Oleh: Umar Syarifudin (LS DPD HTI Jatim)
Pertemuan bilateral tertutup yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe membahas sejumlah isu tertentu diantaranya adalah kerja sama pada proyek pembangunan fasilitas pengolahan gas alam cair atau LNG Blok Masela di Maluku, proyek Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, dan proyek pengembangan kereta cepat yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya. Pertemuan ini dilakukan di Istana Bogor Minggu (15/1/2017). Dalam lawatannya kali ini, PM Shinzo Abe membawa sekitar 30 direktur utama perusahaan-perusahaan besar Jepang , dengan maksud agar segera bisa merealisasikan peningkatan kerja sama bidang politik, ekonomi, maritim, sosial dan budaya antara Indonesia dan Jepang.
Pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya dengan kecepatan 165 kilometer per jam diproyeksikan akan menelan dana investasi sekitar Rp 80 triliun. Dana sebesar itu, diakui Luhut sebagai angka yang tak mungkin dibebankan ke APBN. Pemerintah menargetkan pula konstruksi pembangunan Pelabuhan Patimban akan dimulai pada kuartal III 2017 ini. Awal tahun ini, pemerintah akan mempercepat proses DED dengan finalisasi desain dan komunikasi dengan JICA. Ia menyampaikan, pihak swasta Jepang juga berniat untuk masuk ke dalam proyek Patimban ini.
Banyak kalangan berpendapat kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ke Indonesia pada Minggu (15/1) salah satunya untuk menyepakati proyek Lapangan Abadi, Blok MaseBlok Masela dioperatori oleh perusahaan asal Jepang Inpex Masela Ltd. dengan kepemilikan saham (65%) dan Shell (35%).
Inpex adalah perusahaan minyak Jepang yang memulai usahanya pada 1966. Perusahaan asal Jepang itu berinvestasi di Indonesia sejak awal pendiriannya, dengan menandatangani kontrak pada tanggal 21 Februari 1966 dengan nama perusahaan North Sumatra Offshore Petroleum Exploration Co., Ltd. Sejak itu Inpex terus mengembangkan investasinya di berbagai wilayah Indonesia melalui berbagai anak perusahaan, yang meliputi Inpex Natuna, Inpex Jawa, Inpex Sumatra, Inpex Masela, MI Berau B.V., dan Inpex Offshore Northeast Mahakam, Ltd. Pada tanggal 3 April 2006, Inpex Corporation dan Teikoku Oil Co., Ltd. melakukan merger dan menjadi Inpex Holdings, Inc. Saat ini Inpex mengerjakan tidak kurang dari 70 proyek dan beroperasi di 28 negara, antara lain Indonesia, Australia, Kazakhstan, Azerbaijan, Georgia, Uni Emirat Arab dan Brasil.
Direktur Archipelago Solidarity (Arso) Foundation, Engelina Pattiasina mengatakan, Provinsi Maluku kini menjadi perhatian dunia, seperti dulu pada masa penjajahan Kolonial. Jika dulu dicari karena kekayaan rempah-rempahnya, kini Maluku dicari karena potensi kekayaan Migas (minyak dan gas bumi) yang sangat luar biasa.
“Maluku kini memiliki 25 Blok Migas, 15 diantaranya sudah dikelola investor asing dan sisanya 10, masih menunggu investor untuk digarap. Dengan potensi Migas di 25 Blok itu, Maluku seharusnya bisa merdeka dari kemiskinan. Sebab menurut BPS Maluku, Provinsi berpenduduk 1.6 juta ini, 18,84 persen atau 307 jiwa adalah penduduk dan menempati uturan keempat setelah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur atau NTT,” katanya, di Jakarta, Senin (10/8/2015).
Praktisi migas Boetje Balthazar mengatakan, para tokoh Maluku ini memperlihatkan peta dan data kandungan Migas yang dimiliki Maluku yakni 25 Blok Migas. Salah satu yang potensinya sangat besar adalah Blok Masela yang terletak di wilayah Maluku Tenggara. “Di Blok Masela ini ada 10 sumur, jika semuanya berproduksi 1-2 tahun lagi, akan menghasilkan 7.5 juta kubik fit gas per tahun. Belum lagi kandungan minyaknya. Jadi sangat luar biasa,” kata Balthazar.
Adapun 15 Blok Migas Maluku yang kini sudah dikelola investor asing adalah Blok Amborip VI, Blok Arafura Sea, Blok Aru Trough, Blok Aru, Blok West Aru I, Blok West Aru II, Blok South East Seram, Blok Kuwama, Blok East Bula, Blok Seram Kode 1/05. Blok Seram (non Bula), Blok Bula, Blok Masela, Blok Babar Selaru, dan Blok Offshore Pulau Moa Selatan.
Sedangkan 10 blok Migas yang kini sedang ditawarkan kepada investor asing adalah Blok South Aru, Blok North Masela, Blok West Abadi, Blok Tatihu, Blok Arafura Sea II, Blok Aru Trouhg II, Blok South Aru, Blok Yamdena, Blok Sermata, Blok South East Palung Aru. (pikiran-rakyat.com 11/8/2015)
Stop Swastanisasi!
Begitulah, realitas menunjukkan betapa rusaknya rancangan neo-liberalisme itu. Berapa banyak rakyat Indonesia harus terputus akses ekonominya, karena tidak berdaya menghadapi serbuan investor asing. Perjanjian bilateral Indonesia-Jepang sebagaimana halnya perjanjian ekonomi bilateral dan multilateral lainnya, menjadikan liberalisasi sebagai doktrin utama. Liberalisasi perdagangan, jasa dan investasi dipandang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi suatu negara sekaligus mampu mendorong peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya, realitas yang terjadi tidak seindah teorinya.
Liberalisasi investasi telah menciptakan berbagai krisis ekonomi dan keuangan yang melanda kita. Berbagai paket reformasi struktural dan kebijakan yang dijalankan justru menimbulkan kegoncangan baru. Kalaupun ada manfaat dari pemberlakuan liberalisasi, maka yang paling diuntungkan adalah negara-negara kapitalis yang telah maju, seperti Jepang. Dengan kekuatan politik dan ekonomi yang mereka miliki, berbagai cara mereka tempuh agar tetap menangguk untung dari kesepakatan tersebut. Akibatnya Indonesia terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju. Di sisi lain, struktur perekonomian negara-negara berkembang terus terdesain agar terus bergantung kepada negara-negara maju tersebut. Akibatnya, mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Liberalisasi ekonomi tentu saja haram dalam pandangan Islam, sebab ia telah menjadi sarana yang ampuh bagi negara-negara kufur untuk mencengkeramkan ideologi dan pengaruhnya terhadap negeri-negeri Islam. Padahal hal tersebut secara tegas dilarang dalam Islam sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. An Nisa 141).
Indonesia tidak akan mampu menjadi ekonomi raksasa dunia selama berada dalam kungkungan sistem demokrasi, Rezim pro neo-liberal, penerapan sistem kapitalisme dan kepatuhan pada lembaga kolonial seperti IMF. Potensi luar biasa Indonesia hanya bisa terwujud dalam sistem khilafah. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam, mengatur sumber daya energi, menjaganya sebagai sumber daya milik umum, memastikan produktivitas penggunaan sektor energi yang luar biasa ini, serta menghasilkan manfaat maksimal dalam menjaga urusan umat.[]