Ketahanan Keluarga Indonesia Digempur Aneka Isme

Dedeh Wahidah Achmad

JAKARTA — Ketahanan keluarga Indonesia kian rentan akibat gempuran aneka isme yang berkembang. Di sisi lain, pemerintah dinilai sering mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif dengan komitmen ketahanan keluarga.

Dalam paparan Risalah Akhir Tahun Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) di Sofyan Inn Hotel, Jakarta, pekan ini, Ketua Lajnah Tsaqofiyah Muslimah HTI Dedeh Wahidah Achmad menjelaskan, sebagai benteng paling dasar bangsa ini, keluarga-keluarga di Indonesia sedang digempur pemikirannya. Sepanjang 2016, MHTI melihat ada tiga pemikiran yang dideraskan kepada keluarga.

Pertama, feminisme yang tuntutannya adalah keadilan perempuan untuk disamakan. Pemikiran Barat ini diimpor ke Indonesia, salah satu pintu masuknya adalah pemberdayaan perempuan dalam ekonomi.

Dalam Islam, hukum perempuan bekerja sudah selesai dan jelas, yakni boleh. Tapi, perempuan bekerja ini jadi kunci sukses Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang dampaknya membuat makin banyak anak-anak terlantar.

“Karena ibu-ibu yang harusnya jadi ibu tidak ada di rumah. Anak-anak terampas hak kasih sayang dari ibunya,” ungkap Dedeh.

Juga peran istri yang jadi sahabat suami. Ketika istri tidak di rumah, yang terjadi adalah konflik. Ini memicu hubungan yang melanggar norma dan aturan Islam. Belum lagi aturan politik yang mengharuskan porsi 30 persen anggota parlemen adalah wanita.

Feminisme juga membawa posisi wanita setara dengan laki-laki untuk jadi pemimpin. “Jadi ada upaya mengganti kepemimpinan yang secara alami memang jadi peran laki-laki,” kata Dedeh.

Liberalisme juga membuat pertimbangan keluarga bukan lagi halal haram, tapi jadi apa yang disukai dan tidak disukai. Perilaku bebas membuat sensitifitas akan dosa turun.

Misalnya penggunaan istilah ‘kecelakaan’ pada perempuan yang hamil di luar nikah. Pun LGBT yang dianggap perbedaan kecenderungan seksual, bukan abnormalitas.

Deradikalisasi juga dimunculkan karena ada tindakan yang dianggap radikal. Yang disasar adalah ide Islam yang sudah jelas kebenaran dari Allah SWT. Maka ada upaya memalingkan Islam dimana mereka yang dianggap meyakini kebenaran Islam justru dinilai tidak berbhineka.

“Saat RUU Terorisme muncul, deradikalisasi masuk ke pesantren. Muncul lah istilah Islam moderat yang kontra Islam radikal. Ini bahaya, Islam yang benar akan dianggap salah,” ungkap Dedeh.

Ketua Lajnah Siyasi Muslimah HTI Pratma Julia Sunjandari menyebut, deradikalisasi yang ada saat ini pada dasarnya adalah deislamisasi. Pendekatannya halus dan yang banyak disasar adalah generasi muda dan perempuan, misalnya melalui penggerakan ekonomi oleh wanita sehingga Muslimah takut memperjuangkan Islam.

Pemerintah dinilai banyak membuat kebijakan kontradiktif dengan komitmen yang dibuat pemerintah sendiri untuk menguatkan ketahanan keluarga. Misalnya dampak media sosial.

“Pemerintah hanya fokus pada literasi digital, bukannya memblokir laman-laman yang membawa dampak negatif,” kata Pratma.

Hal ini, kata Pratma, tidak lepas dari ketidak mandirian pemerintah terhadap lembaga asing. Sehingga agenda perusakan keluarga pun berlangsung sistemik.[] (republika.co.id, 19/12/2016)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*