Forum Maritim Indonesia-Jepang: Kesepakatan Membelenggu Indonesia?

Forum Maritim Indonesia-JepangOleh Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia DPD Jatim)

Pada saat kunjungan kerja Menko Maritim, Luhut B. Panjaitan, ke Jepang ditandatangani Memorandum Kerjasama Pembentukan Forum Maritim Indonesia Jepang di Tokyo, Rabu (21/12/2016). Menko Luhut didampingi oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya TNI Arie Soedewo, Deputi I Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Arif Havas Oegroseno serta Deputi III Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin.

Forum ini bertujuan untuk memperkuat dan mempercepat kerjasama maritim kedua negara antara lain di bidang keamanan dan keselamatan maritim, pembangunan ekonomi termasuk infrastruktur dan konektivitas Maritim, pelatihan dan pendidikan serta bidang lain yang strategis bagi kedua negara.

Dalam kunjungan ini, Menko Luhut juga melakukan serangkaian pertemuan dengan kalangan investor Jepang yaitu INPEX, Sumitomo Corp., Taisei Corp., Chiyoda Corp., Teijin Limited, Marubeni Corp. dan Sumitomo Mitsui Banking Corp, guna membahas berbagai kerjasama infrastruktur seperti Pelabuhan Patimban, kereta api cepat Jakarta-Surabaya serta kerja sama strategis dengan Jepang di kawasan Sabang, Natuna, Morotai, dan Maluku. (kemlu.go.id 22/12/16)

Dalam kunjungannya ke Jepang, Luhut menjelaskan ada banyak proyek yang nantinya akan digarap bersama antara pemerintah Indonesia dan Jepang. Proyek proyek tersebut antara lain memperkuat poros maritim dunia dan proyek infrastruktur negara. “Dalam proyek penguatan maritim, Jepang dan Indonesia akan kerja sama dalam pertahanan dalam bidang industri. Jepang juga mengatakan ada peluang untuk melakukan investasi di sektor perikanan di Natuna Besar. Ada prospek investasi energi di Natuna Timur dan mereka juga lihat bagus jika membangun pelabuhan di sabang,” ujar Luhut di Kantor Kemenko Maritim, Jumat (23/12). (Republika.co.id 24/16)

Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menuturkan, pihaknya saat ini telah menandatangani kerja sama dengan Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) untuk mempromosikan‎ dan meningkatkan investasi di Indonesia. Lembong mengatakan, Jepang adalah negara terbesar kedua yang menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara negara pertama yang terbesar menanamkan modalnya di Indonesia adalah Singapura.

Terdapat kurang lebih 1000 perusahaan Jepang beroperasi di Indonesia (sumber: JETRO). Perusahaan-perusahaan tersebut memperkerjakan lebih dari 32 ribu pekerja Indonesia yang menjadikan Jepang sebagai negara penyedia lapangan kerja nomor 1 di Indonesia (sumber: BKPM). Tampaknya Jepang tak ingin tertinggal dalam merebut pangsa pasar Indonesia yang manis. Kondisi ini akan pula berlomba dengan negara yang telah menanamkan investasinya di Indonesia.

Catatan

Secara internal, ambisi pertumbuhan ekonomi membuat pemerintah Jepang menanam investasinya ke negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Investasi sebenarnya adalah kedok baru bagi imperilisme di bidang ekonomi. Jepang juga mengalami sakit akut saat arus kehidupan materialisme kapitalistik, kebijakan ketenagakerjaan kapitalisme yang tidak adil, dan tidak adanya peran negara dalam perlindungan hak-hak rakyat. Di sisi lain potensi pasar dan investasi ekonomi di Indonesia hanya akan dimanfaatkan oleh Jepang untuk menjadi alat pemulihan krisis finansial yang diderita Jepang. Sehingga Jepang membutuhkan pasar riil untuk produk mereka.

Jepang ingin merebut pasar dengan kebijakan ‘investasi’ ke Indonesia. Ironi dan paradoksnya lagi, krisis yang melanda negara-negara yang dijuluki sebagai keajaiban Asia Timur karena keberhasilannya menjelma menjadi kawasan-kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, justru menghadapi resiko kepunahan rasnya sendiri sebagai sebuah bangsa. Hanya sekitar tiga dekade penerapan Kapitalisme di negeri-negeri mereka, kerusakan segera melanda kehidupan masyarakat di Asia Timur. Inilah yang disebut sebagai sindrom Chicago oleh seorang professor di Malaysia yakni sindrom negara kapitalis mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban. Di tengah beragam pujian kemajuan, Jepang bersiap memasuki era kegelapan.

Bagi Indonesia, Jepang merupakan negara mitra dagang terbesar dalam hal ekspor-impor Indonesia. Ekspor Indonesia ke Jepang bernilai US$ 23.6 milyar (statistic Pemerintah RI), sedangkan impor Indonesia dari Jepang adalah US$ 6.5 milyar sehingga bagi Jepang mengalami surplus besar impor dari Indonesia (tahun 2007).

Komoditi penting yang diimpor Jepang dari Indonesia antara lain; minyak, gas alam cair, batubara, hasil tambang, udang, pulp, tekstil dan produk tekstil, mesin, perlengkapan listrik, dll. Di lain pihak, barang-barang yang diekspor Jepang ke Indonesia meliputi mesin-mesin dan suku-cadang, produk plastik dan kimia, baja, perlengkapan listrik, suku-cadang elektronik, mesin alat transportasi dan suku-cadang mobil.

Investasi langsung swasta dari Jepang ke Indonesia yang menurun sehubungan dengan stagnasi yang dialami perekonomian Indonesia akibat krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, kini belumlah pulih sepenuhnya, namun Jepang tetap menempati kedudukan penting di antara negara-negara yang berinvestasi di Indonesia. Dalam jumlah investasi langsung asing di Indonesia dari tahun 1967 hingga 2007, Jepang menduduki tempat pertama dengan angka 11,5% dalam kesuluruhannya.

Salah Arah Pembangunan

Strategi pembangunan yang ditempuh Pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Berkedok mendorong investasi, Pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang. Dominasi asing pada sektor migas dan pertambangan itu, dengan penguasaan wilayah kerja yang meluas dan tersebar dari wilayah Sabang di barat sampai Papua di timur Nusantara, membuat kedaulatan negara dan bangsa rawan.

Tentang kontrak blok Masela antara Indonesia dengan Inpex, Jepang, ini buah kebijakan yang anti terhadap rakyat adalah liberalisasi migas yang sekarang seolah-olah tidak dipermasalahkan lagi, baik liberalisasi di sektor hulu maupun hilir. Liberalisasi migas dampaknya lebih besar dibandingkan mafia migas. Legitimasi praktik liberalisasi ini adalah dengan disahkannya  Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 yang draft-nya dibuat oleh USAID dan didukung oleh IMF serta Bank Dunia  kemudian disahkan oleh anggota DPR. Menghentikan mafia migas tanpa mencabut  UU Migas No. 22 Tahun 2001 hanyalah retorika untuk menutupi pengkhianatan penguasa dan anggota DPR yang sangat merugikan rakyat dan menguntungkan para kapitalis.

Selain itu, kemandirian negara ini juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara ini, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan.

Walhasil, investasi asing, baik langsung maupun tidak langsung, khususnya negara-negara yang mempunyai kepentingan politik, baik global maupun regional, jelas bisa membahayakan negara. Karena investasi ini menjadi sarana untuk melakukan intervensi dalam politik, ekonomi dan banyak aspek di dalam negeri. Hal yang sama juga terkait dengan pemilikan asing atas tanah dan bangunan yang digunakan sebagai pabrik, dan sebagainya. Karenanya Forum Maritim Indonesia-Jepang menjadi kesepakatan membelenggu Indonesia. Rakyat sebagai pemilik sah negeri ini dikangkangi kedaulatannya. Sudah hidup rakyat sengsara, ditambah pula kesengsaraanya oleh negara.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*