Properti yang dimaksud di sini adalah tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya, baik dalam bentuk rumah tinggal, gudang, pabrik maupun yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan orang asing adalah rakyat negara lain, bukan negara khilafah. Karena itu, status kepemilikan mereka atas properti tersebut membutuhkan rincian.
Jual-Beli dengan WNA
Hukum asal jual-beli adalah mubah, sebagaimana keumuman firman Allah, “Wa ahalla-Llahu al-bai’a.” [Allah menghalalkan jual-beli] (QS al-Baqarah: 275). Jual-beli yang mubah boleh dilakukan baik dengan orang Muslim maupun non-Muslim. Hanya saja, dalam konteks jual-beli [perdagangan] dengan warga negara asing ada hukum khusus yang terkait dengan perdagangan luar negeri.
Dalam perdagangan luar negeri, yang menjadi patokan bukan barang yang diperjualbelikan, tetapi orang yang melakukan transaksi jual-beli. Dalam hal ini, mereka bisa dibagi menjadi: kafir harbi fi’lan, kafir harbi hukman dan kafir mu’ahad. Dengan kafir harbi fi’lan, seperti Israel, atau negara mana saja yang terlibat perang dengan kaum Muslim, misalnya, tidak ada hubungan perdagangan. Dengan kafir harbi hukman, seperti Jepang, misalnya, boleh ada hubungan perdagangan. Begitu juga dengan kafir mu’ahad, hubungan perdagangan dengan mereka dilakukan sesuai dengan klausul perjanjian dengan mereka.
Hanya saja, terkait dengan properti, di dalamnya ada masalah kepemilikan atas tanah dan bangunan. Karena itu, jual-beli atas tanah dan bangunan di wilayah negara khilafah, berbeda dengan jual-beli atas barang bergerak yang bisa dipindahkan keluar. Jual-beli atas tanah dan bangunan hukum asalnya untuk dimiliki dan ditempati. Sedangkan kepemilikan membawa konsekuensi hak untuk memanfaatkan, atau memindahkan manfaat kepada siapapun yang dikehendaki oleh pemiliknya. Karena itu, konsekuensi kepemilikan warga asing, baik kafir harbi hukman maupun mu’ahad, atas tanah dan bangunan di wilayah negara khilafah mengakibatkan adanya pemanfaatan untuk kepentingan mereka, baik sebagai pribadi maupun negaranya. Pemanfaatan itu termasuk menjadikannya sebagai tempat tinggal atau menetap mereka di wilayah khilafah.
Dalam konteks inilah, maka para ulama menegaskan hukum kepemilikan atas tanah dan bangunan di wilayah negara khilafah berbeda dengan hukum kepemilikan atas barang bergerak yang lain. Karena status tanah dan bangunan yang sangat stretegis. Bahkan, terhadap ahli dzimmah, yang nota bene merupakan rakyat negara khilafah, mereka berselisih pendapat.
Kepemilikan Properti
Dalam kitab Mughnî al-Muhtâj [mazhab Syafii], disebutkan, “Apa saja yang dihidupkan orang kafir [ahli dzimmah] terkait tanah mati di Darul Islam [wilayah khilafah], maka dia tidak berhak memilikinya.. sekalipun dizinkan oleh imam [khalifah]. Karena ini merupakan bentuk “kesombongan”, dan itu tidak boleh bagi mereka di negeri kita. Jika ahli dzimmah menghidupkan tanah mati, maka tanah itu harus diambil darinya, dan tidak kompensasi untuknya.” Pendapat serupa disebutkan dalam kitab Hawâshî as-Syarwâni.
Menurut mazhab Maliki, ahli dzimmah, sebagaimana dalam kitab Manh al-Jalîl, Syarah Mukhtashar Khalîl, seperti orang Muslim, berhak memiliki tanah dengan cara dihidupkan. Pendapat kedua, dia tidak berhak mempunyai kepemilikan di tanah Islam. Pendapat ketiga, memilah antara yang jauh dan dekat. Jika dia menghidupkan tanah mati di tempat yang jauh boleh, tetapi jika di tempat yang dekat, maka tidak boleh, meski diizinkan oleh imam [khalifah] sekalipun.
Sedangkan mazhab Hambali, dalam Syarah Zâd al-Mustanqa’, menyatakan, “Yang lebih menentramkan hati adalah, bahwa kaum kafir tidak dibenarkan memiliki [tanah] di negeri kaum Muslim dengan cara menghidupkannya. Siapa saja yang membolehkannya, mereka menggunakan argumen keumuman dalil sabda Nabi SAW, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu adalah miliknya.” Ibn Qayyim al-Jauziyyah, dalam Ahkam Ahlu ad-Dzimmah, menyatakan bahwa orang kafir tidak boleh menguasai apa yang ditetapkan sebagai milik kaum Muslim, baik dalam bentuk properti, budak, istri wanita Muslimah, menghidupkan tanah mati, kepemilikan atas syuf’ah [fasilitas umum] dari kaum Muslim.. Mereka hanya dibenarkan menetap dengan jizyah karena darurat, yang bersifat temporer. Sementara hukum yang terikat dengan status darurat kadarnya ditentukan berdasarkan status kedaruratannya [Ibn al-Qayyim, Ahkâm Ahlu ad-Dimmah, Juz I/286].
Berdasarkan pendapat fuqaha di atas, jelas bahwa kepemilikan atas tanah dan bangunan membawa konsekuensi penguasaan dan pemanfaatan tanah dan bangunan untuk kepentingan kaum kafir. Jika ahli dzimmah saja yang berstatus sebagai warga negara khilafah disikapi oleh para fuqaha begitu rupa, apatah lagi kafir harbi hukman maupun mu’ahad. karena itu, status kepemilikan kafir mu’ahad dan kafir harbi hukman, yang nota bene bukan warga negara khilafah atas tanah dan bangunan di wilayah khilafah tidak diperbolehkan.
Jika pun dibenarkan, maka syaratnya mereka harus menjadi ahli dzimmah. itupun jika khilafah mengadopsi pendapat tentang kebolehan ahlu dzimmah memiliki tanah dan bangunan di wilayahnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh mazhab Maliki di atas. Tetapi, jika khilafah mengadopsi pendapat mazhab Syafii atau Hambali, dengan berbagai pertimbangan strategis yang dimilikinya, maka tentu ahli dzimmah sekalipun tidak dibenarkan memilikinya. Jika mereka sudah menguasainya, maka bisa diambil oleh negara.
Mengenai larangan terhadap kepemilikan tersebut ditegaskan oleh Allah, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian menjadikan teman/pelindung orang-orang yang memerangi kalian karena agama, dan telah mengusir kalian dari wilayah kalian, serta membantu [orang lain] mengusir kalian.” (QS al-Mumtahanah: 9). Memberikan hak kepada kaum kafir untuk memiliki tanah dan bangunan di negeri kaum Muslim adalah bagian dari larangan ini, karena jelas bisa membuat mereka kuat dan menguasai kaum Muslim.
Pendirian Pabrik dan Investasi Asing
Investasi asing, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya negara-negara yang mempunyai kepentingan politik, baik global maupun regional, jelas bisa membahayakan negara. Karena investasi ini menjadi sarana untuk melakukan intervensi dalam politik, ekonomi dan banyak aspek di dalam negeri. Hal yang sama juga terkait dengan pemilikan asing atas tanah dan bangunan yang digunakan sebagai pabrik, dan sebagainya.
Meski kepemilikan atas pabrik mengikuti barang yang diproduksi, bisa halal, dan bisa juga haram. Bisa menjadi milik pribadi, umum atau negara. Semua bergantung pada aktivitas produksinya. Tetapi, dalam konteks larangan kepemilikan pabrik, meski dari satu aspek diperbolehkan, namun dari aspek penguatan, penguasaan, dan intervensi kaum kafir di wilayah khilafah, jelas diharamkan. karena itu, dalam konteks ini, khilafah tidak akan membuka celah sedikitpun.
Jika pabrik atau investasi langsung tersebut sudah ada sebelum berdirinya khilafah, maka khilafah bisa memberikan opsi, antara diambil alih oleh negara, dengan kompensasi sebagaimana mestinya, atau ditutup. Mana di antara dua kebijakan ini, yang dipilih oleh negara, semuanya diserahkan kepada khalifah. Sebagaimana dalam kaidah syara’, “Amru al-Imam manuth bi al-mashlahah.” [Keputusan imam/khalifah terikat dengan kemaslahatan]. Pertimbangan maslahat yang paling kuat adalah kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Bukan yang lain. []
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 186