Badan Pangan Nasional, Solusi atau Masalah
“Yang penting kita buat badan pengelola pangan supaya ini bisa mengatur distribusi-distribusi supaya jangan sampai menguntungkan tengkulak, tetapi kita menguntungkan para petani,” kata Novanto, di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. (Setya Novanto Berharap Pemerintah Segera Bentuk Badan Pangan, Kompas.com, 12/1/2017)
Wacana pembentukan Badan Pangan Nasional (BPN) telah seringdiperbincangkan sejak terbitnya UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Terutama ketika mencuatnya masalah pangan seperti kenaikan harga. Terbentuknya BPN dengan kewenangan dan otoritas penuh, akan mampu mengelola pangan mulai pengadaan, pendistribusian, hingga harga (Baleg DPR Desak Pemerintah Bentuk Badan Pangan Nasional: Media Indonesia, 15/9/2016). Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi menyatakan “Badan Pangan Nasional adalah regulator untuk kebijakan di sektor pangan yang berada langsung di bawah Presiden”(Ini PR Pemerintah Sebelum Bentuk Holding BUMN Pangan: detikfinance.com, 17/9/2016). Badan ini diharapkan menjadi institusi yang mampu mengkoordinasikan berbagai pemangku kebijakan dibidang pangan yang selama ini sering lempar tanggung jawab (Perlu Badan Pangan untuk Koordinasi Bangun Pertanian, Koran Jakarta, 13/10/2016). Mampukah keberadaan badan ini bisa menjadi solusi bagi persoalan pangan yang kompleks dan sistemik?
Pada dasarnya pembentukan BPN adalah solusi yang tak keluar dari bingkai Neoliberal. Solusi ini bisa diduga tak akan mampu mengatasi problematika pangan yang sejatinya lahir dari bobroknya tata kelola pangan berlandaskan sistem politik ekonomi kapitalis liberal. Alih-alih mengatasi problem sistemik pangan, menyelesaikan kelemahan koordinasi antar lembaga yang memperlambat pengambilan keputusan sajapun tak akan bisa. Miskoordinasi bahkan egosektoral antar lembaga pemerintahan adalah hal yang niscaya ada dalam sistem politik demokrasi. Kewenangan terpisah pada setiap lembaga negara dan ditambah pula tuntutan menjadi pemerintahwirausaha (Enterprising Government) serta kinerja pemerintah harus berorientasi pasar (Market oriented government) menciptakan kelemahan koordinasi. Yang terjadi adalah tiap sektor saling berkompetisi sesuai dengan targetnya masing-masing. Kinerja semacam ini sangat jauh dari keinginan untuk mengurusi hajat rakyat.
Begitupula peran BPN yang dibatasi sebagai regulator semata, tidak berpengaruh apa-apa dalam penyelesaian persoalan. Kehadiran pemerintah sebagai regulator dan penyerahan operator kepada korporasi adalah bentuk lepastangannyaa pemerintah dalam pemenuhan hajat hidup rakyat. Peran seperti hanya makin melengkapi kezaliman pada rakyat.
Masalah kronis pangan hanya terselesaikan jika pemerintah dan negara ini meninggalkan sistem politik ekonomi demokrasi liberal, lalu mengambil dan menerapkan sistem politik ekonomi Islam secara kaaffah. Sistem politik Khilafah Islam mampu meniadakan misskoordinasi dan egosektoral kelembagaan negara karena Khilafah menerapkan kewenangan yang terpusat dan desentralisasi administrasi. Khalifah adalah penanggungjawab utama dalam pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah. Khalifah dengan kewenangan penuh sembari berpijak pada Syariah Islam akan mampu menyelesaikan masalah secara cepat lalu dijalankan oleh lembaga di bawahnya.
Seluruh badan negara di dalam Khilafah menjalankan fungsinya secara penuh sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung) rakyat. Tidak diperbolehkan pemerintah berlaku sebagai pedagang dalam mengurusi kebutuhan rakyat. Sedangkan anggaran pengurusan kebutuhan rakyat diambil dari Baitul Mal (kas negara) yang memiliki pos-pos pendapatan dan belanja yang tetap yang diatur pula oleh Syariah Islam. Sehingga tidak berlaku anggaran bagi lembaga negara yang berbasis kinerja. Mekanisme ini akan menghilangkan egosektoral kelembagaan. Yang terjadi sebaliknya, berlomba untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan baik dan tuntas.[] Emilda Tanjung, MSi (Anggota Lajnah Mashlahiyyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia).