Jangan Mengkriminalkan Al-qur’an dan Bendera Rasulullah Dalam Penanganan Terorisme

liwa-rayah-bendera-umat-islam-perlu-diperjuangkan-bukan-di-kriminalisasikanOleh: Dr.Mispansyah,S.H.,M.H.*

 

Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme, pihak densus 88 menjadikan Al-Qur’an dan Bendera yang bertuliskan kalimat tauhid sebagai barang bukti kasus tindak pidana terorisme. Seharusnya yang menjadi barang bukti tindak pidana terorisme adalah hal-hal yang mengarahkan kepada tindakan terorisme itu sendiri. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia KH.Ma’ruf Amin semua umat Islam tentu punya Al-Qur’an sebagai kitab sucinya, yang tidak punya justru diragukan keislamannya. Karena itu, jangan jadikan Al Qur’an sebagai barang bukti. Kalau Al Qur’an dijadikan barang bukti, itu sama saja menyebut  umat Islam terorisme semua. (voa Islam). Selain kitab suci Al-Qur’an, densus 88 kerap menjadikan buku atau kitab-kitab yang ada di rumah sebagai barang bukti dan disebut mengajarkan radikalisme. Menurut Ketua MUI “Buku jihad dalam artian apa? Kalau buku-buku jihad yang proporsional tentu tidak masalah. Aparat juga jangan alergi dengan istilah jihad. Kecuali jika pandangan jihad itu dimaknakan secara tidak proporsional yang mengarah pada tindakan radikalisme, maka bisa saja dijadikan barang bukti,”.

Pada kasus Bom Panci, Densus 88 selain senapan angin, pisau, mandau, celurit, rice cooker, tabung reaksi, pihak densus 88 menjadikan bendera Ar-Royah sebagai barang bukti, bendera hitam yang dikenal sebagai Ar-Royah (kain hitam yang bertuliskan kalimat tauhid warna putih) sebagai barang bukti aksi terorisme, tentu ini menjadi stigmasisasi negative terhadap Kitab Suci dan Bendera Rasulullah. Seharusnya barang bukti yang diambil oleh pihak Densus 88, adalah barang bukti yang ada relevansinya dengan aksi terorisme. Bagaimanakah hubungan barang bukti dengan alat bukti dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)?

 

Hubungan Alat Bukti dan Barang Bukti Dalam Tindak Pidana

Berdasarkan ketentuan Pasal 183  KUHAP disebutkan bahwa ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP telah ditentukan  dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu:
(1)Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

(2)Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.

Kemudian dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang disebut sebagai alat bukti yang sah adalah sebagi berikut:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

Dengan demikian, alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

Selain istilah alat bukti,dalam KUHP juga dikenal istilah barang bukti.  Dari daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang bukti tidak disebutkan sebagai termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.

Barang bukti, KUHAP memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu :

  1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;——-
  2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  3. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
  4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
  5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti. Dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:

  1. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti);
  2. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti);
  3. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti);
  4. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti).

Berdasarkan doktrin mengenai barang bukti juga dikemukakan beberapa Sarjana Hukum. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254).

Menurut Martiman Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti tersebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.

Dengan demikian, dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah:

  1. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
  2. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana;
  3. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana.
  4. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana;
  5. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara;
  6. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana.

Namun demikian, kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Adapun Hubungan barang bukti dengan alat bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut

  1. Barang bukti menguatkan kedudukan alat bukti yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP);
  2. Barang bukti berfungsi mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
  3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa yang dijadikan barang bukti dalam tindak pidana terorisme harusnya barang bukti yang relevan dengan aksi tindak pidana terorisme menjadikan Kitab Suci Al-Qur’an, Bendera Rasulullah, maupun buku-buku keIslaman lainnya yang tidak ada hubungannya dengan aksi terorisme, tidak relevan dijadikan sebagai barang bukti. Karena hubungan alat bukti dengan barang bukti dalam tindak pidana adalah, barang bukti yang menunjang tindak pidana, misalnya untuk aksi terorisme yang menunjang adalah bahan peledak, senjata api maupun senjata tajam, buku untuk membuat senjata maupun bom, bahan kimia, peluru, dan peralatan senjata maupun keperluan untuk melakukan aksi terorisme.

Menjadikan kitab Suci Al-Qur’an dan bendera Rasulullah maupun buku-buku Islami yang tidak ada kaitan dengan aksi terorisme sebagai barang bukti bagi tindak pidana terorisme merupakan bentuk mengkriminalkan Kitab Suci dan Bendera Rasulullah dan ajaran Islam.

Di dalam Islamen, bendera dan panji Islam dikenal dengan sebutan al-Liwa dan ar-Rayah. Hal ini berdasarkan hadits : “Rayahnya (panji peperangan) Rasul SAW berwarna hitam, sedang benderanya (liwa-nya) berwarna putih”. (HR. Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah). Dalam Musnad Imam Ahmad dan Tirmidzi, melalui jalur Ibnu Abbas meriwayatkan: “Rasulullah saw telah menyerahkan kepada Ali sebuah panji berwarna putih, yangukurannya sehasta kali sehasta. Pada liwa (bendera) dan rayah (panji-panji perang) terdapat tulisan ‘Laa illaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah’. Pada liwa yang berwarna dasar putih, tulisan itu berwarna hitam. Sedangkan pada rayah yang berwarna dasar hitam, tulisannya berwarna putih”.

Begitu banyak umat Islam yang sudah lagi tak mengenal apa dan bagaimana bendera mereka, bendera Islam, bendera Rasululah. Dahulu anak- anak kaum muslimin tidak perlu diperkenalkan seperti apa dan bagaimana bendera mereka, sehingga bendera Rasulullah menjadi langka.

Upaya mengkriminalisasi sebuah kebijakan yang dimuat dalam bentuk formalisasi peraturan perundang-undangan yang sebelumnya bukan merupakan kejahatan menjadi sebuah kejahatan. Jangan sampai Al-Qur’an, Bendera Rasulullah dan Ajaran Islam dikriminalkan oleh aparat penegak hukum, pembuat undang-undang dan penguasa negeri ini. Jangan sampai ketika seseorang membawa kitab Suci Al-Qur’an kemana-mana, maupun bendera al Liwa dan Ar Royah seolah telah melakukan tindak kejahatan atau kriminal, kalau ini terjadi, maka aparat penegak hukum telah menjadi monsterisasi terhadap Islam itu sendiri, yang mengajarkan Rahmatan Lil’Aalamin. Wallahu’alam.

 

—————————————————————-

 

Dimuat di kolom opini harian Radar Banjarmasin (22/12/16)

* Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*