Protes KKR Bandung, Letupan Ketidakpercayaan Terhadap Aturan yang Berlaku

demo di sabugaAdanya protes terhadap Kegiatan Kebangunan Rohani (KKR) di Bandung, semestinya dilihat secara holistik, jangan hanya melihat dari satu sisi yakni soal intoleransi keagamaan.

“Apa yang terjadi di Bandung sebetulnya adalah letupan dari ketidakpercayaan sebagian umat Islam terhadap aturan yang berlaku di negeri ini, khususnya memberikan perlindungan agama kepada kaum Muslimin,” ujar pengamat sosial politik Iwan Januar kepada mediaumat.com, Jum’at (9/12/2016).

Menurut Iwan, sudah berkali-kali terjadi kasus intoleransi keagamaan terhadap umat Islam, tapi umat merasa tidak mendapatkan keadilan. Terakhir dalam kasus penistaan agama oleh Gubernur petahana DKI Ahok, lagi-lagi umat melihat penegakkan hukum lamban.

“Beda bila yang menjadi korban adalah umat beragama lain justru penegakkan hukum lebih cepat seperti kasus penghinaan agama Hindu di Bali oleh seorang warga Kristiani,” ujarnya.

Andaikan mau dirunut ke belakang, justru umat Muslim paling sering menjadi korban sikap intoleransi keagamaan oleh umat lain.

“Kasus pelarangan kerudung di Bali bagi karyawati di sejumlah mall, pelarangan kerudung bagi siswi Muslimah di Bali, pembakaran musola di Tolikara, dll,” Iwan mencontohkan.

Ironinya, lanjut Iwan, media massa mainstream dan LSM selalu kompak memojokkan kasus intoleransi keagamaan kalau yang dituduh sebagai pelakunya adalah Muslim. Dalam kasus konflik beragama di Singkil Aceh, media massa dan LSM langsung tunjuk hidung kalau penyebabnya adalah umat Islam. Tanpa mereka mau merunut akar historis dan sosial penyebabnya. Bahwa pemicu sebenarnya adalah arogansi umat Nasrani dengan memanipulasi kebaikan warga Muslim di sana.

Iwan juga mengatakan, maka jangan hanya meminta umat Muslim yang menahan diri, tapi umat beragama lain juga harus diperlakukan sama. Media massa mainstream juga jangan memprovokasi kerukunan beragama dengan menurunkan berita kalau umat Muslim itu beringas, intoleran dan selalu bersalah.

“Walaupun kita tahu ini permainan opini kelompok sekuler untuk terus memojokkan umat Muslim, khususnya pasca aksi 411 dan 212. Ada yang gerah dan kepanasan melihat persatuan umat Islam. Mereka kebakaran jenggot lalu mencari-cari kesalahan umat untuk dijatuhkan semangat keislamannya. Mungkin kali ini di Bandung, mereka mendapatkan momen untuk dijual ke publik,” bebernya.

Ia pun mempertanyakan LSM-LSM yang sok toleransi dan sok kebinekaan itu, juga media massa mainstrem pernah tidak mengadvokasi, memberikan pembelaan pada umat Muslim Tolikara, Singkil atau karyawati dan siswi Muslimah yang tertindas? Mereka diam karena itu semua tidak bisa dijadikan proyek.

Menurutnya, selama masih di alam demokrasi, umat Muslim sulit untuk bisa menjaga akidah dan ketenangan ibadah. kerukunan agama juga nonsens dalam sistem demokrasi. Lihat saja di Eropa dan Amerika, negara-negara penganut demokrasi, justru paling getol meneriakkan dan membuat aturan anti-Islam. di Indonesia, umat non-Muslim bisa hidup lebih tenang bukan karena demokrasi, justru karena mayoritas Muslim menjaga mereka.

“Kalaupun ada letupan yang muncul itu akibat akumulasi perasaan yang tidak mendapat perlakukan adil oleh negara, media massa, dan LSM komprador asing,” pungkasnya. (mediaumat.com, 10/12/2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*