Risalah Akhir Tahun (Ratu) 2016 MHTI: “Menggugat Peran Negara Dalam Ketahanan Keluarga”
RISALAH AKHIR TAHUN (RATU) 2016
MUSLIMAH HIZBUT TAHRIR INDONESIA
“Menggugat Peran Negara Dalam Ketahanan Keluarga“
Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) adalah Gerakan Perempuan bagian integral dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang memiliki konsep mewujudkan kemuliaan perempuan, mengokohkan bangunan keluarga dan menyelamatkan generasi. MHTI beraktifitas di tengah kaum perempuan dengan menghadirkan Islam sebagai panduan menata seluruh aspek kehidupan, mendorong mereka untuk memperbaiki diri dan keluarganya dengan Islam dan membangun kesadaran kaum perempuan agar terlibat aktif dalam menyelesaikan persoalan bangsa melalui upaya perjuangan menegakkan Khilafah Islamiyah.
Kiprah MHTI di tengah umat bisa dirasakan melalui interaksi dinamis ribuan kader MHTI di masyarakat untuk mengangkat akar masalah dan solusi Islam terhadap beragam persoalan. Ratusan forum diselenggarakan setiap minggunya, melibatkan secara aktif beragam komunitas strategis dalam jumlah yang massif. Penyelenggaraan Majelis Talim (MT), diskusi intelektual, kelas politik mahasiswa, training remaja, kajian Islam sekolah, diskusi tokoh, seminar dan konferensi menjadi medium MHTI menyampaikan gagasan. Ditunjang pemanfaatan media dakwah berupa bulletin Al Islam, bulletin Cermin Wanita Shalihah, bulletin remaja Smart with Islam, tabloid Media Umat, majalah Al Waíe dan majalah Cermin Wanita Shalihah MHTI terus membina umat agar berkepribadian Islam dan mendorong berkiprah aktif dalam dakwah. MHTI juga aktif menyampaikan koreksi atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang zalim, tidak memenuhi kemaslahatan publik dan bertentangan dengan Islam (muhasabah lil hukkam) melalui audiensi ke perempuan pejabat publik, birokrat, DPR/D dan pemangku kepentingan terkait. Untuk mempercepat terwujudnya opini Islam, MHTI juga menghadirkan diri secara aktif dalam beragam media. MHTI bekerjasama dengan 100 an radio di seluruh Indonesia dengan menyediakan materi siaran dakwah harian dan MHTI menjadi narasumber berbagai program diskusi di radio dan televisi. Sedangkan bagi pengguna media online dan media sosial, bisa mengakses laman resmi MHTI melalui website, fanspage, twitter dan instagram.
Sebagai refleksi di akhir tahun 2016, MHTI menyorot masih belum terwujudnya kondisi ideal pada keluarga Indonesia. Bahkan di tahun ini bisa dikatakan Indonesia Darurat Ketahanan Keluarga. Karena itu, kondisi buruk ketahanan keluarga sepanjang tahun 2016 seharusnya mendapat perhatian serius semua pihak, khususnya pemerintah. Segenap komponen umat perlu terus mengingatkan pemerintah akan peran besarnya terhadap ketahanan keluarga. Kita bahkan perlu menagih janji atas apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam peringatan Hari Keluarga 2016 di Kupang, Pembangunan fisik saja tidak cukup, peran institusi sosial seperti keluarga sangatlah penting, ( 30/7/2016).
Secara normatif pembangunan ketahanan keluarga merupakan amanat undang- undang no 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (amandemen dari UU No 10 Tahun 1992). Ketahanan keluarga (family strength, resilience) didefinisikan sebagai kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk mencapai keadaan harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin (UU Nomor 10/1992). Ketahanan Keluarga terwujud dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan-kebutuhan dasar masing-masing individu dan berjalannya seluruh fungsi keluarga secara serasi dan ideal. Sedangkan kerapuhan ketahanan keluarga bisa ditandai dengan banyaknya masalah pengasuhan, hilangan ikatan kasih sayang dalam keluarga, tidak berjalan fungsi-fungsi keluarga dan hancurnya keutuhan keluarga dengan perceraian.
Data-data berikut bisa menggambarkan betapa buruk kondisi ketahanan keluarga Indonesia saat ini:
1. Perceraian
2. Dampak Perceraian
Dari buruknya kondisi ketahanan keluarga dan dampaknya terhadap perempuan dan generasi, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia mencatat:
1. Minimnya peran negara mengatasi kemiskinan. Mayoritas kasus kerapuhan keluarga dilatarbelakangi kondisi buruk ekonomi keluarga dan bangsa. Jutaan keluarga Indonesia rawan ketahanan ekonomi keluarga karena masih tingginya jumlah penduduk miskin (28,01 juta, data BPS Maret 2016) namun peran negara untuk mengatasi sangat jauh dari memadai.
– Kemiskinan menyebabkan jutaan keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar individual berupa sandang, pangan dan perumahan secara layak. Ekonomi menjadi faktor terbesar pemicu perceraian, mendorong jutaan perempuan menjadi TKI di berbagai negara atau sekurang-kurangnya menjadi pekerja sektor manufaktur yang mengeksploitasi perempuan secara fisik maupun psikologis dan turut berkontribusi menambah buruknya pola asuh, penelantaran anak dan kenakalan remaja.
– Kebijakan pemerintah untuk mengatasi problem kemiskinan massal tidak menyentuh akar masalah. Semestinya pemerintah mengoreksi kesalahan tata kelola sumber daya alam dan orientasi pembangunan ekonomi. Namun pemerintah hanya meminimalisir dampak kemiskinan dengan memberikan bantuan sementara dengan dana tunai dan program keluarga harapan (PKH) pada keluarga sangat miskin. Pemerintah juga hanya melakukan moratorium, bukan menghentikan total pengiriman TKI perempuan ke negara bermasalah. Pemerintah terus meneksploitasi perempuan untuk menyelamatkan ekonomi keluarga dan bangsa dengan sekedar memberikan cuti melahirkan dan menyediakan pojok ASI di tempat kerjanya. Kebijakan ini jelas kontradiktif dengan upaya mendudukkan fungsi ibu sebagai aktor utama pendidikan anak.
2. Minimnya peran negara menopang pemenuhan kebutuhan dasar individu. Tangan-tangan pemerintah dalam mengurusi pemenuhan kebutuhan dasar rakyat semakin tidak dirasakan. Korporasi swasta dan asing telah menguasai sektor-sektor strategis pemenuhan hajat publik. Terus meningkatnya harga bahan pangan, mahalnya biaya transportasi dan makin mewahnya harga perumahan telah menambah berat beban keluarga dan menuntut setiap orang menghabiskan lebih banyak waktu untuk bekerja. Waktu dan perhatian pada kehidupan keluarga makin berkurang. Keluarga Indonesia saat ini menuju trend keluarga terminal- tempat singgah belaka- jauh dari idealnya keluarga sebagai surga ‘baiti jannati’.
3. Kebijakan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan publik berupa layanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain cenderung menzalimi, membebani dan tidak manusiawi. Melalui program BPJS, pemerintah mewajibkan rakyat membayar iuran untuk menikmati layanan kesehatan dibutuhkan, tidak manusiawi dalam mekanisme layanan dan terus menambah beban pengeluaran keluarga meskipun tidak ada anggota keluarga yang sakit. Sementara layanan pendidikan dalam penyediaan infrastruktur sekolah jauh dari memadai. Setidaknya terdapat 10.000 desa yang tidak memiliki sekolah, 75% dari sekitar 1,8 juta ruang kelas dalam kondisi buruk dan 100 ribu sekolah belum memiliki peralatan pendidikan. Buruknya kualitas infrastruktur sekolah, minimnya anggaran pendidikan di sejumlah daerah, kekurangan guru dan distribusi guru tidak merata makin memperburuk layanan pendidikan selain disamping persoalan kualitasnya.
4. Pemerintah lemah dan tidak mandiri dalam merespon tekanan lembaga internasional. Banyaknya ratifikasi atas konvensi global terkait perempuan, keluarga dan generasi tanpa menimbang pertentangannya dengan syariat Islam, adopsi program peningkatan keterlibatan perempuan di sektor publik menuju konsepsi planet 50:50 sangat besar pengaruhnya terhadap rapuhnya ketahanan keluarga. Juga terdapat banyak kontradiksi sikap pemerintah menyikapi rapuhnya ketahanan keluarga. Kontradiksi terjadi saat masalah besar yang seharusnya diselesaikan oleh negara, justru begitu saja diserahkan pada keluarga
5. Pemerintah gagal melindungi keluarga dari kerusakan nilai. Serangan massif ide feminisme, liberalisme melemahkan dan merusak penanaman nilai Islam pada mayoritas keluarga Indonesia. Ditambah lagi, program deradikalisasi keluarga semakin mengaburkan pegangan keluarga dalam menuntun perilaku anggota keluarganya. Sejatinya, semua serangan itu tak akan massif jika saja negara memainkan perannya secara benar. Sebab, pada faktanya negara selama ini abai dengan memberi fasilitas dan angin segar bagi berkembangnya semua paham dan upaya merusak itu. Ini semua terjadi karena negara perpijak pada sistem demokrasi sekuler kapitalis. Pada kondisi ini negara menjadi habitat yang menyenangkan bagi segala upaya untuk menghancurkan keluarga. Dalam sistem ini negara telah kehilangan perannya sebagai pelayan rakyat dan penjaga keluarga.
Karena itulah, problem sistemik ketahanan keluarga tidak akan mampu diselesaikan di tingkat individual, keluarga atau komunitas -organisasi, gerakan intelektual, perkumpulan- tertentu saja. Problem sistemik ini juga tidak akan mampu dituntaskan hanya dengan memunculkan kesadaran di tingkat individual atau keluarga, seperti yang diaruskan oleh pemerintah. Solusi paripurna yang mampu menuntaskan problem ini hanyalah solusi yang bersifat sistemik pula dengan peran besar negara.
Melalui risalah akhir tahun ini Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyentuh kesadaran semua pihak untuk sesegera mungkin menempuh metode perbaikan utuh dan menyeluruh bagi terwujudnya ketahanan keluarga Indonesia. Perbaikan menyeluruh dengan meninggalkan sistem demokrasi, liberalisme dan kapitalisme yang saat ini menjadi pijakan menata kehidupan berbangsa bernegara. Perubahan menyeluruh dengan mengadopsi dan menerapkan seluruh syariat di semua aspek kehidupan dalam institusi khilafah Islamiyah adalah satu-satunya solusi, mewujudkan ketahanan keluarga dan kesejahteraan bangsa.
Ingatlah firman Allah swt:
“Apakah hukum jahiliyah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah ayat 50).