Sudah Saatnya, Sekarang Atau Kerusakan Lebih Parah Lagi…

subsidi listrikOleh: Aufa Ibnu Junaidi Ath-Thayibi

Masyarakat dibebani berbagai masalah disebabkan kebijakan baru pemerintah. Memang sudah bukan suatu hal yang baru didengar telinga kita, tentang masalah kenaikan harga. Mulai dari harga cabai, kenaikan biaya pengurusan STNK, BPKB, TNKB, dsb yang naik mulai 100 sampai 300 persen, juga kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan golongan 900 VA. Ini membuktikan negara ini sudah mulai kebingungan bagaimana mengatasi permasalahan ekonomi yang amburadul.

Penduduk menengah bawah merasakan dampak terbesar kenaikan tersebut. Harga barang dan jasa meroket pasca pengumuman tersebut. Pasalnya, efek domino kenaikan tarif listrik tidak hanya pada kenaikan biaya transportasi, namun juga pada barang dan jasa lainnya. Kenaikan tarif listrik akan meningkatnya biaya produksi sebesar lima persen, belum termasuk efek kenaikan upah buruh. Kalangan industri dipastikan akan meningkatkan harga jual karena biaya produksi meningkat.

Kondisi itu menyebabkan daya saing produk dalam negeri dibandingkan produk impor makin menurun. Produk dalam negeri akan terkena beban tambahan kenaikan TTL dan upah. Sebaliknya, produk impor tidak dipengaruhi kedua hal tersebut,  sehingga harganya akan lebih murah. Jika pasar tidak menerima produk dengan harga tinggi, maka konsekuensinya akan banyak pekerja yang dirumahkan, sebagai langkah efisiensi.

Kebijakan kenaikan TTL memang sulit diterima. Apalagi tujuannya menekan angka subsidi listrik. Selain itu juga efek domino kebijakan ini akan besar. Jika pemerintah serius mengurusi rakyat, justru bukan memangkas subsidi, tapi menambah porsi subsdi untuk rakyat.

Sungguh, ini adalah langkah pemerintah yang sangat kejam dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Dan juga melanggar prinsip ekonomi syariah. Kebijakan ini semakin menunjukkan bahwa kerja yang dilakukan kabinet  Jokowi adalah untuk kepentingan korporat, bukan untuk kepentingan rakyat.

Semestinya , sebagai seorang muslim, Jokowi mendengarkan nasehat yang telah dikemukakan, bahwa dalam prinsip ekonomi syariah, minyak bumi adalah jenis harta yang menjadi milik umat (rakyat). Bukan milik negara. Akibatnya, negara tidak bisa berkilah bahwa negara bisa melakukan apa saja dalam pengaturan migas karena itu adalah kewenangannya.

Seperti pada awal masa pertama pemerintahanya, mereka memberikan janji-janji manis yang menggiurkan. Menggalakkan program menuntas kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Namun, hari demi hari, bulan berganti dan sampai pada penghujung akhir tahun, hingga pada saat ini di tahun 2017 yang baru saja kita buka dengan membuka halaman kalender baru kita. Justru rakyat dikeruk hartanya dengan alasan pemberdayaan layanan masyarakat.

Diriwayatkan oleh Ibnu `Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ummat Islam berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api. Memungut bayaran untuk itu haram hukumnya”. Abu Sa`id mengatakan: “Yang dimaksud dengan air adalah air mengalir”.

Migas termasuk dalam harta milik rakyat, karena karakternya yang sama dengan api, atau karena kesamaan kriteria sebagai barang kebutuhan mendasar yang dibutuhkan banyak orang.

Dalam pengaturan ekonomi syariah, posisi negara justru sebagai pihak yang bertanggung jawab aktif mengelola migas..Negara bekerja keras mulai dari proses eksplorasinya, sampai dengan pendistribusiannya ke masyarakat. Karena itu adalah tanggung jawabnya.

Negara dilarang mengambil keuntungan dari pengelolaan migas, karena itu bukan miliknya. Negara diharuskan mengembalikan proses pengelolaan migas kepada rakyat sebagai pemilik sejatinya, dalam bentuk pembagian gratis, penjualan dengan harga murah, atau pengalokasian keuntungan ke dalam berbagai pos kebutuhan massal.

Sudah jelaslah kebobrokan negeri ini. Ketika sudah hancur berantakan, solusinya tidak lain adalah mengganti keseluruhannya menjadi baru, membersihkannya dan memasang komponen komponen baru. Sebagai negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, semestinya cadangan migas yang telah diberikan Allah swt dalam jumlah besar terhadap negeri ini, dikelola dengan prinsip ekonomi syariah. Agar bisa membawa kebaikan untuk semua. Muslim dan non muslim akan menjalani kehidupan yang lebih baik dalam pengaturan Syariah Islam. Proses itu membutuhkan pula perubahan mendasar pada sistem kenegaraan saat ini, yang sudah semestinya berganti dari format negara demokrasi, berubah menjadi tata politik kenegaraan Khilafah Islam.

Wallahu’alam bisshawab[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*