana-mana.

Benar, pada akhirnya, Kepolisian melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terbuka selama 2 minggu terhadap kasus ini, dan menjadikan Ahok sebagai tersangka. Namun, masyarakat disuguhi berbagai informasi yang melebar. Dimulai dari tudingan aksi 411 ditunggangi aktor politik, pemanggilan saksi ahli oleh Bareskrim dari berbagai kalangan hingga mengundang Syeikh Amru Wardani dari Darul Ifta Mesir atas permintaan pihak Ahok (namun batal, karena beliau segera kembali ke Mesir setelah mengetahui persoalan sebenarnya).

Presiden juga terus melakukan safari ke Korps TNI, mendatangi Ormas Islam NU dan Muhamadiyah, mengundang para Ulama dan pengasuh pesantren se-Jawa Barat dan Banten, dengan terus mengingatkan agar menjaga keutuhan NKRI dan Ke-Bhineka-an. Presiden juga menyempatkan diri untuk menemui peserta aksi ke-Bhinekaan yang berjumlah ribuan, pada tanggal 19 November lalu. Tidak ketinggalan juga safari Kapolri, Panglima TNI ke sejumlah pesantren di Jawa barat dengan bahasa yang sama, yaitu menjaga NKRI dan ke-Bhinekaan.

Bahkan ketika umat Islam menyatakan ketidakpuasan terhadap kasus ini, dan merencanakan untuk mengadakan Aksi Bela Islam jilid III tanggal 2 Desember 2016, Kepolisian tidak memberikan izin. Beragam alasan disampaikan dimulai dari menggangu ketertiban umum, fatwa tidak sah shalat jumat di jalan, hingga tuduhan adanya makar dan ingin menjatuhkan presiden. Himbauan agar tidak ada pengerahan massa aksi hingga ke kecamatan dan kelurahan di berbagai daerah dan sanksi bagi PO Bus yang menyewakan bisnya untuk peserta aksi pun dilakukan. Tentu tuduhan makar ini pun aneh, karena hal ini dibantah berbagai pihak, termasuk oleh Menteri Pertahanan RI Jendral. Ryamizard Ryacudu.

Di belakang seluruh peristiwa dan informasi yang berseliweran, proses hukum terhadap Ahok justru menunjukan keanehan dalam pandangan hukum pidana. Karena paska dijadikan tersangka, Ahok tidak ditahan. Kepolisian hanya mengeluarkan surat pencekalan Ahok ke luar negeri. Ahok masih diberikan hak untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, bahkan kampanye ke pelosok-pelosok Jakarta. Dengan alasan bahwa kasus Ahok berbeda dengan korupsi, kepolisian merasa tidak berwenang untuk menangkap dan memenjarakan sang tersangka.

Padahal, berdasarkan yurisprudensi hukum di Indonesia, setiap tersangka penista agama, selalu langsung ditangkap dan dipenjarakan, tanpa perlu kerumitan. Kasus Arswendo Atmowiloto, Permadi, dan Lia Aminudin, merupakan 3 kasus penistaan agama yang pelakunya langsung ditangkap.

Quo Vadis Kasus Ahok?

Sebenarnya, suatu hal yang wajar, jika umat Islam merasa marah terhadap Ahok karena dia telah menistakan al-Quran juga ulama. Hal inilah yang mendorong umat Islam untuk melakukan aksi, menuntut agar penista al-Quran atau penista agama ini diberikan hukuman yang setimpal. Jika saja dari awal, saat umat melaporkan kasus ini, Ahok langsung ditangkap, dan dihukum, tentu Aksi Bela Islam jilid satu, dua, dan tiga tidak akan digelar.
Jika saja tidak ada manuver-manuver politik “aneh” yang dilakukan pemerintah dan kepolisian, masyarakat khususnya umat Islam tidak akan berfikir bahwa Ahok dilindungi. Justru karena kelambanan dan manuver politik yang dilakukan pemerintah dan kepolisian lah semakin membuka mata dan pikiran masyarakat bahwa ada ‘sesuatu’ di balik tindakan pemerintah. Masyarakat dibukakan betapa tidak adilnya pemerintah dalam menangani kasus yang berkaitan dengan umat Islam. Sikap Presiden juga menunjukkan ketidakadilan yang kasat mata. Betapa tidak, saat sekelompok non muslim melakukan pembakaran masjid Tolikara, presiden justru mengundang mereka ke istana. Saat parade ke-Bhineka-an, presiden sempat menemui mereka. Namun saat dua juta lebih umat Islam datang, presiden justru berpaling.

Dalam menghadapi persoalan penistaan agama ini, kita juga melihat pemerintah dan aparat penegak hukum justru lebih fokus pada penanganan aksi unjuk rasa umat Islam, bukan pada akar persoalan sesungguhnya, yaitu kasus penistaan Islam. Padahal api yang menyulut kemarahan umat adalah penistaan Islam oleh Ahok. Jika umat merasa sudah mendapat keadilan, niscaya aksi unjuk rasa tidak akan mereka lakukan.

Melihat lamban dan alotnya proses penanganan terhadap Ahok, wajar bila sejumlah kalangan menilai ada skenario untuk menyelamatkan Ahok. Seolah-olah Ahok ada di atas negara dan kepentingan rakyat banyak, juga di atas kehormatan umat Islam dan kemuliaan ajaran Islam.

Pembelaan terhadap Ahok bukan tak mungkin karena dia didukung oleh para kapitalis. Bukan rahasia lagi bila Ahok ditopang oleh banyak konglomerat. Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno pernah mengungkapkan bahwa kandidat calon petahana Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dibiayai sejumlah pengusaha kaya untuk mendukung dia di Pilgub DKI 2017 mendatang. “Saya dengar ada lima konglomerat di belakang Ahok. Ya, sponsornya kuat,” kata Hendrawan. Hal ini tidak dibantah oleh kubu Ahok dengan alasan sudah ada undang-undang yang mengatur dana sumbangan kampanye.

Inilah hakikat demokrasi kapitalis. Kepentingan kapital (pemodal) ada di atas segalanya, bahkan di atas agama dan umat Islam. Dalam demokrasi kapitalis, pemegang kekuasaan sesungguhnya adalah para pemilik modal (kapital). Penguasa seringkali dijadikan alat oleh para pemilik modal untuk kepentingan mereka. Kasus penistaan agama oleh Ahok ini jadi contoh nyata. Jika kita bandingkan dengan kasus Arswendo, Permadi, dan Lia Aminudin, terlihat jelas perbedaan yang sangat mencolok. Kenapa tiga orang tersebut bias langsung ditangkap dan dihukum? Karena ketiganya tidak didukung oleh pemilik modal. Tidak ada konsekuensi kerugian yang akan ditanggung oleh para kapital ketika ketiganya dihukum. Justru jika ketiganya tidak dihukum segera, resiko yang akan ditanggung pemerintah sangat besar karena berhadapan dengan umat Islam.

Namun, dalam kasus Ahok, lain cerita. Pemerintah demokrasi kapitalis terperangkap dalam dilema. Pemerintah harus berhadapan dengan umat jika tidak menindak penista agama. Tapi, pemerintah juga harus berhadapan dengan para kapitalis penyandang biaya politik mereka jika menghukum Ahok. Lalu kepada siapa pemerintah ini berpihak, tergantung sikap pemimpin negeri ini.

Tidak heran jika kemudian ada manuver politik untuk mencari win win solution. Menyelamatkan diri agar tidak dituntut umat sekaligus mengamankan posisi sebagai penguasa dengan tetap berpihak pada pemilik modal. Maka, dibuatlah skenario proses hukum (yang penuh ketidakpastian), lalu diredamlah suara umat dengan memberikan sedikit dari permintaan mereka, yaitu proses hukum, seraya pengalihan isu penistaan agama ke isu negara diancam makar. Terbukti UU ITE yang baru satu bulan berlaku, direvisi lagi, dan Kementrian Dalam Negeri pun akan merevisi UU Ormas (diungkap oleh Mayjen (purn) Soedarmo, bidang politik dan pemerintahan umum Kemendagri, detiknews, 29/11/2016). Adapun poin yang akan diubah adalah, ormas yang membuat situasi onar, seperti anarkis serta bertentangan dengan Pancasila.

Penguasa telah tergadai oleh kepentingan kapitalis. Penguasa tidak lagi menjadi pemimpin yang melindungi rakyat, mendengar suara rakyat, dan melayani kepentingan rakyat. Demokrasi kapitalis telah mengubah konsep kepemimpinan menjadi pelindung, pendengar, dan pelayan kapitalis. Tepatlah, apa yang diungkapkan oleh Joseph Stiglitz. Dari 1 persen, oleh 1 persen, untuk 1 persen.

Tidakkah kita rindu terhadap pemimpin umat yang hakiki seperti Rasulullah saw. dan para sahabatnya ridwanullah ‘alaihim?

Dalam, Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat. Imam diibaratkan sebagai junnah (perisai), sesuai dengan sabda Nabi saw.

‏«إِنَّمَا الْإِمَامُ ‏‏جُنَّةٌ ‏ ‏يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah perisai. Umat berperang di belakang Khalifah dan akan dijaga oleh Khalifah (HR Muslim).

Khalifah akan melindungi Islam dan umatnya dengan menerapkan syariah Islam yang datang dari Allah Swt., bukan hukum hasil kompromi penguasa dan wakil rakyat dengan kaum kapitalis. Dalam syariah Islam, seperangkat aturan suah ditetapkan oleh Allah Al Khaliq Al Mudabbir, bebas dari intervensi manusia. Dan imam/khalifah adalah orang yang mewakili umat untuk menerapkan syariah Islam.

Keadilan dapat diperoleh dari imam/khalifah saat menjalankan syariah Islam dalam bingkai Khilafah. Khilafah memiliki struktur yang memungkinkan rakyat untuk mendapat keadilan. Khilafah memiliki Mahkamah Madzalim yang bebas intervensi penguasa. Rakyat bisa mengadukan khalifah pada mahkamah tersebut jika penguasa dan aparat negara melakukan tindak kezholiman atau melanggar syariah. Rakyat juga bias menyalurkan aspirasi politik, amar ma’ruf nahiy munkar secara langsung, baik individu, melalui partai politik, ataupun melalui Majelis Umat. Proses check balance negara berlangsung tanpa perlu ada oposisi.

Sejarah mencatat, bahwa seorang Umar bin khattab bahkan bisa diluruskan oleh seorang wanita bernama Khaulah binti Malik terkait pembatasan mahar. Adapun terkait dengan kasus penistaan agama, sejarah mencatat, bahwa Rasulullah saw. pernah membiarkan Abu Bakar Ash-Shidiq memukul Finhash, seorang Yahudi yang menghina Allah. Rasulullah saw. juga telah mengusir Yahudi Baniy Qainuqa yang telah melecehkan seorang muslimah dan membunuh seorang muslim. Bahkan pada masa Khilafah Utsmaniyah, khalifah pernah melayangkan ancaman perang pada Perancis, jika negeri tersebut mengadakan drama yang memerankan Nabi Muhammad saw.

Sungguh, kemuliaan adalah milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik umat Islam. Khilafah Islam adalah penjaga hakiki kemuliaan agama dan umat Islam. Sebagai wujud kecintaan kita pada Allah dan Rasul-Nya, sudah saatnya, kita kerahkan ghirah kita untuk menuntut diadilinya penista al-Quran, dan mencegah terjadinya penghinaan terhadap agama Islam dengan mewujudkan Khilafah Islamiyah. Mari sadarkan umat Islam untuk bersatu, dalam ukhuwah Islamiyah hakiki dalam mewujudkan kemuliaan Islam dan umat. Wallahu a’lam.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*