Sertifikasi, Menjadikan Ulama “Terbeli”
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Anggota Muslimah HTI)
Istilah lengkap “sertifikasi” adalah sertifikasi profesional. Sertifikasi profesional, yang kadang hanya disebut dengansertifikasiataukualifikasisaja, adalah suatu penetapan yang diberikan oleh suatuorganisasi profesionalterhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut mampu untuk melakukan suatupekerjaanatau tugas spesifik. Sertifikasi biasanya harus diperbaharui secara berkala, atau dapat pula hanya berlaku untuk suatu periode tertentu. Sebagai bagian dari pembaharuan sertifikasi, umumnya diterapkan bahwa seorang individu harus menunjukkan buktipelaksanaanpendidikan berkelanjutanatau memperoleh nilaiCEU(continuing education unit) [1].
Berkenaan dengan sertifikasi ini, sedianya Pemerintah menetapkan kebijakan sertifikasi terhadap para penceramah agama (khotib). Di Indonesia sendiri, umumnya orang yang biasa memberikan ceramah agama adalah kyai, yang nota bene merekaadalah ulama (orang yang berilmu).Namun, dengung kebijakan sertifikasi ulama ini bukan hal baru. Beberapa tahun lalu, isu ini sudah santer.
Rumusan Sertifikasi Penceramah
Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) tengah merumuskan standar kualifikasi bagi penceramah agama. Standar kualifikasi itu nantinya hanya akan diberikan kepada orang-orang yang dianggap layak menyampaikan ceramahnya. “Sekarang kami bekerja keras untuk merumuskan apa kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah itu. Lalu kemudian bisa diakui sebagai penceramah yang memiliki kualifikasi cukup,” kata Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin [2].
Lukman berharap dengan rumusan tersebut, pihak penyelenggara bisa memilah para penceramah yang layak. Terpenting, mengantisipasi adanya penceramah yang menghujat dan bersikap intoleran antar-umat beragama.Kendati begitu, dikatakan Lukman untuk menyusun rumusan standar kualifikasi itu pihaknya akan mengajak sejumlah pihak semisal ulama dan tokoh agama. Termasuk, menunjuk pihak atau lembaga yang berhak memberikan sertifikat terhadap penceramah agama yang lolos kualifikasi. “Lalu juga siapa yang akan memberikan sertifikat bahwa ini penceramah sudah qualified misalnya. Pemerintah sendiri tidak ingin itu, karena ini biarlah menjadi porsi pihak yang memiliki otoritatif,” ujarnya [2].
Disinggung siapa pihak atau lembaga yang nantinya ditunjuk memberikan sertifikat itu, Lukman menyebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau ormas gabungan lainnya. “Bisa MUI, bisa ormas gabungan dari ormas agama atau yang lain. Justru di sini kita sedang mendengar pendapat,” pungkas Lukman [2].
Lukman mengatakan wacana mengenai sertifikasi khotib ini merupakan aspirasi dari masyarakat. “Pemerintah melalui Kemenag hanya memfasilitasi saja aspirasi yang berkembang,” kata Lukman. Dia mengatakan pemerintah sebagai fasilitator akan memberikan wewenang standardisasi khotib kepada para ulama yang ada di organisasi kemasyarakatan Islam. Lukman mengatakan pemerintah tidak bertindak sendirian untuk menetapkan sertifikasi khotib. Untuk aspirasi permintaan sertifikasi juga merupakan arus besar dari kalangan masyarakat yang diwakili ormas Islam [3].
“Siapa yang akan mengeluarkan standar itu, itu bukan domain kami, itu domain ormas. Sertifikasi itu bukan ide murni saya, malah justrumereka yang meminta adanya penataan dan pembinaan,” kata dia.Pemerintah, kata dia tidak ada keinginan melarang masyarakat beribadah, termasuk melarang seseorang boleh berceramah atau tidak.“Pemerintah tidak mengatakan yang tidak bersertifikat atau berstandar kemudian tidak boleh khutbah. Pemerintah tidak punya domain melarang-larang itu. Itu hak masyarakat itu sendiri dan takmir-takmir masjid,” kata dia [3].
Menurut Lukman pula, ada kecenderungan beberapa masjid menyampaikan khutbah yang justru memicu perpecahan umat Islam karena isi ceramah yang kontradiktif dengan nilai keislaman itu sendiri. Substansi khutbah Jumat,kata Lukman, mencakup banyak hal sesuai rukun khutbah, seperti mengajak jamaah meningkatkan ketakwaannya, memberi nasihat dan mengajak kepada kebaikan.Akan tetapi, terkadang ada beberapa khotib yang lupa sehingga dalam khutbahnya justru mengejek, membanding-bandingkan dan isi ceramah lainnya yang justru menyampaikan pesan bertolak belakang dengan upaya menasihati pada kebaikan.
Sebaiknya, kata Lukman, ceramah Jumat dilakukan dengan pendekatan promotif bukan konfrontatif. Hal itu seiring dengan prinsip kemajemukan Indonesia dan tidak menimbulkan perpecahan. “Kementerian Agamadan pemerintah mengingatkan agar khutbahyang disampaikan tidak konfrontatif,” kata dia [3].
Singapura, Malaysia dan Turki Pernah Menjadi Contoh
Singapura memang negara kecil, dan tidak sulit bagi pemerintah Singapura untuk mengontrol mobilitas rakyatnya. Meski begitu, Singapura telah menerapkan kebijakan yang sangat represif, khususnya terhadap umat Islam. Di Singapura, gerak-gerik umat Islam selalu diawasi. Bukan hanya ulama’nya, tetapi juga umatnya [5].
Untuk mengontrol dan mengawasi para ulama, Singapura menerapkan kebijakan sertifikasi ini. Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah), meski secara keilmuan dan kualifikasi keulamakannya diakui, tetap tidak bisa memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan khutbah, ceramah maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka [5].
Tidak hanya itu,naskah khutbahnya pun mereka dikte, dimana setiap Jumat, mereka hanya diperbolehkan membaca naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ugama Islam (MUIS) Singapura. Jika mereka melanggar, mereka akan dicabuttauliah-nya. Di setiap masjid, dan tempat-tempat umat Islam berkumpul,special branch(SB) atau intel ditempatkan.Tidak hanya itu, CCTV pun di pasang di mana-mana, termasuk di dalam masjid, untuk mengintai gerak-gerik umat Islam di sana, dan memonitor isi khutbah atau kajian yang disampaikan [5].
Malaysia juga menerapkan kebijakan yang hampir sama, meski tidak serepresif Singapura. Dua-duanya merupakan negara Commonwealth, dan sama-sama loyal kepada Inggris. Dengan kata lain, inilah kebijakan yang diterapkan Inggeris di kedua negara tersebut melalui agen-agennya di pemerintahan. Nyatanya, Inggris pun berhasil mempertahankan cengkeramannya terhadap kedua negara tersebut, sehingga tidak bisa diambil oleh negara penjajah yang lain [5].
Turki sebenarnya juga sama. Sebelum Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa, sejak Kemal Attaturk, Turki merupakan negara yang tunduk kepada Inggris. Inggris pun berhasil mengontrol negara itu melalui militer yang berkuasa penuh di negera tersebut. Kebijakan sertifikasi ulama’ di Turki juga merupakan warisan dari kebijakan Inggris di sana. Setelah AS mengambil Turki, melalui Partai Keadilan Dan Pembangunan , kebijakan serupa tetapdipertahankan karena dianggap menguntungkan kekuasaannya [5].
Standar Barat, Dalih Sertifikasi Ulama
Padaabad 20, tsaqafah asing telah menyerang negeri-negeri Islam. Dengan tsaqafah itu para penjajah Barat mampu menarik umat Islam kepada mereka. Setelah eksistensi Daulah Khilafah Islamiyyah sirna pada tahun 1924, penjajah itu memperluas kekuasaannya ke seluruh negeri-negeri Islam. Secara praktis mereka benar-benar telah menduduki negeri-negeri kaum muslimin, termasuk menyebarluaskan tsaqafah asing yang berasal dari Barat itu, berikut agen-agen mereka [4].
Tsaqafah asing mempunyai pengaruh besar terhadap menguatnya kekufuran dan penjajahan, hingga berdampak pada gagalnya kebangkitan umat. Ini karena sebuah tsaqafah memang berpengaruh besarterhadap pemikiran manusia, yang kemudian akan mempengaruhi perjalanan hidupnya. Para penjajah Barat telah merancang bagi dunia Islam, sistem pendidikan dan tsaqafah atas dasar pandangan hidup ala Barat, yaitu berupa pemisahan materi dari ruh dan pemisahan agama dari negara. Penjajah Barat menjadikan kepribadian mereka sebagai satu-satunya sumber tsaqafah umat Islam [4].
Parahnya, aksi penjajahan pemikiran tak cukup sampai di sini. Mereka sengaja memutar-balikkan gambaran mengenai penjajahan sedemikian rupa dengan menggambarkan penjajahan sebagai sesuatu yang mulia sehingga layak untuk diikuti, seraya menyembunyikan wajah penjajahan yang sebenarnya.Akibatnya, umat Islam terdidik dengan tsaqafah yang merusak.Umat Islam telah berpikirdengan cara Barat [4].
Dengan demikian, perasaan orang-orang terpelajar di dunia Islam terpisah dari pemikiran dan akal umat Islam. Merekamenjadi orang-orang yang terpisah dari umat, serta terpisah dari perasaan dan kecenderungan umat. Pemikiran semacam ini tidak akan menghasilkan pemahaman yang benar tentang kondisi negeri Islam tersebut. Pemikiran ini juga tidak bisa menghasilkan pemahaman yang benar tentang kebangkitan umat. Sebab, pemikiran semacam ini merupakan pemikiran yang terpisah dari perasaan umat, walaupun tidak kosong sama sekali dari perasaan umat [4].
Sistem pendidikan tersebut merupakan standar Barat untuk mendidik para pelajar di dunia Islam. Sistem pendidikan ala Barat adalah cara paling efektif untuk menjajah pemikiran umat di dunia Islam. Inilah proses sekularisasi. Pelanggengan sistem yang menyajikan tsaqofah asing sebagai konten sekularisasi ini yang harus diwaspadai. Sistem yang hari ini kita namai demokrasi.
Ironisnya, pemikiran sekular ini dipunyai oleh seseorang yang memiliki perasaan Islam. Pengaruh tsaqafah asing ini tidak hanya terbatas pada kaum terpelajar dari kalangan umat Islam saja, tapi merata di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, pemikiran-pemikiran masyarakat pun terpisah dari perasaannya. Persoalan masyarakat menjadi bertambah ruwet. Upaya membangkitkan umat pun menjadi semakin berat [4].Tak pelak, paham sekularisme justru menguat.
Seperti inilah standarisasi kalangan terpelajar oleh penjajah Barat. Relakah kita jika ulama yang mukhlis disertifikasi dengan mekanisme tersebut? Mekanisme yang jelas-jelas membungkam kekritisan para ulama untuk menyampaikan kebenaran Islam. Na’udzu billah.
Kedudukan dan Sertifikasi Ulama
Secara sistem, Khilafah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk menuntut ilmu, baik ilmu sains maupun tsaqofah Islam. Namun, seiring proses pendidikan yang berjalan, output yang diperoleh dari proses pendidikan tersebut menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang layak menjadi ulama. Ini karena kemampuan dan intelektualitas setiap orang berbeda-beda. Dalam perkara penggalian hukum saja, ada kalangan yang disebut mujtahid, dan ada yang disebut muqallid. Ini sudah menunjukkan bahwa kapasitas berpikir tiap orang memang tidak sama.
Orang berilmu itu memang orang-orang pilihan. Orang-orang yang menyampaikan ilmu Islam bukanlah orang sembarangan. Jadi yang akan menjadi penceramah, ulama, atau pun kyai, juga hanya orang-orang tertentu saja. Akan sangat terminimalisasi munculnya orang pandir (bodoh) yang begitu sok tahu dengan suatu bidang keilmuan, meski dalam Islam dianjurkan untuk menyampaikan ilmu yang dimiliki walau hanya satu ayat.
Jadi, tidak bisa disangkal, bahwa ulama kaum Muslim mempunyai kedudukan yang istimewa, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga non-Muslim. Tanpa ulama, kehidupan umat manusia akan senantiasa dalam kebodohan, sehingga mereka dengan mudah diperdaya oleh syaitan, baikdari kalangan manusia maupun jin [5].
Sebaliknya, dengan adanya ulama di tengah-tengah mereka, kehidupan mereka pun diterangi ilmu dan hidayah Allah Swt. Melalui jasa para ulama, pemikiran yang sesat bisa dibongkar, dikalahkan dan pada akhirnya ditinggalkan umat. Kabut keraguan hati dan jiwa pun berhasil disingkap, karena jasa-jasa mereka. Tepat sekali apa yang disabdakan Nabi saw: “Perumpamaan ulama di muka bumi ini ibarat bintang di langit, yang digunakan untuk mendapatkan petunjuk di tengah kegelapan darat dan lautan.” (HR. Ahmad) [5].
Pendek kata, keberadaan ulama ini merupakan nikmat Allah bagi penghuni bumi. Karena mereka adalah pewaris Nabi, penyambung lidah Nabi, pengemban kebenaran dan hujah Allah di muka bumi. Tentu itu semua berlaku bagi para ulama pejuang yang berpegang teguh pada kebenaran, hanya takut kepada Allah, tidak takut kepada siapapun dalam menyampaikan kebenaran. Mencintai kebaikan, menegakkan kemakrufan, mencegah kemunkaran, mengoreksi penguasa, memberi nasihat kepada mereka, matanya selalu tergaja terhadap kepentingan kaum Muslim. Mereka juga siap menanggung resiko dan kesulitan apapun dalam memperjuangkan agamanya. Di situlah kemuliaan ulama, yang dipuji oleh Allah: “Sesungguhnya orang yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”(QS Fathir [35]: 27) [5].
Perlu dicatat, bahwa predikat ulama dan kemuliaan yang melekat kepadanya diperoleh, selain karena faktor keilmuannya, juga karena sikap mereka dalam mengemban dan menerapkan ilmunya. Mereka menjadi penjaga Islam, amanah terhadap agama Allah. Mereka menyerukan para penguasa untuk menerapkannya dengan tulus, jujur dan jauh dari kepentingan pribadi, harta atau jabatan. Mereka berani mengatakan kepada orang yang zalim, “Anda zalim.” Berani mengatakan kepada ahli maksiat, “Kalian maksiat kepada Allah.” [5]
Mereka seperti Sufyan at-Tsauri, Imam Ahmad, Ibn Taimiyyah, ‘Izzuddin ibn Salam dan yang lain. Mereka dikenang oleh umat, bukan semata karena keilmuannya, tetapi karena sikapnya.Jadi, predikat dan kemuliaan mereka sebagai ulama diperoleh bukan dari sertifikasi penguasa, tetapi karena ilmu dan sikap mereka di tengah-tengah umat. Sebaliknya, betapa banyak kita saksikan mereka yang masuk dalam wadah “Majelis Ulama” dan dengan bangga menyandang predikat ulama, tetapi tidak dihargai, dan bahkan tidak diakui oleh umat sebagai ulama. Kalau pun mereka diakui sebagai ulama, cap mereka pun jelek,“Ulama Salathin(ulama penguasa)”, atau“Ulama Su’(ulama’ jahat)”, dan sebagainya [5].
Sertifikasi Ulama, Membeli Ulama
Upaya sertifikasi ini justru bertolak belakang dengan karakter ulama itu sendiri.Al-Mawardi, dalam kitabnya,Adab ad-Dunya wa ad-Din, menyatakan bahwa akhlak ulama’ adalahtawadhu’,“Akhlak yang wajib dimiliki oleh ulama adalah tawadhu’, dan menjauhi ujub (membanggakan diri). Karena tawadhu’ membuat orang tertarik, sedangkan ujub membuat orang lari. Ujub bagi siapapun jelas buruk, terlebih jika ujub tersebut ada pada ulama.”(Lihat, Al-Mawardi,Adab ad-Dunya wa ad-Din,hal. 51) [5].
Bayangkan, jika para ulama harus disertifikasi, kemudian sertifikasi ini menjadi legalitas mereka untuk menyampaikan ilmu, maka ini sama dengan membunuh karakter mereka sebagai ulama yang seharusnyatawadhu’, tidak bolehujub, karena keulamaannya. Tidak mustahil, dengan sertifikasi ini, akan muncul kumpulan orang yang menyandang sertifikat ulama, tetapi jauh dari pantas disebut ulama [5]. Pun, tidakkah kemudian sang khotib akan menjadi ulama pesanan? Alias ulama yang terbeli.
Ini baru dalam konteks khotib untuk khutbah Jumat, seolah khutbah sepanjang hidup kita hanya saat sholat Jumat saja. Bagaimana dengan majelis ilmu yang lain? Sejauh mana kebijakan sertifikasi khotib ini akan dapat berfungsi? Astaghfirullah. Sungguh, sekularisme memang telah mencabik-cabik kesatuan pemikiran umat Islam.
Ditambah lagi, pernyataan “itu bukan domain kami” sangat potensial “bersayap”. Tentu aneh, di satu sisi Pemerintah mengeluarkan kebijakan sertifikasi, tapi di sisi lain konten sertifikasinya diserahkan kepada pihak lain yang non-pemerintah. Ini pun masih belum disebutkan dengan jelas, masih mungkin dan mungkin.
Lantas, siapa yang layak memberikan sertifikasi ini? Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyatakan,“Tidak akan ada yang tahu kemuliaan ahli ilmu (ulama), kecuali orang yang mempunyai kemuliaan.”(Lihat, Al-Mawardi,Adab ad-Dunya wa ad-Din,hal. 48).Siapakah “orang yang mempunyai kemuliaan” yang pantas memberikan predikat keulamaan kepada para ulama itu? Apakah Kementerian Agama pantas memberikannya? Apakah Majelis Ulama’ Indonesia? Ataukah yang lain? Tidak ada yang pantas [5].
Mungkin memberi predikat ulama bagi orang yang berilmu mudah, tetapi predikat ulama bagi orang yang paling takut kepada Allah, siapa yang bisa?Karena itu, ide sertifikasi ini, hanya pantas disampaikan oleh orang bodoh. Seperti kata al-Mawardi,“Hanya orang bodoh yang tidak mengerti kemuliaan ilmu (dan ahlinya). Karena kemuliaannya hanya diketahui dengan ilmu… Ketika orang bodohtidak mengetahui ilmu yang membuatnya tahu akan kemuliaan ilmu, maka tentu dia pun tidak akan pernah mengerti kemuliaannya, dan akan menghinakan ahlinya…”(Lihat, Al-Mawardi,Adab ad-Dunya wa ad-Din,hal. 24) [5].
Jika para ulama mau mengikuti sertifikasi ini, maka mereka adalah orang paling hina. Al-Mawardi mengutip ungkapan ahli hikmah,“Siapakah orang yang paling hina? Dijawab, “Orang alim (ulama) yang tunduk dengan keputusan orang bodoh.”(Lihat, Al-Mawardi,Adab ad-Dunya wa ad-Din,hal. 48). Bagaimana mungkin para ulama bisa dan mau tunduk kepada orang-orang seperti ini?Selain penghinaan luar biasa kepada para ulama, ide sertifikasi ini sebenarnya bertujuan untuk mengkerdilkan para ulama [5].
Lebih tegas lagi, memperalat para ulama untuk menjaga kepentingan para penguasa, dan melanggengkan kepentingan negara-negara penjajah yang menjadi majikannya. Karena itu, apa yang dilakukan di tempat lain, sebut saja, Singapura, Malaysia dan Turki, atau apa yang pernah dipraktikkan di era Soeharto, jangan sampai terulang lagi, dan diberlakukan di negeri ini [5].
Khatimah
Masya Allah. Begitu banyak perintah Allah Swt dalam Al-Quran untuk memuliakan ulama. Mereka adalah kaum yang paling takut kepada Allah. Mereka adalah pewaris para nabi. Mereka adalah penyambung kebenaran dari masa ke masa.
Aktivitas mereka semata-mata adalah berniaga dengan Allah. Perniagaan itu adalah perniagaan yang mustahil rugi. Perniagaan mereka adalah aktivitas mereka yang menuntut ilmu kemudian menyebarkannya. Perniagaan mereka adalah dakwah, ‘amar ma’ruf nahyi mungkar. Firman Allah Swt: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (TQS At-Taubah [9]: 111).
Karena itu, hormatilah ulama. Perajin diri untuk hadir dalam majelis-majelis ilmu. Di dalam majelis ilmu itulah terdapat taman surga. Suatu ketika Rasulullah saw pernah ditanya, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Halqoh (majelis) dzikir.” (HR at-Tirmidzi).
Wallaahu a’lam bish showab [].
Pustaka:
[1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sertifikasi_profesional?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C6225920081 [2] https://m.merdeka.com/peristiwa/pemerintah-rumuskan-standar-kualifikasi-bagi-penceramah-agama.html [3] http://republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/01/30/oklgkk366-menag-sertifikasi-khatib-aspirasi-dari-masyarakat [4] Kitab Takattul Hizbiy [5]https://hizbut-tahrir.or.id/2012/09/11/sertifikasi-ulama-di-singapura-turki-dan-dan-malaysia-apa-yang-terjadi/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C3740207612