Ketahanan Keluarga dalam Ancaman Serangan Pemikiran

kaleidoskop mhti LTs

Oleh: Lajnah Tsaqofiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

Pengantar

Keluarga ideal merupakan dambaan setiap orang.  Sayangnya, mewujudkan keluarga ideal di tengah sistem sekular kapitalis saat ini, menjadi sesuatu yang berat. Sistem sekuler yang menjauhkan agama (Islam) dari pengaturan kehidupan, terbukti memunculkan krisis.  Karena aturan sekuler lahir dari keterbatasan akal manusia dan bertentangan dengan fitrah, berpotensi melahirkan konflik.  Sehingga menimbulkan krisis, mulai dari krisis ekonomi, moral dan budaya, krisis sosial hingga krisis kepemimpinan.

Semua krisis tersebut tentunya berpengaruh pada kehidupan keluarga.  Krisis ekonomi yang mengakibatkan kemiskinan, menjadi penyebab utama perceraian.  Krisis moral dan budaya yang telah memunculkan penyakit sosial di masyarakat dengan adanya kaum LGBT, mengancam keluarga dan generasi.  Kriminalitas yang muncul sebagai bentuk krisis sosial dan ekonomi juga mengancam keamanan keluarga.  Krisis kepemimpinan yang mengabaikan kepentingan masyarakat karena berpihaknya penguasa pada konglomerat, menyengsarakan keluarga dengan mahalnya harga-harga kebutuhan.  Walhasil, kehidupan yang jauh dari aturan agama, menyebabkan kehidupan manusia menjadi sesak dan sengsara.

Bagaimana tidak terasa sesak, lihat saja angka perceraian dan trend single parent yang terus meningkat, kriminalitas yang dilakukan remaja semakin banyak dan bertambah kesadisannya, pergaulan bebas pada anak-anak dan remaja yang makin liar, jumlah penderita HIV/AIDS, pecandu dan pengedar narkoba yang terus meningkat, semua berada pada situasi darurat.

Kondisi demikian mengindikasikan adanya kerapuhan dalam ketahanan keluarga yang diakibatkan karena kesalahan tata kelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara ketahanan keluarga merupakan pilar ketahanan masyarakat dan bangsa.  Karenanya, mewujudkan ketahanan keluarga menjadi perkara yang sangat urgen.  Bentuk apapun yang mengancam ketahanan keluarga harus diwaspadai dan diupayakan penyelesaiannya.

Dalam catatan MHTI, selama kurun 2016, telah terjadi serangan pemikiran yang mengancam ketahanan keluarga. Berbagai persoalan yang menimpa keluarga sejatinya merupakan dampak dari serangan pemikiran itu.Perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kompleksnya masalah anak mulai dari anak sebagai korban kejahatan hingga pelaku kejahatan, berbagai penyimpangan perilaku dalam berkeluarga, hingga tereduksinya fungsi-fungsi keluarga, itu semua adalah dampak dari serangan pemikiran sekuler-liberal.

Oleh karena itu, semua pihak harus mewaspadai serangan ini.  Tidak saja keluarga dan masyarakat, negara juga punya andil yang besar dalam menangkal serangan tersebut.  Apalah artinya penolakan LGBT oleh sebuah keluarga, atau masyarakat, sementara  atmosfir kebijakan tetap memberi ruang pada mereka.  Sehingga action dari individu, keluarga dan anggota masyarakat sekalipun akan menjadi mandul tatkala kebijakan negara tidak selaras.  Karenanya, negara sudah sepatutnya memerankan diri selayaknya negara. Dengan posisiinya sebagai pelaksana peraturan, pembuat kebijakan dan pengelola seluruh urusan rakyat, negara adalah penanggungjawab langsung dalam mewujudkan ketahanan keluarga.

Berikut dipaparkan tiga pemikiran besar yang cukup dominan mengancam ketahanan keluarga beserta beragam peristiwa yang mengikutinya sepanjang awal 2016 hingga menjelang akhir 2016.  Semuanya mengindikasikan bahwa ketahanan keluarga di Indonesia dalam ancaman serius. Berkembangnya pemikiran yang mengancam ketahanan keluarga itu pun tak lepas dari pengaruh dan peran negara.  Ini berarti, jika ancaman itu sudah sedemikian parah, lantas kemana peran negara selama ini dalam melindungi keluarga?

Maka sungguh, keluarga saat ini membutuhkan perlindungan hakiki berupa hadirnya negara yang mengayomi dan melindungi keluarga dari segala ancaman, baik pemikiran maupun sistem yang merusak.

  1. Feminisme Mengancam Ketahanan Keluarga

Feminisme, adalah pemikiran dasar yang mengancam ketahanan keluarga.  Paham yang menghendaki kesetaraan antara suami dan istri, dengan program unggulannya yaitu pemberdayaan ekonomi dan politik bagi perempuan ini, sangat masif digencarkan.

Ide ini bagian dari konspirasi negara Barat untuk menghancurkan keluarga muslim.  Melalui PBB ia pesankan ide kesetaraan ini dengan mendorong keluarnya berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain.  Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Berbagai konvensi dan hasil kesepakatan ini dipaksa untuk diadopsi oleh negara-negara di dunia, termasuk negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, lahirlah berbagai UU sekuler yang pro liberal seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, Rancangan Amandemen UU Perkawinan, Kesehatan Reproduksi dan Hukum Materil Peradilan Agama, dan lain-lain.Dan yang masih hangat-hangatnya direalisasikan hingga 15 tahun ke depan adalah SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, sebagai kelanjutan dari MDGs (Millenium Development Goals)MDGs) yang setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Tahun 2016 ini menjadi awal pemberlakuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), tepatnya mulai 1 Januari 2016. Dari 17 Goals, 169 Target dalam SDGs, ada 16 goals dan 91 target terkait dengan kesetaraan gender, hak asasi perempuan dan anak perempuan. Perempuan dituntut berperan aktif untuk mengawal implementasi dan capaian dari semua tujuan dan target dalam Agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan.

Jika dicermati isi deklarasi dan konvensi ini nyaris sama dengan berbagai kebijakan yang sudah diundangkan maupun yang masih berupa draft rancangan UU. Kesemuanya mengandung spirit pembebasan dari aturan Islam.  Di dalamnya juga terkandung maksud untuk merombak pola interaksi, peran dan fungsi perempuan sebagaimana diajarkan Islam sekaligus menghapus kepemimpinan suami, yang berujung pada upaya mendesakralisasi lembaga perkawinan sekaligus membuka keran kebebasan atas nama kesetaraan dan HAM. Sebagai contoh, UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam. UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga.

Demikian halnya dengan RUU KKG, nampak jelas dalam mendefinisikan makna “adil” dalam Keadilan Gender, sebagai: “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.” (pasal 1, ayat 3).   Diperkuat lagi dalam pasal 4, perempuan Indonesia dipaksa untuk aktif di lapangan politik dan pemerintahan, dengan mendapatkan porsi minimal 30 persen: “…perempuan berhak memperoleh tindakan khusus sementara paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.” (pasal 4, ayat 2).

Demikianlah, serangan feminisme telah menghancurkan sendi-sendi keluarga.  Ketahanan keluarga pun kian rapuh.

  1. Liberalisme Mengepung Keluarga dan Anak

Berbagai peristiwa di tahun 2016 ini juga menunjukkan makin kuatnya ancaman liberalisme terhadap ketahanan keluarga.  Kebebasan bertingkah laku bagi individu, bebas berpendapat, beragama dan memiliki apapun menjadi acuan interaksi antar mereka.  Kebebasan bertingkah laku di samping melemahkan ikatan pernikahan, juga menjadikan peran dan tanggung jawab anggota keluarga hilang.  Kebebasan berpendapat telah menyuburkan paham dan komunitas yang merusak tatanan keluarga, seperti LGBT.  Liberalisme juga telah berhasil menggeser fungsi negara dalam melindungi keluarga melalui mandulnya aturan dan lemahnya penjagaan keamanan bagi keluarga.

Berikut beberapa perkara dominan pada tahun 2016 ini yang menunjukkan makin kuatnya liberalisme dalam mengancam ketahanan keluarga dan anak.

  1. Berkembangnya LGBT

Meski geliat LBGT di Indonesia telah diawali sejak beberapa tahun silam, namun perkembangan komunitas ini pada 2016 semakin signifikan.  Ada perubahan yang sangat nyata dari komunitas menyimpang ini.  Jika dulu mereka malu-malu menunjukkan jati dirinya, kini tidak lagi.  Komunitas LGBT makin merasa percaya diri bahwa apa yang dilakukannya tidak menyimpang.  Berikut bukti-buktinya.

Pernikahan sejenis ditemukan di beberapa tempat di wilayah Indonesia, ada yang berlangsung, ada pula yang akhirnya gagal karena ketahuan.  Meski harus dengan menyembunyikan jati diri, tetapi mereka sudah berani ingin menikah layaknya pasangan heteroseksual.  Tercatat diantaranya di Manado, Riau, Wonosobo, Lumajang, dan sebagainya.  Meski pemerintah menegaskan tidak akan melegalkan pernikahan sejenis, namun ancaman terhadap instistusi keluarga tetap nyata.

Jasa konseling Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI) yang terbentuk awal Januari 2016 ini juga makin menguatkan komunitas LGBT.  Sebab, meski merupakan kelompok pemikiran, namun secara masif mereka memfasilitasi eksistensi kaum LBGT, diantaranya sebagai ‘ajang mencari jodoh’ kaum LGBT. Komunitas LGBT juga secara masif telah masuk ke berbagai perguruan tinggi lainnya di Indonesia.

Komunitas menyimpang ini pun makin mengokohkan pengaruhnya setelah mendapatkan penghargaan dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) sebagai organisasi yang menyuarakan kebebasan berekspresi kaum minoritas di Indonesia (Agustus 2016).

Disinyalir mengganggu keluarga dan generasi, maka pemerintah didesak oleh sejumlah kalangan untuk mengamandemen KUHP khususnya tentang zina agar kelompok LGBT tidak bisa lagi leluasa bergerak.  Namun, itu pun belum menemukan titik terang.  Karenanya, ancaman komunitas ini bagi ketahanan keluarga masih sangat nyata.

  1. Pergaulan Bebas dan Penelantaran Anak

Buah Liberalisme juga sangat nampak dari perilaku hubungan lawan jenis.  Bayi-bayi yang dilahirkan tanpa kehendak orang tuanya menjadi korban.  Di tahun 2016 ini, aksi pembuangan bayi begitu marak. Hampir setiap hari berita di media online dan televisimenayangkan bayi ditelantarkan orang tuanya.Ada yang dibuang hidup-hidup dan ada juga yang dibuang tanpa nyawa, bahkan dimutilasi.  Penemuan bayi tak jauh dari jalan tol Cimanggis, di toilet masjid, di jalan menuju area makam Gus dur di Jombang, di timbunan sampah di Bekasi, di dalam sumur dan sebagainya.  Ada juga bayi yang ditemukan dalam kondisi terpotong-potong, yaitu Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Diduga, bayi itu akibat dari sebuah hubungan gelap.  Semua itu terjadi dalam waktu yang sangat berdekatan.

Liberalisme juga mengancam perempuan dan anak melalui maraknya kekerasan seksual di berbagai tempat.  Jumlah kasus kekerasan seksual di Indonesia hampir 300 ribu per tahun (Republika.co.id, 20/10/2016).  Kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur pun marak.  Pelecehan seksual yang menimpa anak SD kelas 4 di Jakarta oleh gurunya sendiri menjadi salah satu contohnya (25/10/2016).  Yang lebih memiriskan lagi adalah ketika pelaku kekerasan seksual ternyata ada yang dari kalangan anak-anak juga.  Seperti yang terjadi di Jakarta juga pada Oktober 2016.

Kejahatan seksual terhadap anak juga marak dilakukan oleh kaum gay.  Kali ini mereka mau membayar mahal korbannya.  Bisnis prostitusi gay dengan obyeknya anak-anak mulai terkuak.  Anak-anak yang seharusnya dijaga ternyata dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang.

Tahun 2016 menandai berlakunya sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak.  Hukuman kebiri resmi ditetapkan, namun belum terlihat efektifitas penerapan sanksi ini.

Tahun 2016 juga menorehkan luka mendalam terhadap nasib perempuan.  Tercatat beberapa perkosaan yang disertai pembunuhan dilakukan secara berjamaah.  Perilakunya makin sadis; korban ada yang dibuang di jurang (Kasus Yuyun Lampung), ada yang ditancapkan cangkul , dsb.

Di sisi lain, parahnya pergaulan bebas remaja telah meningkatkan permintaan dispensasi nikah di berbagai daerah.  Dispensasi nikah banyak diajukan oleh mereka yang terlanjur hamil.  Pihak pengadilan agama pun banyak yang mengabulkan permohonan tersebut demi menghindari keburukan yang lebih banyak lagi.

Semua kondisi itu mengarah pada kuatnya pengaruh liberalisme hingga kehormatan perempuan dan anak terancam, keluarga pun dalam ancaman kerapuhan.

  1. Meningkatnya Perceraian

Trend perceraian di banyak daerah memang meningkat tiap tahun, tak terkecuali di 2016 ini.  Di Serang, Jambi, Pekanbaru, Medan, dan sebagainya, hampir semua daerah sama trendnya.  Kebanyakan kasusnya istri menggugat cerai.  Di beberapa daerah perceraian justru terjadi di kalangan PNS.  Penyebabnya masih sama dengan tahun sebelumnya berupa ketidakharmonisan.  Pemicunya, bisa karena masalah ekonomi hingga perselingkuhan.  Berkembangnya media sosial saat ini pun turut menyumbang tingkat perceraian ini.  Hal ini makin menguatkan betapa liberalisme telah mengancam ketahanan keluarga.

  1. Serangan Media Informasi

Berganti tahun 2016, perkembangan teknologi dan media informasi pun semakin maju.  Sisi buruk kondisi ini pun dirasakan oleh keluarga.  Kebiasaan perempuan menampilkan kecantikan di media sosial makin kuat.  Hingga MUI di beberapa daerah melarang perempuan yang sudah menikah untuk memasang foto cantik sebagai foto profil di mesia sosial.  Dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi perempuan.  Tak hanya gambar, komunikasi lisan melalui media sosial pun makin nyata merusak tatanan keluarga.  Didapati sejumlah kejadian ketika suami atau istri berselingkuh hanya karena media sosial.  Ancaman perceraian pun makin nyata.  Bahkan hingga penculikan, pemerkosaan bahkan pembunuhan pun terjadi melalui media ini.

Kebebasan berekspresi yang difasilitasi oleh media telah meningkatkan ancaman pornografi.  Kasus Aukarin, Anya, dan lain-lain menunjukkan rusaknya kehormatan perempuan.  Mirisnya, banyak kalangan yang hanya menyerahkan persoalan ini kepada orang tua saja sebagai solusi.  Padahal, masalah ini bukan hanya terkait pendidikan orang tua, namun juga budaya, etika sosial, hingga penegakan sanksi dan penyelenggaraan media yang benar.

Pornografi juga meningkatkan kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak-anak.  Di tahun 2016 ini tercatat beberapa peristiwa anak usia SD sudah melakukan kekerasan seksual akibat tontonan porno.

Demikianlah, betapa banyak persoalan yang mengancam ketahanan keluarga akibat liberalisme ini.  Peran dan tanggung jawab anggota keluarga makin hilang. Suami dan istri tak dapat menjalankan perannya secara optimal.  Anak-anak pun selalu dalam ancaman, jika mereka bukan korban, bisa jadi pelaku kejahatan.  Ikatan pernikahan pun terancam.  Betapa mudahnya pasangan menikah dan bercerai.  Lantas, bagaimana mereka akan mewujudkan tujuan berkeluarga?  Padahal keluarga menjadi pondasi bangunan masyarakat dan negara.

Demikianlah ancaman liberalisme bagi ketahanan keluarga.  Sungguh, pemikiran liberalisme yang bertentangan dengan Islam ini harus dihilangkan.  Sebab, jika dibiarkan, paham ini bukan saja akan merusak keluarga dan generasi namun juga merusak umat dan Islam secara keseluruhan. 

Harus dipahami, bahwa liberalisme tak akan hidup dalam sistem Islam.  Liberalisme hanya hidup dalam sistem demokrasi sekuler.  Sebab, dalam sistem Islam tidak dikenal kebebasan sebagaimana pandangan liberalisme. 

Di sinilah peran penting negara untuk melindungi ketahanan keluarga.  Negaralah yang mampu mencampakkan sistem demokrasi tempat suburnya liberalisme.  Sebaliknya, hanya negara yang menerapkan sistem Islam saja yang akan melindungi keluarga.

  1. Deradikalisasi Memandulkan Peran Keluarga

Kerapuhan keluarga juga disumbang oleh upaya deradikalisasi.  Melalui upaya ini, keluarga yang seharusnya menjadi satuan terkecil penopang perubahan dimandulkan untuk hanya berkiprah secara terbatas.  Fungsi religius (keagamaan) pun terguncang.

Deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan (http://bhabinkamtibmas.com).

Paham radikal di sini yang kemudian mengalami perluasan makna, bukan sekedar pro kekerasan, namun menyasar berbagai aspek dari syariat Islam seperti penerapan syariat Islam, jihad, daulah, baiat dan sebagainya.

KH Amrullah Ahmad, Ketua Penasihat DPP Syarikat Islam, menyatakan definisi radikal sendiri sampai sekarang itu masih bias. Definisinya penuh dengan kepentingan paradigma yang dilatari kepentingan-kepentingan ideologi Barat. “Orang yang menjalankan Islam secara apa adanya, mengikuti sunnah Rasulullah saw. justru dianggap sebagai kaum fundamental ataupun kaum radikal, ataupun kaum-kaum lainnya yang intinya untuk pencitraburukan,” ujarnya.

Sebaliknya, orang Islam yang tidak menjalankan Islam secara apa adanya bahkan yang tidak mau menegakkan Khilafah dianggap sebagai moderat. “Moderat artinya cocok alias kompatibel dengan sistem Kapitalisme dan liberalisme,” ungkapnya (Al wa’ie, 27 Januari 2011).

Tak salah bila kita katakan bahwa upaya deradikalisasi hakekatnya adalah sekulerisasi, upaya untuk menjauhkan umat Islam dari pemahaman agama yang lurus.

Gerakan deradikalisasi ini ikut menghantam ketahanan keluarga muslim.  Ghirah keagamaan yang sudah berkembang dibuat layu kembali.  Semangat perubahan untuk keluar dari masalah yang membelit Islam sebenarnya telah nampak terutama di kangan keluarga muslim menengah.  Pengajian-pengajian tumbuh subur sampai merambah kantor-kantor.  Grup-grup medsos diramaikan dengan berbagai tausiyah yang menggugah kesadaran beragama.  Para perempuan beramai-ramai menutup auratnya.  Anak-anak membanjiri TPA dan sekolah-sekolah Islam.  Bank-bank mulai ditinggalkan.  Gema penerapan Islam mulai menjalar seiring dengan perubahan pemahaman umat.

Kondisi ini mulai dianggap mengkhawatirkan oleh musush-musuh Islam.  Maka terorisme dimunculkan untuk melegalkan upaya deradikalisasi yang hakekatnya adalah deislamisasi.  Gerakan deradikalisasi ini menekan dan menelikung semangat perubahan yang ada sehingga tidak berkembang dan berubah arah menuju sekulerisasi.  Orang berusaha untuk menjadi lebih shalih untuk dirinya sendiri, meninggalkan politik dan menerima demokrasi.

Sebuah penelitian yang baru-baru ini dirilis, menampakkan betapa agenda deradikalisasi hakekatnya sarat dengan tujuan-tujuan tersembunyi mempreteli Islam.  Sebuah studi dilakukan delapan mahasiswa Perguruan Tinggi CEGEP, Montreal, Kanada dipimpin oleh Dr Cecile Rousseau menyimpulkan bahwa agama bukanlah pemidu radikalisasi.

Rousseau sudah memulai studi radikalisasi di kalangan anak muda setelah setengah lusin mahasiswa College de Maisonneuve meninggalkan Kanada untuk bergabung dengan ISIS. Studi yang dia lakukan bersama mahasiswanya dilakukan di Provinsi Quebec, Kanada, dengan melibatkan 1.894 mahasiswa.Studi ini menunjukkan mereka yang berpegang pada ajaran agama, justru tidak memiliki kecenderungan untuk bergabung dalam pergerakan radikal yang melancarkan aksi kekerasan(Republika online, 26 Oktober 2016).

Jika agama bukan pemicu radikalisasi bahkan terbukti mencegah pemuda dari radikalisasi, maka salah besar jika deradikalisasi justru diarahkan pada agama.  Maka nampak ada tujuan terselubung di balik program ini yaitu memandulkan Islam, menjauhkan umat dari agenda penerapan syariat Islam yang disebarkan melalui dakwah massif bertahun-tahun belakangan ini.

Agenda deradikalisasi selama 2016 ini nampak dari beberapa fakta yang terjadi berikut:

  1. Program deradikalisasi di sekolah dan pesantren. Dalam pembahasan RUU Terorisme di DPR, dipandang perlu untuk memasukkan program deradikalisasi di sekolah (VOA Indonesia, 9 Juni 2016).  Kapolri Jendral Pol Drs Badrodin Haiti menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan penangkal yang efektif untuk melakukan deradikalisasi dan melawan terorisme (tribratanews.com, 25/01/2016).  Bahkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)telah meresmikan dan melakukan peletakan batu pertama pembangunan pesantren Darusy Syifa, di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sepetember 2016). Ini akan menjadi pesantren pusat rehabilitasi dan deradikalisasi pertama di Indonesia (zonasatu.co.id, 07/05/2016).  Program deradikalisasi gencar dilakukan di pesantren karena dibangun anggapan bahwa institusi pendidikan Islam ini adalah cikal bakal paham radikal.  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi sarat dengan kegiatan radikalisme yang tersebar di seluruh Indonesia.
    Kepala BNPT Saud Usman menuturkan, pondok pesantren ter­sebut tersebar mulai dari Lampung, Serang, Jakarta, Ciamis, Cilacap, Magetan, Lamongan, Cilacap, Solo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Ma­kassar, hingga Poso(jurnalasia.com, 03/02/2016).
  2. Deradikalisasi diprogramkan dari sejak usia dini. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pendidikan anak usia dini merupakan salah satu media pendidikan yang dapat mencegah secara dini paham radikalisme untuk berkembang.  Bahkan lanjutnya, proses preventif radikalisme tidak menjadi berbiaya tinggi(Republika.co.id, 12/04/2015).

Hal ini dinyatakannya menanggapi hasil survei Setara Institute yang dilansir akhir Maret lalu.  Survey tersebut mengatakan sebanyak 7,2 persen siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) di Jakarta dan Bandung menyetujui gerakan ISIS yang berjuang mendirikan negara Islam di Irak dan Suriah. Artinya, setiap 14 siswa SMU, ada 1 yang mendukung gerakan ISIS.

  1. Deradikalisasi ibu-ibu. Program ini dianggap penting karena ibu yang memegang pendidikan pertama dan utama anak-anak di rumah.  Salah satunya melalui sekolah ibu. Mereka diajarkan cara menangkal radikalisme dalam keluarga melalui Mother School atau sekolah ibu yang didirikan oleh organisasi Women Without Border yang bekerja sama dengan ahli anti-terorisme Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE).Inisiatif ini dilakukan di berbagai negara dengan dana dari berbagai kementerian di Austria, Uni Eropa dan Kemenlu AS (m.kiblat.net/2016/06/02).

Sebuah laporan baru yang diterbitkan UN Women pada Juli 2016 mengungkapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tahun 2016 dalam mengatasi radikalisme pada perempuan di Yordania. Laporan itu menyebutkan 82 persen responden percaya bahwa tekanan sosial dan ekonomi telah menyebabkan orang untuk mengambil bagian dalam ekstremisme kekerasan. RAN tersebut digunakan Pemerintah Yordania dan Komisi Nasional Yordania untuk Perempuan untuk memberdayakan perempuan sebagai kunci untuk mencegah penyebaran ideologi ekstremis (http://www.unwomen.org/en/news/stories/2016/7/empowering-women-key-to-preventing-extremism-in-jordan#sthash.0fMvX8Pw.dpuf).  Program ini lantas diadopsi juga untuk Indonesia dengan semakin digencarkannya berbagai pelatihan UMKM untuk perempuan dan jaminan bantuan [permodalan melalui berbagai kredit bank.

Demikianlah, deradikalisasi telah mengguncang ketahanan keluarga.  Pemikiran beserta segala upaya di dalamnya secara nyata berusaha mematikan peran keluarga sebagai agen perubahan masyarakat.  Keluarga menjadi mandul untuk berkembang menjadi bagian terkecil penopang berlangsungnya perubahan menjadi masyarakat Islam. Bahkan keluarga dipaksa untuk hanya menyibukkan diri pada urusan privat.

Penutup

Demikianlah beberapa bentuk serangan pemikiran yang secara nyata mengancam ketahanan keluarga.  Sejatinya, semua serangan itu tak akan massif jika saja negara memainkan perannya secara benar.  Sebab, pada faktanya negara selama ini abai dengan memberi fasilitas dan angin segar bagi berkembangnyasemua paham dan upaya merusak itu.

Ini semua terjadi karena negara perpijak pada sistem demokrasi sekuler kapitalis.  Pada kondisi ini negara menjadi habitat yang menyenangkan bagi segala upaya untuk menghancurkan keluarga.  Dalam sistem ini negara telah kehilangan perannya sebagai pelayan rakyat dan penjaga keluarga.

Oleh karena itu, tak ada yang bisa diharapkan lagi dari negara seperti ini.  Negara sekuler kapitalis terbukti menghancurkan keluarga.  Kerapuhan keluarga senyatanya telah diproduksi oleh negara seperti ini.

Oleh karena itu, saatnya seluruh umat dan keluarga muslim bangkit.  Agar mereka menyadari apa yang seharusnya dilakukan agar keluarga kembali menjadi salah satu pilar tegaknya masyarakat maju dan sejahtera.

Dan sungguh, hanya negara yang mendasarkan pada hukum syariah saja yang akan mampu memainkan peran idealnya sebagai pilar menuju terwujudnya ketahanan keluarga.   Ini artinya, solusi tuntas bagi persoalan kerapuhan keluarga adalah berjuang bersama menegakkan sistem Islam (Khilafah) yang akan secara nyata menghadirkan Negara sebagai Soko Guru (pilar) bagi Ketahanan Keluarga.  Itulah tugas kita saat ini. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*