“Kado Pahit” Awal 2017

[Al-Islam Edisi 839, 14 Rabiul Akhir 1438 H – 13 Januari 2017 M]

Pada awal tahun 2017 rakyat mendapat “kado pahit” dari Pemerintah berupa harga dan tarif baru yang meliputi: kenaikan biaya pengurusan STNK, BPKB, TNKB, dsb yang naik 100-300 persen; harga baru BBM Jenis Umum (selain Premium RON 88) yang naik Rp 300 perliter; juga kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan golongan 900 VA. Selain itu, masyarakat juga dihadapkan pada kenaikan harga beberapa kebutuhan, yang paling spektakuler adalah kenaikan harga cabai.

Yang paling banyak mendapat respon dari masyarakat adalah kenaikan tarif biaya pengurusan STNK, BPKB dan lainnya. Kenaikan itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). PP Nomor 60 Tahun 2016 yang di antaranya mengatur kenaikan biaya kepengurusan STNK, BPKB, biaya pengesahan STNK tiap tahun, pembuatan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dan lainnya itu telah ditandatangani oleh Presiden pada 2 Desember 2016 dan diundangkan pada 6 Desember 2016 oleh Menkumham serta mulai berlaku 6 Januari 2017.

Kenaikan biaya pengurusan itu berkisar 100 persen (seperti biaya STNK, TNKB, mutasi) hingga 300 persen (BPKB). Ada juga yang sebelumya tidak dikenai biaya, dengan PP itu, dikenai biaya; seperti Pengesahan STNK, yang sebelumnya tidak dikenai biaya, dengan peraturan baru itu dikenai biaya Rp 25 ribu.

Adapun kenaikan tarif dasar listrik (TDL), menurut Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, akan dilakukan dalam tiga tahap yaitu pada 1 Januari 2017, 1 Maret 2017 dan 1 Mei 2017. Pada tiap tahap naiknya 32%. Baru pada 1 Juli 2017, pelanggan 900 VA akan mendapat TDL non-subsidi, yang disesuaikan tiap bulan, seperti 12 golongan lainnya.

Sementara itu, kenaikan harga BBM Jenis Umum, yakni selain Premium RON 88, ditetapkan melalui Surat Keputusan Direktur Pemasaran PT Pertamina Nomor Kpts-002/F00000/2017-S3 dan 003/F00000/2017-S3 tanggal 4 Januari 2017 dan mulai berlaku pada pukul 00.00 tanggal 5 Januari 2017 dengan kenaikan sebesar Rp 300 perliter dan harga yang berbeda-beda di setiap wilayah. Kenaikan ini dilakukan dengan alasan kenaikan harga minyak dunia.

Kejar Setoran

Kenaikan biaya STNK dsb itu dijadikan cara mudah kejar setoran pemasukan negara. Pasalnya, dari pengalaman tahun lalu, realisasi pemasukan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) melebihi target di APBN-P 2016, yakni Rp 262,36 triliun atau 107 persen dari target Rp 245,08 triliun. Mungkin berkaca dari itu, target PNBP pada APBN 2017 pun dinaikkan, khususnya PNBP untuk Kepolisian. Jadi, kenaikan biaya STNK, BPKB, TNKB dsb itu adalah hasil “kongkalingkong” Pemerintah dan DPR, sebab APBN itu ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR.

Direktur PNBP Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, Mariatul Aini, pernah mengatakan, target PNBP untuk Kepolisian RI pada APBN 2017 ditetapkan naik Rp 1,73 triliun khusus dari layanan STNK dan BPKB. Masing-masing untuk STNK ditargetkan naik Rp 840 miliar dan Rp 890 miliar untuk BPKB. “Berdasarkan data Polri, sesuai target PNBP APBN 2017 untuk STNK, ada kenaikan Rp 840 miliar menjadi Rp 1,91 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 1,07 triliun. Adapun BPKB, dari Rp 1,22 triliun menjadi Rp 2,11 triliun pada tahun ini atau naik Rp 890 miliar,” kata Aini (Liputan6.com, 8/1/2017).

Kenaikan biaya STNK dsb itu lebih terjamin terpenuhi, sebab kendaraan sudah menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Itu artinya, pemilik 100 juta sepeda motor dan 15 juta mobil, sebagian besarnya akan terpaksa membayar meski dengan kenaikan itu. Selain itu, kenaikan itu juga tidak akan terlalu berpengaruh pada keinginan masyarakat membeli kendaraan bermotor.

Akibat Neoliberalisme

Pangkal masalah semua itu adalah penerapan sistem neoliberalisme di negeri ini. Dalam doktrin neoliberalisme, Pemerintah tidak diposisikan sebagai pelayan yang melayani segala kepentingan masyarakat secara murah atau bahkan gratis. Pemerintah justru diposisikan sebagai penyedia jasa, sementara masyarakat adalah pengguna jasa yang harus membayar kepada Pemerintah. Hubungan negara dengan rakyat akhirnya seperti hubungan pedagang dan pembeli, bukan hubungan pelayan dan yang dilayani. Rakyat harus membayar harga atau biaya pelayanan yang disediakan oleh negara. Berikutnya, harga atau biaya itu akan disesuaikan indikator ekonomi dan harga pasar. Alasan harus ada penyesuaian dengan inflasi, karena harga komponennya naik, atau alasan biaya naik agar pelayanan lebih baik, adalah cerminan dari cara pandang komersial.

Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, surat-surat kendaraan bermotor adalah pelayanan publik yang tak harus disesuaikan dengan inflasi. “Alasan inflasi untuk menaikkan tarif, sebagaimana alasan Menkeu, adalah kurang tepat. Sebab, STNK, SIM adalah bukan produk jasa komersial; tetapi pelayanan publik yang harus disediakan birokrasi,” katanya (Kompas.com, 4/1/2017).

Alasan inflasi itu menegaskan pandangan Pemerintah yang memandang STNK, SIM atau BPKB sebagai bagian dari produk ekonomi komersial; bukan sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat.

Neoliberalisme juga menjadi pangkal kenaikan TDL. Doktrin neoliberalisme meniscayakan pencabutan subsidi. Itulah yang sedang dan terus dilakukan oleh Pemerintah. Kenaikan TDL untuk pelanggan 900 VA terjadi lantaran Pemerintah memutuskan mencabut subsidi dari pelanggan 900 VA yang dianggap mampu alias bukan rakyat miskin. Jumlah mereka sebanyak 18,9 juta pelanggan. Dengan pencabutan subsidi itu, Pemerintah bisa memangkas subsidi listrik tahun 2017 sebesar Rp 20 triliun.

Adapun kenaikan harga BBM saat ini dilakukan dengan alasan harga minyak dunia juga naik. Sebabnya, setelah subsidi BBM dihapus oleh Pemerintah, harganya disesuaikan dengan harga pasar. Itu adalah akibat liberalisasi migas yang menjadi doktrin neoliberalisme. Karena itu kenaikan harga BBM dilakukan melalui surat keputusan Direktur Pemasaran Pertamina. Meski hal itu dianggap bertentangan dengan Perpres No. 191 tahun 2014 dan Putusan MK tahun 2003, cara itu pun tetap dilakukan karena merupakan amanat liberalisasi dan doktrin neoliberalisme.

Harus diingat, berbagai kenaikan ini bukanlah yang terakhir. Semua itu bisa akan terus naik pada masa datang, khususnya TDL dan harga BBM. Pasalnya, diperkirakan harga minyak akan kembali naik.

Semua kenaikan itu jelas akan makin membebani masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Mereka akan terpukul dari dua sisi. Pertama, berbagai kenaikan itu akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Ada yang memperkirakan harga barang naik 7-15%. Kedua, daya beli mereka turun karena pendapatan tidak naik, sementara biaya makin besar karena berbagai kenaikan itu. Alhasil, masyarakat kebanyakan akan paling banyak merasakan beban berat dari kebijakan menaikkan biaya dan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah itu.

Menyalahi Islam

Dalam Islam, Pemerintah adalah pihak yang ditugasi untuk memelihara semua urusan dan kemaslahatan rakyat. Rasul saw. bersabda:

«فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin adalah pihak yang berkewajiban memelihara urusan masyarakat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR Muslim).

Hadis ini menegaskan tugas pemimpin atau penguasa adalah melakukan ri’ayah (mengurus rakyat).

Rasul saw. juga memperingatkan bahwa orang yang memungut cukai/pajak (shâhibu maksin) tidak akan masuk surga atau dalam satu riwayat mereka ada di neraka. Itu artinya, negara tidak boleh berubah menjadi dawlah jibâyah (negara pemalak). Karena itu negara tidak boleh mengenakan pungutan atas pelayanannya kepada rakyat. Dalam sistem Islam, Pemerintah harus memposisikan diri sebagai pelayan yang melayani berbagai urusan rakyat dengan kualitas terbaik tanpa mengenakan pungutan atas pelayanan itu. Islam telah menetapkan berbagai sumber pemasukan yang akan cukup untuk membiayai pelayanan kepada rakyat dan pembangunan.

Dalam Islam, negara juga berkewajiban menerapkan syariah secara menyeluruh, termasuk Sistem Ekonomi Islam. Liberalisasi migas dan energi yang terjadi saat ini menyalahi ketentuan Islam. Dalam Islam, migas dan energi ditetapkan sebagai harta milik umum, milik seluruh rakyat. Pengelolaan migas tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta, juga tidak boleh dikelola mengikuti pasar. Migas dan energi harus dikelola lagsung oleh negara mewakili rakyat. Pengelolaannya harus memberikan kemaslahatan terbesar kepada rakyat dan hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat.

 

Wahai Kaum Muslim:

Telah nyata, berbagai problem yang ada, termasuk berbagai kenaikan yang harus ditanggung rakyat saat ini, adalah akibat penerapan sistem kapitalisme-neoliberalisme. Karena itu solusi satu-satunya adalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme-neoliberalisme ini dan mengambil sistem Islam. Caranya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh melalui metode yang telah ditetapkan oleh Islam, yaitu melalui sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

 

Komentar al-Islam:

Panglima TNI Ajak Prajurit Teladani Rasulullah (Republika.co.id, 10/1/2017).

  1. Meneladani Rasul saw. haruslah dalam seluruh aspeknya; baik sebagai pribadi, kepala keluarga, pimpinan masyarakat maupun kepala negara.
  2. Faktanya, semua sisi kepribadian Rasulullah saw. mencerminkan Islam kâffah.
  3. Islam kâffah hanya terwujud saat syariah Islam diterapkan oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan: politik, ekonomi, pemerintahan, hukum, peradilan, pendidikan, militer, dll.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*