Salah Urus Negara, Rakyat Pula Korbannya
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengakui jika memang terjadi masalah komunikasi di dalam pemerintahan terkait kenaikan tarif STNK. Menurut JK, baik institusi kepolisian maupun Kementerian Keuangan hanya bersifat mengusulkan. Kenaikan tarif STNK ini diputuskan oleh Presiden melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/17/01/06/ojcqoa382-jk-akui-komunikasi-internal-pemerintah-bermasalah-terkait-tarif-stnk
KOMENTAR
Tak sekali ini saja pemerintah terkesan main-main dengan urusan hajat hidup rakyat. “Pesta” tahun baru berganti dengan horor ekonomi. Dari urusan cabai di dapur, listrik, hingga urusan kendaraan bermotor : kenaikan harga BBM dan biaya pengurusan surat-suratnya. Yang paling fantastis tentu saja tarif baru pengurusan surat-surat kendaraan. Besarannya naik dua kali lipat dari nilai sebelumnya. Kenaikan cukup besar juga terjadi di penerbitan BPKB baru dan ganti kepemilikan. Roda dua dan tiga yang sebelumya dikenakan biaya Rp 80 ribu, dengan peraturan baru ini, akan menjadi Rp 225 ribu. Roda empat yang sebelumnya Rp 100 ribu, kini dikenakan biaya Rp 375 ribu. Sekalipun pembayaran surat-surat itu tidak dilakukan secara berkala seperti beli cabe atau bayar listrik, tapi kelalaian mengurus surat-surat itu bakal mengganggu rutinitas harian mereka.
Tapi, apa mau dikata? Seperti biasanya, rakyat hanya bisa menggugat dan menerimanya dengan penuh keterpaksaan. Dengan pendapatan yang tak meningkat dan perkiraan inflasi sebesar 4 persen -sesuai postur RAPBN 2017- bisa dibayangkan, betapa kian berat beban ekonomi yang dipikul masyarakat. Padahal 40 persen rakyat Indonesia berpendapatan rendah, hanya 20 persen saja yang terhitung mampu menghadapi gejolak ekonomi.
Namun, persoalannya bukan hanya sekedar mampu atau tidak mampu. Yang paling penting adalah paradigma tentang peran pemerintah. Bila pemerintah berdalih kenaikan itu demi meningkatkan pelayanan kepolisian, sungguhlah amat naif. Mengapa harus rakyat yang menanggung beban pelayanan? Bukankah pegawai dan aparat negara digaji dengan pajak rakyat untuk melayani kepentingan publik, sebagaiman contohnya semboyan kepolisian: Melindungi, Mengayomi dan Melindungi masyarakat? Bukankah anggaran telah disusun dengan cermat dan persetujuan inspektorat keuangan, sehingga (seharusnya) tak bisa semena-mena dinaikkan?
Masalahnya, tak ada kamus pelayanan dalam sistem neolib. Sistem ini menjadikan pemerintah bertransformasi menjadi pedagang: ada uang, (baru) ada layanan. Itupun dengan penetapan harga sepihak, tanpa ada transaksi yang fair, bila disetarakan dengan transaksi jual beli. Dalih profesionalitas, mengaburkan peran dan fungsi hakiki negara dan aparatnya yang seharusnya sebagai pelayan atas kepentingan publik. Maka, tak heran bila sistem koordinasi berjalan dengan kacau, karena masing-masing pihak akan berbuat sesuai takaran keuntungan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak pernah berpihak pada rakyat.
Ingat, kenaikan biaya-biaya hidup sudah terjadi kesekian kali, sekalipun berbeda ruang, waktu dan obyek kebijakan. Tidak lelahkah menjalani hidup seperti ini? Rasulullah saw. mengingatkan, “Seorang mukmin tidak boleh dua kali jatuh dalam lubang yang sama.” (Shahih Muslim No.5317). Keledai pun tak mau jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, apalagi kita? Tak ada cara lain kecuali tinggalkan sistem neolib ini, segera![] (LS MHTI)