Sangat prematur bila Surat Himbauan Polres Kota Bekasi soal larangan memaksakan mengenakan atribut non Muslim termasuk Natal bagi karyawan Muslim dikatakan inkonstitusional.
“Adalah sangat berlebihan dan prematur jika dikatakan Surat Himbauan tersebut bersifat inkonstitusional, tidak proporsional dan menjunjukkan ketidakprofesionalan,” ujar Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI Pusat Dr H Abdul Chair Ramadhan, SH, MH dalam ‘Legal Opinion Fatwa MUI’ yang diterima mediaumat.com, Selasa (20/12/2016).
Menurutnya, justru dengan adanya Surat Himbauan tertanggal 15 Desember 2016 —yang menjadikan Fatwa MUI Nomor 56/2016 mengenai terlarangnya seorang Muslim menggunakan atribut keagamaan non-Muslim— Restro Bekasi telah mengupayakan terwujudnya Kamtibmas yang kondusif.
Karena menurut Abdul Chair, materi muatan yang terkandung dalam Fatwa MUI dapat diserap dan ditransformasikan menjadi dasar bagi penerapan operasional pemeliharaan Kamtibmas.
“Satu hal yang harus menjadi perhatian pemerintah termasuk Polri, yakni sebuah fatwa yang dikeluarkannya dipandang sebagai pendapat hukum yang berdasarkan pertimbangan (considered legal opinion), yang tentunya sangat terkait dengan kepentingan tertentu yang menjadi dasar keluarnya suatu fatwa,” tegasnya.
Bahkan dalam acara rapat koordinasi antara pihak Polda Metro Jaya dengan Majelis Ulama Indonesia, Pemprov DKI, dan sejumlah Ormas keagamaan, tanggal 16 Desember 2016 yang lalu telah tercapai kesepakatan, antara lain disebutkan adanya keterlibatan pihak Polri, Pemda, MUI, atau lembaga-lembaga yang lain untuk mensosialisasikan maksud dari fatwa tersebut dalam hal memberikan pemahaman kepada para pengelola mall, hotel, usaha hiburan, tempat rekreasi, restoran dan perusahaan agar tidak memaksakan karyawan atau karyawati yang Muslim untuk menggunakan atribut non-Muslim.
“Di sinilah letak keterpaduan antara pihak-pihak terkait untuk kepentingan pemeliharaan Kamtibmas,” simpul Abdul Choir.
Abdul Choir juga menyebutkan peran Polri dalam ranah tata laku hubungan keagamaan sangat diperlukan, untuk memastikan adanya jaminan perlindungan hak-hak keagamaan seseorang secara konsisten tanpa adanya tekanan maupun paksaan dari pihak mana pun.
Adapun rekomendasi MUI bukanlah merupakan tekanan, namun sebatas penegasan atas alas hak konsitusi. MUI bertekad untuk selalu istiqamah menjaga kerukunan umat beragama dalam bingkai komitmen kebangsaan (ukhuwah wathaniyah).
“Untuk kepentingan ini, MUI tidaklah mungkin ‘sendiri’, sebagaimana pihak lainnya antara lain Polri, oleh karenanya keterpaduan menjadi keniscayaan dan kebutuhan,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo