Surat edaran Kapolres Bekasi dan Kulonprogo menuai polemik. Secara reaktif, Kapolri Tito Karnavian memberikan teguran keras kepada bawahannya itu.
Pasalnya surat edaran itu dibuat berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghimbau agar tidak memaksakan muslim yang berkerja untuk memakai atribut natal.
Kapolri berpandangan tidak boleh fatwa MUI dijadikan rujukan hukum karena dianggap bukan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Namun sebaliknya , Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menganggap surat Kapolres Bekasi itu keputusan yang bijak.
“Pemaksaan pemakaian simbol-simbol atau atribut perayaan natal kepada karyawan muslim itu bisa berpotensi timbulkan ketegangan sosial,” jelas Ismail saat dihubungi Media Umat pada Selasa (21/12).
Dia mempertanyakan, apa salahnya dari fatwa MUI itu. Meski bukan hukum positif, fatwa MUI seharusnya dilihat sebagai pelengkap hukum.
“Hukum positif yang ada sekarang tidak bisa mengcover semua permasalahan yang ada di masyarakat, nah disitulah fatwa bisa mengisi, jangan dinegasikan,” kata Ismail.
Tujuan surat itu jelas untuk menjaga ketertiban, ujarnya. Kalau ada pemaksaan-pemaksaan itu akan menimbulkan konflik satu sama lain.
“Karena itu sungguh mengherankan kenapa Kapolri yang seharusnya paling mengerti bagaimana mencegah ketegangan sosial, malah segera memerintahkan untuk mencabut surat edaran tersebut,” jelasnya.
Akibatnya situasi kembali menjadi tegang, imbas dari kebijakan penarikan surat edaran oleh Kapolri.
“ Sebelumnya kan tidak ada masalah, tapi karena perintah mencabut surat edaran itu sekarang menjadi tegang,” kata Ismail.
Berniat ingin menunjukkan sikap toleransi, justru kebijakan Kapolri sikap sebaliknya.
“Itu karena disatu sisi umat Islam berpegang pada fatwa MUI, disisi lain pengusaha-pengusaha merasa edaran itu salah, karena merasa sudah dicabut oleh Kapolri, ayo bagaimana coba, jadi tabrakan akhirnya,” ungkapnya.
Ismail menilai, bisa jadi, Kapolri dinilai takut menegakkan hukum berdasarkan fatwa MUI karena bersumber dari hukum Islam, “takut dianggap Intoleran,” tegas Ismail.
Ismail juga mengungkap sebenarnya dulu Polisi memakai fatwa MUI dalam beberapa kasus seperti kasus Ahmadiyah, nabi palsu Musadeq karena penistaan agama.
“Meskipun bukan hukum positif, tapi polisi berkali kali memakai fatwa MUI sebagai rujukan” ungkapnya.
Di sisi lain, Ismail menambahkan kasus pencabutan surat edaran yang dilakukan Kapolri menunjukkan bentuk sistem hukum Indonesia memang sekuler, sistem yang ditegakkan sekarang tidak mengutamakan hukum Al-Qur’an.
“Sekarang ini ayat konstitusi diatas ayat suci, hukum qur’an itu dinomorduakan bahkan mungkin tiga atau empat,” pungkasnya. (fatihsolahuddin)