Pengantar:Islam jelas mengakui kebhinekaan atau pluralitas; baik pluralitas dalam hal keyakinan, etnik, bahasa, dsb. Artinya, kebhinekaan atau pluralitas adalah realitas yang tidak mungkin ditolak. Masalahnya, saat ini isu kebhinekaan sering diangkat oleh kelompok sekular-liberal untuk memojokkan Islam dan umatnya, sekaligus memuluskan agenda sekularisasi dan liberalisasi mereka. Pluralitas pun mereka samakan dengan pluralisme. Padahal jelas, Islam menolak pluralisme. Lalu bagaimana seharusnya kita memosisikan kebhinekaan?Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Redaksi mewawancarai Juru Bicara HTI, Ustadz M. Ismail Yusanto. Berikut pernyataannya.
Isu kebhinnekaan sering dimunculkan terkait aspirasi umat Islam atau ketika umat Islam memprotes kezaliman, seperti membela al-Quran, protes pembangunan gereja ilegal, tuntutan penerapan syariah Islam, berjilbab di daerah minoritas Muslim, dll. Bagaimana Ustad melihat hal itu?
Aspirasi umat Islam, seperti beberapa contoh tadi, sesungguhnya wajar belaka. Malah aneh kalau umat Islam tidak memiliki aspirasi semacam itu. Sewajarnya juga aspirasi-aspirasi itu diterima oleh pihak terkait. Namun, faktanya tidaklah selalu begitu. Ada saja alasan untuk menolaknya. Nah, berhubung menolak secara langsung mungkin tampak terlalu vulgar, dicarilah alasan atau argumen yang kelihatan gagah. Di antaranya dengan alasan kebhinekaan. Maksud mereka, karena ini negeri yang agama penduduknya beragam, mestinya umat Islam bisa lebih toleran dan tidak perlu memaksakan keinginan atau aspirasinya agar kebhinekaan atau keragaman tadi tetap terjaga. Dengan kata lain, umat Islam harus lebih banyak mengalah.
Salah satu poin utama kampanye pendukung Ahok juga mengangkat isu kebhinekaan. Maksudnya, kesediaan kita untuk menerima Ahok sebagai gubernur DKI adalah bagian dari penerimaan terhadap kebhinekaan itu. Bahkan dikatakan oleh mereka, Ahok adalah simbol kebhinekaan. Menolak Ahok berarti menolak kebhinnekaan. Hebat, kan? Malah sekarang ada yang berani mengatakan, kebhinekaan kita belum sempurna bila non-Muslim belum menjadi presiden Indonesia.
Apakah ada inkonsistensi penggunaan isu kebhinekaan selama ini? Bisa Ustadz jelaskan dan berikan contohnya?
O, iya. Jelas sekali ada. Bila mereka konsisten, mestinya mereka juga akan berteriak soal kebhinekaan di manapun dan kapanpun. Faktanya, itu hanya mereka lakukan ketika umat Islam bergerak dan berjuang membela kepentingan umat serta menolak kezaliman non-Muslim, seperti yang sedang hangat terjadi di Jakarta terkait Ahok. Buru-buru mereka bicara kebhinekaan dan persatuan di mana-mana, termasuk bikin acara yang terkait kebhinekaan, seperti Parade Kebhinekaan atau Parade Kita Indonesia. Padahal yang dituntut oleh kita kan keadilan, yakni hukuman setimpal kepada penista al-Quran. Tuntutan itu tak ada kaitannya dengan kebhinekaan. Justru kebhinekaan dan persatuan akan terganggu jikalau penista al-Quran dibiarkan; keadilan tidak ditegakkan.
Sebaliknya, ketika umat Islam menjadi korban kezaliman non-Muslim, misalnya adanya larangan jilbab atau larangan shalat Jumat saat Perayaan Hari Nyepi di Bali, larangan pendirian masjid di sejumlah daerah di Papua dan sebagainya, tak terdengar seruan kebhinekaan itu. Atas nama kebhinekaan, mengapa mereka tidak menyerukan umat Hindu di Bali untuk menghormati jilbab, juga kewajiban shalat Jumat meski di Hari Nyepi? Demi menjaga kebhinekaan, mengapa mereka tidak memprotes larangan pembangunan masjid di Papua, termasuk ketentuan bahwa gubernur Papua harus asli Papua dan gubernur Bali haruslah seorang Hindu atau gubernur NTT harus Kristen? Dalam kasus-kasus seperti itu, yang terjadi di daerah umat Islam yang relatif minoritas, justru umat Islam yang diminta untuk menghormati apa yang mereka sebut local wisdom (kearifan lokal). Mereka bilang, umat Islam harus legowo. Umat Islam harus bijaksana dan toleran. Tidak ada lagi seruan kebhinekaan di sana. Bahkan pembakaran masjid di Tolikara Papua baru lalu pun tidak dimasukkan sebagai bentuk pencideraan terhadap kebhinekaan.
Jika isu kebhinekaan dipakai dengan standar ganda, apakah itu artinya isu kebhinekaan dijadikan alat politik, terutama untuk mencegah aspirasi umat Islam?
Iya, memang. Isu kebhinekaan amat sering dijadikan sekadar alat politik ampuh untuk meredam aspirasi umat, juga memojokkan umat. Mereka yang teriak kebhinekaan itu sebenarnya tidak sedang sungguh-sungguh hendak mempertahankan kebhinnekaan itu. Sebab kalau mereka sungguh-sungguh, mereka akan konsisten meneriakkan soal kebhinekaan itu di manapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Aspirasi umat Islam pun akan dipandang sebagai bagian dari kebhinnekaan juga. Bagi mereka, pokoknya umat Islam harus terus ditekan. Aspirasinya harus dibatasi sehingga kepentingan mereka tidak terganggu.
Siapa mereka itu? Siapa lagi kalau bukan kelompok sekular dan kelompok liberal atau kelompok pembenci Islam. Tujuannya tak lain adalah untuk mengeliminasi aspirasi umat yang dianggap bertentangan dengan kepentingan mereka. Mereka tahu, tidak mungkin mencegah aspirasi umat Islam dengan argumen agama. Pasti kalah. Andaipun mereka menyertakan tokoh Islam atau ulama yang sudah terbeli, sebagaimana terjadi pada kasus Ahok, tetap saja argumen-argumen itu akan mudah dipatahkan. Oleh karena itu, mereka kemudian mencari alasan lain. Yang dirasa paling menohok, karena tampak sangat nasionalis, adalah isu kebhinekaan.
Dalam banyak kasus seperti LGBT, pornografi dan pornoaksi, dll, ide kebhinekaan dimunculkan juga agar semua itu ditolerir. Komentar Ustadz?
Di situlah masalahnya. Ketika aspirasi umat diserukan, mereka anggap sebagai bertentangan dengan kebhinekaan. Namun, ketika tiba pada kasus seperti LGBT, pornografi dan pornoaksi, semua itu menurut mereka harus diterima karena disebut sebagai bagian dari kebhinekaan.
Jadi, isu kebhinekaan bukan hanya untuk memojokkan umat Islam, tetapi juga dipakai untuk usaha melegalkan hal yang sangat mungkar seperti LGBT, bahkan juga pernikahan sejenis (same-sex marriage). Bila hal ini dibiarkan, tentu akan sangat berbahaya karena akan terjadi lumrahisasi LGBT, pornografi, pornoaksi dan pernikahan sejenis. Ketika ruang kebebasan makin luas, kelompok ini makin hari akan makin kuat, sebagaimana terjadi di beberapa negara Eropa dan AS. Buktinya, setelah ditentang sekian lama, LGBT dan pernikahan sejenis akhirnya sekarang dilegalkan.
Bila penyimpangan-penyimpangan itu terus berlanjut, ternyata juga akan berdampak pada kondisi demografi. Angka pertumbuhan penduduk akan terus menurun. Bahkan di beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Italia, pertumbuhan penduduk mendekati angka nol. Artinya, jumlah orang yang meninggal sama dengan yang lahir. Soal tingkat kelahiran bayi memang menjadi problem di sana, karena bagaimana akan lahir generasi baru bila orang mau kawin tetapi tidak mau menikah. Kalaupun menikah, tidak mau punya anak. Kalau punya anak, paling satu atau dua.Apalagi bila kawin dengan sesama jenis, dari mana akan lahir anak? Situasi seperti ini sangat mencemaskan para pemimpin negara-negara itu. Penduduk yang ada tentu makin lama makin tua. Lantas siapa yang bakal menggantikan mereka? Siapa yang akan menjadi tentara, pegawai negeri dan sebagainya?
Jadi, isu kebhinekaan meski awalnya tampak gagah, bila tidak diwaspadai, bisa berdampak sangat buruk bagi masa depan bangsa dan negara. Apakah benar seruan kebhinekaan sekarang ini ada tendensi ke arah sana? Lihat saja, siapa salah satu peserta acara Parade Kebhinnekaan lalu? Komunitas LGBT.
Di tengah masyarakat hal itu akan terus memicu kontroversi. Keadaan yang penuh pertentangan akibat pelegalan terhadap sejumlah perilaku menyimpang semacam itu dengan alasan kebhinekaan tentu akan membuat masyarakat tidak nyaman karena secara psikologis mereka terpaksa hidup dalam ketidakpastian dan pengingkaran terhadap fitrah insani mereka.
Islam dikesankan mengancam kebhinekaan. Komentar Ustadz?
Salah. Itu kesan yang sangat keliru. Islam sangat menghargai kebhinekaan. Bahkan bisa dikatakan, hanya Islamlah yang sesungguhnya mampu menjaga kebhinekaan itu. Tentu kebhinnekaan di sini dalam arti positif-konstruktif; bukan kebhinekaan dalam arti negatif-destruktif seperti yang kita lihat selama ini, yakni kebhinekaan yang menimbulkan penindasan, ketidakadilan dan penistaan terhadap harkat dan martabat manusia. Bagaimana bisa dikatakan menghormati kebhinekaan bila orang dibiarkan menistakan al-Quran? Bagaimana bisa dikatakan menghormati kebhinekaan bila penyimpangan seksual justu dilegalkan?
Oleh karena itu kita harus bersikap kritis terhadap isu kebhinekaan. Tidak boleh kita terima mentah-mentah begitu saja. Bila kita memahami Islam dengan benar, kita sesungguhnya sama sekali tidak perlu diajari soal kebhinekaan. Kita sebagai Muslim memiliki pandangan yang khas tentang manusia, keragaman dan kebhinekaan, serta bagaimana cara menghormati dan menjaganya. Semua pandangan itu bersumber dari Zat Yang Mahatahu, yang menciptakan manusia itu sendiri. Dialah Allah SWT.
Bagaimana Islam memandang kebhinekaan yang ada di masyarakat?
Kebhinekaan atau keragaman ras, suku, bangsa, bahasa dan agama di tengah masyarakat bukanlah perkara aneh dalam pandangan Islam. Ini adalah sebuah kenyataan masyarakat yang wajar sebagai hasil dari proses-proses sosiologis, biologis dan historis yang telah berjalan selama ini. Secara biologis, Allah SWT memang menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa dengan warna kulit, bentuk muka dan rambut serta bahasa yang berbeda-beda. Secara sosiologis, karena manusia bebas memilih, wajar bila manusia mempunyai keyakinan atau agama yang berbeda-beda. Jadi, ragam agama, sebagaimana juga ragam ras, suku, bangsa dan bahasa adalah kenyataan yang sangat manusiawi. Karena itu, semua harus kita terima sebagai sebuah kenyataan masyarakat.
Namun, kebhinekaan harus tetap dipahami sebagai pluralitas (keragaman), bukan pluralisme. Kita harus menolak pluralisme. Kita tidak boleh menyamakan kebhinekaan dengan pluralisme. Pluralisme adalah paham yang menempatkan keragaman sebagai nilai paling tinggi dalam masyarakat. Bila pluralisme saja harus ditolak, apalagi pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Agama apapun dalam pandangan paham ini hanyalah merupakan jalan yang berbeda untuk menuju titik kebenaran yang sama (other ways to the same truth). Karena itu tidak boleh ada klaim kebenaran atau truth claim dari agama manapun, bahwa agama itulah yang paling benar; juga tidak boleh ada klaim keselamatan atau salvation claim, bahwa hanya bila memeluk agama itu saja umat manusia akan selamat dari siksa neraka. Menurut paham ini, karena agama yang ada hanya jalan yang berbeda menuju titik kebenaran yang sama, maka semua agama pasti akan mengantarkan pemeluknya menuju surga.
Pluralisme agama sangat berbahaya. Secara i’tiqâdi paham ini merusak akidah Islam. Pluralisme agama adalah sejenis sinkretisme, yakni paham yang menyamadudukkan agama. Semua agama menurut paham ini hakikatnya sama. Yang berbeda hanyalah bentuk luarnya atau aspek eksoterisnya saja, sedangkan aspek esoterisnya atau inti ajaran agama, semuanya sama, yakni menuju kepada Tuhan yang sama.
Adapun secara empiris, paham ini membuat orang tidak lagi kokoh memegang akidah dan syariah Islam, bahkan akan cenderung memusuhi karena menganggap ide penerapan syariah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara misalnya, berarti hanya mengunggulkan agama Islam dari agama lain yang ada. Inilah salah satu faktor yang membuat mengapa upaya penerapan syariah di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini terasa begitu sulit karena tak henti ditentang oleh umat Islam, termasuk tokoh-tokohnya yang berpandangan pluralisme tadi. Karena itu fatwa MUI tahun 2005 yang mengharamkan pluralisme agama sudah sangat tepat dan bila ada upaya yang ingin menghapus fatwa itu harus tegas ditolak.
Sekali lagi, Islam mengakui keragaman agama, suku, ras, bangsa dan bahasa. Islam tidak pernah merasa asing dengan pluralitas masyarakat. Dalam sejarahnya, semua masyarakat yang dibentuk Islam di masa lalu, termasuk masyarakat Islam pertama yang dibentuk Nabi di Madinah, selalu adalah masyarakat plural atau masyarakat yang beragam. Ketika risalah Islam diturunkan untuk membawa rahmat kepada seluruh alam, itu artinya rahmat kepada pluralitas masyarakat. Maksudnya, sebuah masyarakat plural atau bhinneka, yang terdiri dari ragam ras, suku, bangsa, bahasa dan agama itu benar-benar akan terjaga dan mendapatkan kebaikan bila diatur oleh Islam.
Bagaimana Islam mengatur kebhinekaan?
Islam menjaga dan mengatur kebhinekaan melalui penerapan syariah. Dalam soal keragaman agama, misalnya, Islam memberikan kebebasan kepada manusia mau beriman atau tidak; mau masuk Islam atau tidak. Karena itu dalam masyarakat Islam sekalipun, keragaman beragama tetap dimungkinkan. Namun, sekali sudah masuk Islam, orang tidak bisa keluar begitu saja. Ia akan berhadapan dengan hukuman murtad. Dalam hal ini, tidak bisa dipakai dalil kebhinekaan.
Islam juga melarang membunuh atau melukai manusia siapapun tanpa alasan yang benar, apalagi sekadar karena alasan beda suku, ras atau agama. Namun, tidak berarti lantas dengan itu menolak hukuman mati. Dalam hal tertentu, seperti terhadap orang yang telah membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, menimbulkan keonaran hebat di tengah masyarakat, menentang pemerintahan yang sah, menghina Nabi saw., yang sudah menikah berzina, melakukan homoseksualitas, maka hukuman mati wajib dilakukan.
Orang boleh melakukan aktivitas apa saja—berpakaian, menikah atau bergaul dengan orang yang disukai asal tidak boleh bertentangan dengan syariah. Silakan memilih model dan warna pakaian yang disukai asal menutup aurat. Silakan menikah dengan yang dicintai asal berlainan jenis dan lelaki Muslim untuk perempuan Muslim. Orang boleh dengan bebas mendapatkan, menggunakan dan mengembangkan hartanya asal dengan jalan yang dihalalkan oleh syariah. Dilarang melakukan kegiatan ekonomi yang bertentangan dengan syariah seperti menjual-belikan daging babi dan minuman keras, berjudi dan bertransaksi ribawi dan sebagainya. Tidak boleh dengan alasan kebhinekaan lantas orang menggunakan harta miliknya semau-maunya. Dengan aturan ini tidak mungkin ada, seperti yang terjadi di Barat, orang meninggal memberikan seluruh hartanya kepada kucing kesayangannya. Silakan juga membentuk organisasi atau kelompok asal berdasar Islam dan untuk tujuan kebaikan. Mengkritik penguasa bukan hanya boleh bahkan disebut sebagai bagian dari kewajiban dakwah setiap warga negara. Dengan itu kebaikan akan tegak. Di sinilah keragaman yang positif konstruktif tadi akan terwujud.
Demikianlah Islam dengan syariahnya menjaga kebhinekaan sehingga kerahmatan untuk semua dapat benar-benar diwujudkan. []