Terorisme negara semakin menjadi di Myanmar seakan tidak ada yang mampu menghentikannya. Militer dan para biksu bahu membahu membantai Muslim Rohingya, kapan saja mereka mau. Menurut Budi Mulyana, terorisme negara hanya bisa dihentikan oleh dua cara. Apa saja itu? Dan mengapa saat ini tidak ada yang melakukannya? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan pengamat hubungan internasional Unikom, Bandung Budi Mulyana berikut ini.
Apakah Anda melihat kebijakan rezim Myanmar sangat diskriminatif terhadap Muslim Rohingya?
Jelas sekali, kebijakan Rezim Myanmar sangat diskriminatif terhadap Muslim Rohingya.
Indikasinya?
Hal ini sudah terlihat misalnya pada tahun 2014 pemerintah Myanmar melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya sebagai orang Bengali dalam sensus penduduk saat itu. Padahal Bangladesh sejak tahun 1982 sudah mengamandemen undang-undang kewarganegaraannya dan menyatakan Rohingya bukan warga negara Bangladesh.
Pada Maret 2015 juga pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas penduduk bagi orang-orang Rohingya yang menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya. Inilah yang menyebabkan gelombang pengungsian orang-orang Rohingya ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Dengan ketiadaan hak warga negara, maka Muslim Rohingya diperlakukan sebagai orang asing. Mereka tidak memiliki hak-hak sebagai warga negara. Memiliki lahan, mengenyam fasilitas negara, bahkan berpolitik. Padahal mereka sudah ada sejak ratusan tahun di sana, jauh sebelum Negara Myanmar berdiri.
Mengapa militer dan juga biksu Budha tampak bahu membahu membantai Muslim Rohingya?
Ini bisa diduga karena ada kepentingan yang sama di antara keduanya terhadap persoalan Muslim Rohingya. Para biksu Budha ekstrim merasa terganggu dengan keberadaan umat Islam, mereka menjadi diktator mayoritas, tidak suka komunitasnya tersaingi. Militer pun demikian, karena militer pun beragama yang sama. Dengan alasan keamanan dan penanganan konflik, maka kedua kepentingan ini bertemu untuk sama-sama menindas Muslim Rohingya.
Mengapa penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi diam terhadap kasus ini?
Dia memang seakan tidak berkutik. Padahal ia memimpin pemerintahan Myanmar sekarang sejak April 2016. Ia beralasan situasi di Arakan sangatlah sulit. Tentunya alasan yang tidak pada tempatnya. Label perdamaian yang melekat padanya menjadi sangat tidak layak karena ternyata masih ada kepentingan pribadi yang mengorbankan rakyatnya sendiri, Muslim Rohingya. Padahal keberpihakan bisa saja dilakukan dengan statement yang clear, yang membela Muslim Rohingya, namun hal itu tidak dilakukannya.
Apakah ini yang disebut terorisme negara?
Bisa disebut demikian, karena memang faktanya teror itu dilakukan secara sistematis oleh aparat negara.
Lantas mengapa Amerika dan Barat diam saja bahkan nampak tidak peduli dengan masalah ini?
Ketidakpedulian negara-negara Barat, termasuk Amerika memang menunjukkan standar gandanya dalam penerapan HAM. Hal ini bisa diduga tidak kuatnya kepentingan Amerika di Myanmar ini. Secara historis memang tidak ada kepentingan Amerika Serikat di Myanmar. Myanmar adalah bekas jajahan Inggris. Dengan pemerintahan junta militer di Myanmar yang cenderung tertutup, maka peran Barat menjadi minim. Apalagi yang mengalami penindasan adalah Muslim Rohingya, maka semakin tidak pedulilah Barat terhadap persoalan Muslim Rohingya.
Apakah untuk semua kasus pembantaian di negara lain memang Amerika dan Barat seperti itu?
Respon negara-negara Barat, termasuk Amerika terhadap peristiwa pembantaian di suatu negara memang bergantung kepada kepentingan mereka dalam peristiwa tersebut. Kalau ada kepentingan, atau setidaknya ada kesamaan sentimen, maka bisa jadi mereka akan merespon dengan cepat. Apalagi kalau kepentingan mereka terganggu, maka mereka pasti akan melakukan intervensi, tanpa peduli norma-norma internasional.
Contohnya?
Yang dialami Indonesia dengan peristiwa lepasnya Timor Timur bisa menjadi salah satu contoh standar ganda dari apa yang dilakukan Barat, atau peristiwa di Libanon pada akhir masa Khilafah Utsmani.
Apa pula yang menyebabkan Presiden Jokowi dan juga presiden-presiden sebelumnya bermesraan dengan Myanmar dengan hubungan bilateralnya tetapi sama sekali tidak menyinggung masalah ini?
Lambatnya respon pemerintah Indonesia terhadap persoalan Muslim Rohingya di Myanmar menunjukkan rendahnya prioritas pemerintah Indonesia terhadap persoalan kemanusiaan, terutama Muslim Rohingya dibandingkan dengan persoalan lainnya seperti ekonomi, terorisme.
Indonesia terbelenggu dengan persoalan dalam negeri sendiri untuk bisa merespon peristiwa dalam negeri negara tetangga. Padahal, sebagai negeri Muslim terbesar di dunia, Indonesia harusnya memiliki keberanian lebih untuk membela sesama saudara Muslimnya. Namun itu tidak dilakukan Jokowi.
Begitu juga dengan Malaysia, Bangladesh, Brunei dan negeri-negeri Muslim lain pada umumnya, sikapnya tidak jauh berbeda dengan pemerintah Indonesia. Mengapa?
Negara-negara anggota ASEAN, terkekang dengan prinsip yang mereka bangun, yakni non interverence, yakni bahwa sesama negara anggota ASEAN tidak akan saling mengintervensi urusan dalam negeri masing-masing.
Lantas, bagaimana caranya menghentikan terorisme negara ini?
Terorisme negara hanya bisa dihentikan oleh dua cara. Pertama, intervensi kekuatan internasional. Intervensi kekuatan internasional membutuhkan kesamaan kepentingan dan konsolidasi bersama untuk sepakat antara negara-negara yang mau terlibat, sebagaimana NATO melakukan intervensi kemanusiaan di Libya atau yang semisal. Persoalannya, sampai saat ini tidak ada konsolidasi dunia internasional ke arah sana. OKI, tidak ada respon, PBB, diam. ASEAN apalagi.
Kedua, adanya negara lain yang melakukan pembelaan dengan melakukan intervensi sepihak. Intervensi negara lain, pun saat ini sulit dilakukan. Bangladesh, sebagai negara terdekat dan memiliki hubungan historis dengan Muslim di Rohingya adalah negara lemah. Sulit untuk dinalar bisa melakukan intervensi disaat persoalan dalam negeri masih membelit. Negara tetangga lain, Cina, Thailand, sama sekali tidak memiliki kepentingan untuk melakukan intervensi. Apa dasarnya? Tidak ada.
Itukah relevansinya mengapa Hizbut Tahrir dalam aksi solidaritas Muslim Rohingya mengajak kaum Muslimin mendirikan kembali Khilafah Islam?
Ya. Umat Islam telah kehilangan perisai yg melindunginya yakni Khilafah Islam. Negara yang senantiasa melindungi Islam dan umat Islam. Pasca runtuhnya Khilafah Utsmani, berbagai penindasan dialami umat Islam tanpa ada yang membela. Muslim Rohingya di Arakan adalah salah satu korbannya. Maka di sinilah pentingnya umat Islam untuk kembali memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam. Negara yang akan menjadi pembela dari berbagai penindasan. Negara yang akan menyebarkan rahmat bagi sekalian alam. Insya Allah.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 186