Khilafah dan Tantangan Globalisasi
Oleh: drg. Dian F. Hasibuan dan Ummu Asad (Anggota Muslimah HTI)
Kata globalisasi diambil dari kata global yang berarti universal. Dalam pembahasan kekinian, globalisasi dimaksudkan untuk universalisasi ideologi kapitalisme, atau menjadikan kapitalisme sebagai satu-satunya ideologi dan peradaban dunia. Globalisasi dijadikakan alat melumpuhkan dan menyebarkan hegemoni kapitalis. Dengan maksud mempromosikan konsep “dunia sebagai kampung global”, barat berupaya untuk mengintegrasikan masyarakat muslim pada tataran makro. Hal ini persis dengan upaya mereka mengintegrasikan kaum muslim yang hidup di barat agar menerima budya politik barat.
Kapitalisme Global
Bagi sebagian pihak, kapitalisme identik dengan kebangkitan neoliberalisme. Globalisasi dianggap sebagai sebuah grand design dari para penganjur neoliberalisme. Hal ini memang tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, jika kita menelaah lebih dalam, kita akan menemukan bahwa neoliberalisme adalah sebagai varian dari kapitalisme, sebagai pemikiran cabang dari kapitalisme. Jadi, ia tidaklah berdiri sendiri. Karenanya, secara ideologis, penisbatan globalisasi kepada kapitalisme adalah sangat tepat. Sehingga, benarlah apa yang disebutkan oleh Healy, bahwa globalisasi tidak lain adalah bentuk eufemisme dari ‘kapitalisme global’. Globalisasi jelas membawa banyak tantangan, baik itu menyangkut bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, bahkan menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Namun, dalam pembahasan kali ini kita akan lebih menitik beratkan pada dampak globalisasi dari sisi ekonomi transnegara. Karena pada dasarnya globalisasi memang lebih menonjol dari sisi ini.
Globalisasi paling sering digembar-gemborkan oleh negara-negara Barat yang, bagi mereka, dianggap sebagai jalan menuju kemakmuran dunia dan umat manusia. Terintegrasinya perekonomian dunia di bawah bendera globalisasidiyakini sebagai mekanisme paling tepat untuk menghilangkan kemiskinan dan stagnasi ekonomu dunia ketiga. Para ekonom liberal, bahkan termasuk di dalamnya lembaga-lembaga keuangan internasional sekaliber IMF, Bang Dunia, terus berupaya menyebarkan opini pembodohan. Katanya, meratanya kemiskinan di Dunia Ketiga tersebab dari kurangnya keterlibatan negara-negara tersebut dalam mekanisme globalisasi. Sayangnya, air yang mengalir akan mencari jalannya sendiri. Afrika, Amerika Latin, bahkan Yunani yang baru saja mengalami krisis dan mengumumkan kebangkrutan pemerintahannya, adalah sebagian kecil contoh dari korban kapitalisme global. Mereka adalah negara-negara yang hancur tidak saja perekonomiannya, bahkan interaksi sosial di dalamnya menjadi anjlok pada batas terendah.
Fakta menunjukkan dengan begitu jelasnya bahwa kekayaan di era globalisasi saat ini tidaklah mengglobal, tidak dirasakan merata oleh seluruh dunia. Kekayaan bertumpuk setinggi-tingginya dan terkonsentrasi pada segelintir pemodal, para kapital. Misal, tiga orang kaya di dunia (Bill Gates, Paul Allen dan Warren Buffet) memiliki aset yang setara dengan total jumlah kekayaan yang dimiliki oleh 600 juta orang yang tinggal di 48 negara miskin. Sekitar 90% paten dunia dalam teknologi berada di tangan negara-negara kapitalisme kaya. Mereka dilindungi sedemikian rupa oleh perjanjian TRIP’s buatan WTO. Perekonomian AS bisa saja dianggap booming pada masa 1980an hingga 1990-an. Tapi ketika dilihat berdasarkan studi pola pertumbuhan tiap negara yang dilakukan oleh Center for Economic and Policy Research, tingkat pertumbuhan di 77% negara di dunia 1980-2000 jauh lebih rendah dibanding dengan periode 1960-1970an. Padahal, periode 1980-2000 itulah yang ramai disebut-sebut sebagai boomingnya era globalisasi. Berikutnya lagi, arus perpindahan manusia. Bahasa kerennya, migrasi. Hal ini juga tidak mengglobal. Perangkat hukum negara-negara kaya justru semakin tinggi tak terkendali untuk membentengi diri dari masuknya orang-orang asing. Beginilah memang tabi’ah globalisasi dan kapitalisme.
Khilafah di Era Globalisasi
Pada era globalisasi setiap negara hanya punya dua pilihan: ikut arus atau terisolasi dari pergaulan internasional. Ini berangkat dari klaim bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan sehingga tak satupun negara di dunia ini yang sanggup bertahan dari serbuan globalisasi. Padahal, klaim seperti ini sangatlah lemah. Bahkan klaim ini sengaja didisain oleh propagandis neolib ke seluruh dunia agar setiap negara mau -meskipun terpaksa- mengikuti pusaran globalisasi yang menuntut keseragaman kebijakan perekonomian sesuai dengan keinginan mereka. Padahal telah nyata bahwa globalisasi telah membuat negara penganutnya berada dalam kendali para spekulan yang dengan kekayaan yang hampir tak berbatas untuk bisa melakukan transaksi spekulasi dalam berbagai perdagangan non riil. Perdagangan yang majhul.
Khilafah pernah tegak selama kurang lebih 1400 tahun dan selama itu ia menjadi kekuatan politik, ekonomi dan militer yang dominan. Bahkan di saat-saat akhir kekuasaan Khilafah Utsmaniyah, rakyat masih merasakan kesejahteraan ekonomi yang dihasilkannya. Kondisi ini sangat berlawanan dengan kondisi kaum muslim dewasa ini. Dalam sejarahnya, Khilafah menjadi pusat perdagangan dan investasi. Banyak rute perdagangan penting yang melalui Khilafah. Khilafah tidak anti perdagangan internaional dan mereka mempersilahkan para pedagang Eropa mengakses pelabuhannya selama mereka bersedia membayar cukai. Aktivitas ekonomi di masa Khilafah Ustmaniyah tumbuh pesat karena wilayah daulah berada pada jalur yang begitu strategis, yakni jalur persimpangan Afrika – Asia – Eropa. Bshksn wilayah-wilayah seperti Indonesia dan Asia Tengah bisa dimasuki Islam berkat da’wah yang dlakukan oleh para pedagang. Dengan demikian, Khilafah tidaklah terisolasi dari dunia luar. Khilafah justru menjadi sentra pembangunan ekonomi karena pedagang dari seluruh penjuru dunia berdatangan ke wilayah Khilafah. Perlu pula diketahui bahwa, meskipun banyak dimasuki oleh pedagang asing, Khilafah tetap mampu melindungi sumber daya dan kekayaannya. Ini begitu kontras dengan kondisi negeri-negeri muslim saat ini.
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, KHilafah akan memproteksi ummat dari serangan globalisasi neolib. Khilafah akan melindungi umat dari kebijakan-kebijakan perdagangan bebas yang telah menyebabkan pasar dunia dibanjiri oleh barang-barang murah(an). Khilafah akan mengaur seluruh aspek perdagangan dengan negara-negara lain dan akan melakukan pengawasan secara langsung. Khilafah juga akan selalu mengontrol wilayah-wilayah perbatasan sehingga seluruh aktifitas pedagang dan perdagangan bisa tetap terkontrol. Dalam Khilafah, perdagangan internasional dilakukan dengan berpatokan pada kewarga-negaraan pedagang, bukan bersasarkan asal usul barang dan/ jasa. Pemisahannya sebagai berikut:
- Para pedagang yang berasal dari negara yang dalam status hubungan perang dengan KHilafah, maka mereka tidak boleh berdagang di dalam wilayah kekuasaan daulah kecuali ada izin khusus bagi pedagangnya atau barang-barangnya.
- Para pedagang yang berasal dri negara yang terikat perjanjian dengan Khilafah akan diperlakukan sesuai denganisi perjanjiannya.
Para pedagang yang merupakan bagian dari warga negara Khilafah tidak diperbolehkan mengekspor barang-barang strategis dang sangat vital oleh negara. Khilafah akan memproteksi ekonomi dan praktik dumping negara-negara Barat sebagaimana yang kini terjadi. Sebagai tambahan, perdagngan hanya akan dilakukan dengan negara-negara yang akan menguntungkan Khilafah. Artinya, Khilafah akan tetap independen dari sistem perdaganan global tapi pada aat yang sama memastikan dirinya tidak terisolasi dari perdagangan internasional.
Dengan pola kebijakan yang begini, Khilafah akan menghilangkan segala ekses globalisasi. Khilafah akan menamatkan riwayat privatisasi sumber daya alam dan aset publik, sesuatu yang kini malah jadi tren. Khilafah juga akan menghentikan segala bentuk manipulasi mata uang dengan memberalakukan mata uang berasaskan emas-perak yang tentu menciptakan stabilitas finansial. Hal ini akan melindungi mata uang dari ancaman devaluasi yang berpotensi meluluh-lantakkan perekonomian negara dalam tempo hitungan jam!
Khilafah dan Mekanisme Pasar
Islam merupakan tatanan kehidupan yang sempurna dan paripurna (al maidah: 3). Tatanannya diturunkan langsung oleh Dzat Yang Maha Pencipta sekaligus Pengatur, al Khaliqul Mudabbir. Allaah Yang Maha Tahu atas segala kompleksitas dinamika kehidupan yang ingin mengejar kebahagiaan dunia juga akhirat, berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, btasan-batasan kepemilikannya, dan faktor-faktor yang menyeimbangkan kepuasan individu dengan adanya sistem yang menjamin distribusi kekayaan secara adil bagi seluruh warganegara, Muslim ataupun ghayru Muslim.
Islam memiliki tatanan ekonomi yang menjamin terciptanya pendistribusian kekayaan secara adil karena dengan jelas mengkategorikan hak kepemilikan (Individu/swasta, Umum dan Negara).
“Ummat berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api” (HR, Abu Dawud)
Inti dari hadits di atas adalah, bahwa barang dan jasa yang esensial seperti fasilitas publik, pelayanan kesehatan, dan sumber daya yang bersifat kolektif seperti jalanan, sekolah dan rumah sakit tidak boleh dikelola atas motif mencari laba. Karena hal itu bertentangan dengan sifat dasar hal tersebut yang secara kolektif merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Kavling antara sektor swasta, umum dan negara yang jelas mengantarkan pada tidak termarjinalkannya para pengusaha yang mencari rizki dengan jalan yang dibenarkan syara’. Sebaliknya, daulah akan memastikan bahwa praktik-praktik anti pasar seperti penetapan harga, penimbunan barang, akan disingkirkan sehingga pasar benar-benar akan dikendalikan oleh mekanisme penawaran dan permintaan.
Kesimpulan
Sejarah Islam dengan jelas menunjukkan bagaimana daulah Khilafah menangani masalah-masalah dunia dan memelihara kepentingan warganya. Pada periode awal sejarah Islam, ada suatu masa ketika Madinah dilanda Kekeringan yang sangat berat. Khalifah memerintahkan gubernur Mesir untuk menyediakan makanan. Seketika itu juga sejumlah makanan dan uang beserta bantuan lain dikapalkan dari Afrika ke Madinah. Dalam suratnya, Khalifah menulis: “Usahakan untuk menggali kanal/terusan dari sungai Nil terus naik hingga ke laut, meskipun untuk mengerjakan itu Anda harus menghabiskan seluruh harta Mesir“. Wallahu a’lam.[]