Kezaliman adalah Kegelapan di Hari Kiamat

Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

اِتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ, وَ اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ, وَ حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَائَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Artinya: “Janganlah kalian berbuat zhalim, karena sesungguhnya kezaliman adalah Kegelapan di hari Kiamat. Dan janganlah kalian kikir (syuhh), karena sesungguhnya kekikiran menghancurkan orang sebelum kalian (umat terdahulu) dan menyeret mereka untuk (saling) menumpahkan darah dan menghalalkan yang diharamkan” (HR. Muslim)

Dalam Syarahnya pada kitab Shahih Muslim, Imam Nawawi mengatakan: kalimat ittaquzh zhulma fa innazh zhulma zhulummatun yawmal qiyaamah (janganlah kalian berbuat zhalim karena sesungguhnya kezaliman adalah Kegelapan di hari Kiamat), secara zhahirnya itu akan menjadi kegelapan bagi pelaku kezaliman dimana ia takkan mendapat petunjuk jalan di hari qiyamat. Zhulumat juga bisa bermakna asy syadaa`id (bencana, melapetaka). Dengan kalimat yang terakhir inilah para ulama menafsirkan firman Allah Ta’ala :

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ البَرِّ وَ البَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَ خُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشَّاكِرِيْنَ (الأَنْعَام : 63)

Artinya: Katakanlah “siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari zhulumat (bencana) di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini  tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur” (QS. Al An’am : 63)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Zalim dimaknai sebagai perilaku bengis, tidak menaruh belas kasihan, tidak adil (ketidakadilan), aniaya, dan berbuat sewenang-wenang.

Dalam bahasa Arab, sebagaimana termaktub dalam Kamus Al Ma’aniy, misalnya kata zhalama fulaanan (menzalimi seseorang) artinya adalah Jaara ‘alayhi wa lam yunshifhu (berbuat keji atasnya dan tidak berlaku adil padanya). Selanjutnya diterangkan ‘aksuhu ‘adl[un] (lawan katanya adalah Adil).

Adapun kata “Adil” itu sendiri, dalam Kamus Al Ma’aniy, diantaranya disebutkan ‘adala baynal mutakhaashimayni: anshafa baynahumaa wa tajannaba azh zhulma wal juura, a’thaa kulla dziy haqqin haqqahu; ‘adala asy syay`a bisy syai`i: sawaahu bih (jika diletakkan pada kalimat “Adil terhadap dua orang bersengketa” maknanya adalah memperlakukan sama antara keduanya dan menjauhi kezaliman dan kekejian; adil juga bermakna memberikan haknya pada semua yang berhak; jika diletakkan pada kalimat “mengadilkan sesuatu dengan sesuatu yang lain” maknanya adalah menyamakan sesuatu dengan yang lainnya.)

Zalim atau Kezaliman adalah perkara yang sering menyertai kekuasaan. Kekuasaan di berbagai level. Mulai kekuasaan di institusi sosial, keluarga, hingga politik. Terlebih jika kekuasaan politik berada di tangan orang yang tak beriman. Ia akan memperlakukan hukum secara semena-mena. Hukum dijadikan alat untuk melindungi keserahakannya. Rakyat dikelabui dengan kezalimannya secara terselubung atau teranga-terangan dengan bertamengkan perundang-undangan yang ada. Itu ditambah lagi jika sistem hukum yang berlaku bukanlah lahir dari wahyu Sang Maha Adil, Allah Ta’ala.

Seseorang yang zalim, apatah lagi seorang penguasa, hidupnya akan gusar. Karena ia diliputi oleh kekhawatiran bahwa kezalimannya akan terbongkar. Maka, selain pasti ia di akhirat akan sengsara, di dunia pun ia harus menanggung akibat kezalimannya. Entah ia akan malu di hadapan orang banyak, tercatat sebagai orang yang bernoda di dalam sejarah, belum lagi jika ia dimejahijaukan atas kezaliman yang dilakukannya lalu mendekam dalam tahanan.

Orang yang zhalim, tak boleh lupa akan dahsyatnya doa-doa orang yang terzalimi. Karena Allah pasti mengabulkannya. Oleh sebab itu, dari pada menjadi pemimpin yang zalim, tentu lebih baik menjadi pemimpil yang adil. Dalam sebuah hadits disebutkan keutamaan pemimpin yang adil (imamun ‘adil), yang akan mendapat naungan Allah di akhirat nanti, pada saat di mana di sana tak ada yang memiliki naungan kecuali Allah Ta’ala.

Dan pemimpin ‘adil, hanya akan lahir di era Khilafah. Sebab, Khilafah lah yang akan menempatkan peraturan Allah sesuai hak nya, yakni untuk diberlakukan. Itulah keadilan. Dan itulah pemimpin yang adil. Wallahu a’lam.

Zamroni Ahmad

(Anggota LTs DPP HTI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*