Oleh: Caria Ningsih*
(*Saat ini tinggal di Korea Selatan)
Hidup di Korea Selatan (lebih sering disebut Korea) memang banyak memberikan kemudahan dan kenyamanan fasilitas dan infrastrukur. Negara yang memiliki akses internet tercepat di dunia versi Akamai (2015) ini banyak memberikan kemudahan dalam berbagai kebutuhan kehidupan warga khususnya terkait fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, serta banyaknya sarana rekreasi publik yang tertata dan terpelihara dengan baik.
Namun seluruh kemudahan fasilitas dan kenyamanan infrastruktur tersebut ternyata tidak mampu menutupi dan mengurangi berbagai kerusakan sosial, khususnya kehidupan keluarga masyarakat Negeri Ginseng ini. Setidaknya ada beberapa masalah sosial yang dialami Korea saat ini, diantaranya depopulasi akibat rendahnya tingkat kelahiran, turunnya tingkat perkawinan, meningkatnya populasi masyarakat yang hidup sendiri, fase masyarakat tua (aged society), tingginya tingkat stress istri pada usia pernikahan yang panjang hingga berkembangnya fenomena ‘jolhon’ (marriage graduation), serta upaya pembentukan keluarga legal tanpa ikatan darah dan perkawinan.
Berdasarkan laporan Statistik Korea, 8 Desember 2016, diperkirakan penduduk produktif yang berusia 15-64 tahun akan mencapai puncaknya pada tahun 2016 dan mulai menurun pada tahun 2017. Walhasil tingkat kelahiran yang rendah berdampak pada populasi pelajar dari taman kanak sampai perguruan tinggi akan turun 20% selama sepuluh tahun ke depan. Jumlah manula Korea akan melebihi jumlah anak-anak pada tahun depan. Penduduk usia produktif semakin menurun. Hal ini berimbas pada struktur demografi yang cenderung memiliki efek yang besar di masyarakat Korea.
Rendahnya tingkat kelahiran di Korea berhubungan dengan fenomena sosial masyarakat Korea yang memilih untuk menunda waktu pernikahan, bahkan memutuskan untuk tidak menikah. Kementrian Strategi and Keuangan (Ministry of Strategy and Finance) Korea Selatan, 19 Desember 2016, mengumumkan bahwa berdasarkan sampel populasi dan perumahan pada tahun 2015 diperkirakan jumlah populasi tidak menikah meningkat 0.7 persen pada semua usia dibandingkan tahun sebelumnya. Tertinggi 36.3 persen populasi tidak menikah pada usia 30an tahun, 13.6 persen pada usia 40an tahun, khususnya 18.2 persen laki-laki usia 40an tahun tidak menikah. Rata-rata pasangan Korea menikah pada usia awal 40an tahun. Berdasarkan sumber yang sama, jumlah populasi yang tinggal sendiri karena tidak menikah pun meningkat, namun populasi yang tinggal sendiri karena perceraian jumlahnya lebih besar.
Pada tanggal 27-28 Oktober 2016, anggota Full House, sebuah kelompok afiliasi dari Sekolah Hukum, Ewha Womans University, mengumpulkan tanda tangan untuk meminta dukungan publik terkait dengan rancangan undang-undang Partner Registration Act, atau identik dengan Life Partner Act. Isi utama dari Rancangan UU yang dirancang pada Oktober 2014 tersebut adalah bahwa anggota keluarga yang tinggal bersama tanpa ada ikatan darah ataupun perkawinan berhak memperoleh kesamaan perlindungan legal seperti halnya orang-orang yang memiliki ikatan darah ataupun perkawinan legal. Salah satu ketentuan dalam Partner Registration Act yang tidak muncul di Life Partner Act adalah terkait adopsi anak.
Rancangan UU Partner Registration Act ini terinspirasi dari contoh negara-negara Eropa. Ini merupakan jenis serikat sipil (civil union), sebuah sistem yang memungkinkan pembentukan keluarga alternatif yang dibentuk untuk alasan lain selain darah dan perkawinan dengan mengakui kekuatan hukum keluarga tersebut, menjadikan mereka terdaftar dan memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang yang menikah legal. Pada 1 Oktober 1989, Denmark menjadi negara pertama di dunia yang melegalkan kemitraan tersebut. Saat ini, ada lebih dari 20 negara di seluruh dunia (tidak hanya di Eropa) yang mengakui serikat sipil baik secara keseluruhan atau sebagian. Bila rancangan ini disahkan oleh parlemen, maka ini akan menjadi ruang legal bagi kehidupan lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT) di Korea.
Lebih jauh lagi ternyata realitas kehidupan perkawinan di Korea Selatan, ternyata tidak seindah kisah film dan drama cinta Korea yang saat ini digandrungi. Tingginya tingkat harapan hidup (life expectancy) penduduk Korea hingga berusia lebih dari seratus tahun, menjadikan suami istri Korea bisa hidup bersama lebih lama. Setelah ditinggalkan oleh anak-anak, mereka bisa hidup berdua saja selama 30-40 tahun. Namun ternyata panjangnya waktu pernikahan ini tidak membuat mereka bahagia, sebaliknya bahkan menimbulkan tingkat stress tersendiri bagi para pasangan, khususnya bagi para istri. Berdasarkan hasil survey National Health and Nutrition terhadap 2.669 penduduk lansia (berusia lebih dari 65 tahun) periode 2010-2012 oleh professor Park Bo-yeong, Universitas Kesehatan dan Sains Chungbuk, ditemukan bahwa tingkat stress istri lebih tinggi dari suami. Bahkan dilaporkan para istri terpikir untuk melakukan bunuh diri pada tahun sebelumnya.
Menurut proffesor Human Ekologi, Han Gyoung-hae (Seoul National University, 2011), jumlah anak yang sedikit dan meningkatnya rata-rata tingkat harapan hidup telah mengubah siklus kehidupan keluarga. Para pakar menekankan hubungan patriarki yang dipertahankan para suami, yaitu menyerahkan pekerjaan rumah tangga pada wanita, menjadi penyebab konflik rumah tangga.
Selain itu minimnya komunikasi dan interaksi antar anggota keluarga juga menjadi penyebab ketidakhamonisan rumah tangga, hal ini terakumulasi dari fase awal penikahan dimana para suami dan atau istri sibuk bekerja dengan waktu kerja yang panjang, serta kebiasaan mabuk-mabukan, hingga pulang larut malam.
Sebagaimana diketahui secara demografi, saat ini Korea tengah memasuki masa masyarakat tua (aged society), di mana jumlah penduduk tua lebih besar daripada penduduk usia produktif. Secara umum masalah yang dihadapi pasangan usia tua adalah kemiskinan, penyakit dan kesepian. Di Korea Selatan ada sekitar 64.000 lembaga pusat lansia (jumlah ini dua kali lebih banyak dari jumlah mini market yang ada di sisi jalan). Ada sekitar 30%-40% lansia yang datang ke lembaga tersebut untuk sekedar hadir, makan dan rileks. Namun ternyata keberadaan lembaga lansia ini tidak cukup memberikan solusi untuk menurunkan tingkat stress golongan lansia ini, khususnya bagi para istri. Kondisi anak yang tidak peduli dengan orangtuanya yang renta, dan ketiadaan cucu sebagai pelipur lara serta hilangnya keeratan kerabat keluarga pun semakin melengkapi rasa kesepian dan merasa ditinggalkan oleh keluarga. Kekosongan hati pun diperparah dengan ketiadaan keimanan dalam benak, sebagaimana survey tahun 2015 bahwa 51 persen penduduk Korea tidak beragama (atheis).
Hingga muncullah fenomena ‘jolhon’ di Korea, di Jepang disebut ‘sotsukon’ yaitu lulus pernikahan (marriage graduation), yaitu kondisi di mana para pasangan senior (tua) suami istri memutuskan secara sukarela hidup terpisah tanpa perceraian, sehingga para istri terbebas dari tanggung jawab pekerjaan rumah tangga dan keluarga. Dalam kondisi ini para suami istri ini merasa bisa hidup bebas dan mandiri, dengan sesekali waktu dalam setahun mereka bertemu bersama dan hidup terpisah lagi. Hal ini pun bisa sebagai satu langkah sebelum pasangan ini melakukan perceraian. Istilah ‘marriage graduation’ ini diperkenalkan oleh Yumiko Sugiyama, Jepang, yang masyarakatnya sudah lebih dulu didera masalah akut keretakan rumah tangga.
Sungguh ironis masalah sosial dan keretakan rumah tangga pasangan suami istri di Korea Selatan, tidak terkecuali melanda negara maju yang penduduknya dikenal cerdas dan santun seperti Jepang. Tidak ada ketahanan dalam keluarga. Hilangnya rasa kasih sayang, saling melindungi dan memelihara antar anggota keluarga, baik antara suami istri, antara orang tua dengan anak, maupun rasa bakti anak terhadap orangtua yang renta. Hal ini terjadi akibat gaya hidup bebas, sekuler dan kapitalistik. Mahligai perkawinan hanya ditimbang berdasarkan kepuasan naluri (seksualitas) dan materi, yang mudah tercampakan dan terkikis. Tidak ada landasan keimanan dalam membangun keluarga. Kewajiban dan hak setiap anggota keluarga dianggap beban dan diukur dengan timbangan materi yang dibalut nafsu cinta dan kepentingan. Tidak ada kenikmatan dalam beramal kebaikan membangun ketahanan dan keharmonisan rumah tangga.
Dalam Islam, kehidupan rumah tangga dibangun dari pasangan lawan jenis yang syari’ atas dasar keimanan, bukan hawa nafsu yang mengatasnamakan cinta. Tujuan pernikahan dalam Islam adalah melestarikan keturunan serta membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Sakinah bermakna ketenangan dan ketentraman. Mawaddah bermakna saling mencintai. Rahmah bermakna kasih sayang. Dimana ketenangan, kecintaan, kasih sayang, saling tolong menolong, menjaga, melindungi dan kesetiaan dalam keluarga terbangun atas dasar keimanan dan kesadaran menjalankan hak dan kewajiban setiap anggota keluarga sesuai aturan Islam yang bersumber dari Sang Pencipta (al Khaliq) yang Maha mengetahui hakekat manusia serta kodrat pria dan wanita.
Ketaatan pada aturan al Khaliq merupakan hal yang masuk akal, sesuai fitrah dan menghantarkan pada ketentraman hati. Pernikahan merupakan ibadah, bukan sekedar komitmen hidup bersama dua insan. Amal kebaikan sesuai aturan dalam pernikahan yang bernilai pahala dan menghantarkan pada keharmonisan dan ketahanan keluarga. Sebaliknya pelanggaran di dalamnya merupakan kemaksiatan dan menghantarkan pada kerusakan dan kebinasaan keluarga dan generasi.
Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dan menghina para pelakunya.
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ﴿٨٠﴾إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas” (Al-A’raf: 80-81)
Ujian yang berat dalam rumah tangga dan kehidupan dihadapi bersama oleh setiap anggota keluarga dengan keimanan, ketaatan, doa dan tawakal.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar Ruum: 21)
Sumber:
http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_national/776821.html
http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_national/770035.html
http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_national/776822.html
http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_national/660265.html
http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_national/776258.html
https://koreatimes.co.kr/www/news/nation/2016/05/197_205245.html