Penghinaan dan penistaan agama tidak pernah berhenti, bahkan sejak masa Rasulullah SAW masih hidup sampai saat ini, terjadi pada negeri yang minoritas kaum muslim seperti Inggris sampai pada negeri yang mayoritas muslim seperti Indonesia. Cara dan motif penghinaan dan penistaan terhadap Islam juga beragam dan bermacam-macam, mulai dengan cara ekspresi lewat media cetak dan medsos berupa artikel, gambar, karikatur hingga diekspresikan dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan lain sebagainya, baik yang dihina berupa symbol-simbol Islam, kitab suci Al-Qur’an maupun Nabi Muhammad SAW dan bahkan Allah SWT tidak terlepas dari penghinaan dan penistaan.
Kasus penistaan agama oleh Ahok yang terkait al-Quran surat al-Maidah ayat 51, sebenarnya bukan hanya menistakan Al-Qur’an saja, tetapi termasuk Rasulullah r sebagai penerima Al-Qur’an dan juga menistakan para ulama yang mengajarkan dan mendakwahkan Al-Qur’an dengan adanya kalimat : “… karena dibohongin pakai surat al-Maidah 51 macem-macem itu…”.
Sumber Masalah
Penistaan dan Penghinaan terhadap Islam, baik terhadap Allah SWT, Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw. atau simbol-simbol Islam lainnya bisa terjadi karena dua faktor. Pertama: Ketidaksengajaan karena kebodohan, yakni ketidaktahuan akan perbuatan yang merupakan penghinaan; atau ketidaktahuan akan kemuliaan apa yang dihina; atau mengejar materi yang tak seberapa dengan mengorbankan kehidupan yang kekal. Kedua: Kesengajaan karena kedengkian yang mendominasi akal dan nurani yang mengakibatkan buta dan tuli dalam kebenaran, kemuliaan terlihat sebagai kehinaan dan kebenaran terlihat sebagai kejahatan.
Kedua faktor ini akan selalu muncul jika sumber penyebabnya masih ada, yaitu Sekularisme. Sementara itu, sekularisme akan selalu eksis ditengah-tengah masyarakat karena ditopang oleh keberadaan negara sekular. Dalam negara sekular, yakni negara yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya, eksistensi agama diakui tapi tidak boleh dijadikan aturan di dalam sehari-hari, akhirnya sendi-sendi kehidupan rakyat tidak diatur dengan Islam.
Sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh). Sekularisme menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam hak asasi manusia (HAM), berupa kebebasan berperilaku (freedom of behavior) dan berpendapat (freedom of speech) yang sering dijadikan alasan untuk melakukan penghinaan terhadap Islam. Akibatnya, makin suburlah berbagai penghinaan terhadap Islam.
Sekularisme-lah yang telah menjadikan umat Islam yang mulia ini terlihat hina hingga akhirnya benar-benar jadi sasaran penghinaan. Penghinaan bukan saja terhadap umatnya, namun juga Islamnya. Ide sekularisme yang dianut negara telah menggusur sebagian besar hukum syariah Islam. Padahal syariah Allah SWT inilah yang menjadi rahasia kemuliaan umat Islam. Umar bin Khaththab ra. pernah mengatakan:
إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ
“Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah memuliakan kita dengan Islam. Bagaimanapun kita mencari kemuliaan selain dengan Islam yang dengan itu Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita”. (HR al-Hakim).
Hukuman Tegas Bagi Penghina Islam
Hukuman bagi penghina Islam termasuk penista Al-Qur’an dalam pandangan Islam sangat tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku penghinaan. Dalam kasus penghinaan ini ibarat virus penyakit yang menjangkiti masyarakat. Jika tidak diobati, atau obatnya tidak mujarab, maka virus tersebut akan berkembang. Sedangkan hukum yang dipakai dalam Negara sekular saat ini tidak akan mampu mengobati virus seperti ini. Bahkan virus penghinaan tidak akan dianggap mengganggu jika masyarakat tidak ‘menggeliat-geliat’ protes. Ini yang terjadi. Respon tegas baru muncul setelah aksi besar-besaran dari umat. Tidak ada inisiatif dari pemerintahan sekular untuk mengusut kasus penghinaan semacam ini.
Dalam pandangan Islam, pelaku penistaan dan pelecehan terhadap Islam bisa dihukum mati. Penjelasannya sebagai berikut :
Pertama; Jika pelakunya muslim, maka atas perbuatannya menistakan atau menghina Islam, maka telah menyebabkan dirinya murtad atau kafir. Dalam hal ini, Ibn Qudamah dalam Al-Mughni (XII/298-299) menyatakan, “Siapa saja yang mencela Allah, baik serius maupun bergurau, jelas kafir. Begitu juga siapa saja yang melecehkan Allah SWT, ayat-ayat-Nya, para utusan-Nya atau kitab-kitab-Nya.” Imam an-Nawawi rahimahullâh, dalam Rawdhah at-Thâlibîn (X/64), juga menyatakan, “Semua perbuatan yang pasti menyebabkan kufur adalah perbuatan yang lahir, baik dari kesengajaaan atau pelecehan terhadap agama [Islam] dengan nyata.” Ibn Taimiyyah rahimahullâh, dalam Ash-Shârim al-Maslûl ‘ala Syâtim ar-Rasûl, hlm 370), pun berkata, “Pelecehan dengan hati, dan menyatakan [Nabi] kurang bertentangan dengan keimanan yang ada dalam hati. Bertolak belakang dengan apa yang menjadi kebalikannya. Adapun pelecehan dengan lisan juga bertentangan dengan keimanan yang tampak dengan lisan.”
Berdasarkan penjelasan para fukaha di atas, maka sangat jelas dan tegas jika pelakunya Muslim, maka dia dianggap murtad, dan dinyatakan kafir. Selanjutnya diberlakukan sanksi riddah (murtad).
Adapun sanksi bagi orang murtad adalah hukuman mati, yang sebelumnya telah diminta bertaubat tiga hari. Allah I berfirman:
] وَمَن يَرۡتَدِدۡ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتۡ وَهُوَ كَافِرٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ حَبِطَتۡ أَعۡمَٰلُهُمۡ فِي ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةِۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢١٧ [
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 217)
Berdasarkan ayat ini, orang yang murtad tidak hanya mendapatkan siksa di akhirat saja bahkan di dunia harus dihukum mati. Rasulullah SAW menegaskan :
[ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوْهُ ]
“Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah”. (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad)
Pengertian baddala dînahu adalah murtad. Ibnu Qudamah dalam al-Mughnî menyatakan, “Para ulama telah bersepakat atas wajibnya membunuh orang murtad.”
Sebelum dihukum mati orang itu harus diminta bertobat terlebih dahulu. Orang itu diajak berdiskusi dan dibantah semua alasan, keraguan atau apapun yang membuatnya murtad. Ia diseru agar bertobat dan kembali pada Islam serta diberikan waktu tiga hari untuk merenung dan berpikir. Jika ia tetap tidak mau bertaubat, baru dilaksanakan hukuman mati atasnya.
Hal ini sesuai penuturan Jabir ra bahwa :
[أَنَّ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا: أُمُّ مَرْوَانَ، ارْتَدَّتْ عَنْ اْلإِسْلاَمِ، فَبَلَغَ أَمْرُهَا إلَى النَّبِيِّ ﷺ فَأَمَرَ أَنْ تُسْتَتَابَ، فَإِنْ تَابَتْ،
وَإِلاَّ قُتِلَتْ ]
“Seorang wanita, dipanggil Ummu Marwan, murtad dari Islam. Lalu perkaranya sampai kepada Nabi saw. Beliau kemudian memerintahkan agar ia diminta bertobat. Jika ia bertobat (maka diterima) dan jika tidak maka ia dibunuh”. (HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi).
Demikian juga, terjadi ijma’ sahabat atas hukuman mati bagi orang murtad, Al-Baihaqi dan ad-Daruquthni meriwayatkan bahwa Abu Bakar telah meminta Ummu Qurfah yang murtad agar bertobat (kembali), tetapi ia menolak sehingga ia dihukum bunuh. Abdurrazaq meriwayatkan bahwa Umar memutuskan terhadap sekelompok orang dari Irak yang murtad bahwa yang tidak mau bertobat dihukum bunuh. Semua hukuman mati bagi orang murtad tersebut dilaksanakan dan tidak ada seorang pun dari Sahabat yang mengingkarinya. Hal itu menunjukkan para Sahabat telah berijmak bahwa siapa saja yang murtad dari Islam, jika tidak mau bertobat kembali pada Islam, maka dihukum mati.
Kedua; jika pelakunya non-muslim (kafir), maka hukumannya sebagai berikut; [1] jika pelakunya kafir ahludz-dzimmah maka dzimmahnya atau jaminannya batal dan bisa diusir dari wilayah Islam, bahkan dibunuh. [2] Jika bukan ahludz-dzimmah, ini bisa dijadikan Khilafah sebagai alasan perang terhadap negara yang bersangkutan. Apalagi jika pelakunya negara, jelas Khilafah tidak akan tinggal diam terhadap pelecehan ini. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Al-Mu’tashim, Harun ar-Rasyid hingga Sultan ‘Abdul Hamid II dalam membela kemuliaan Islam dan kaum Muslim.
Dalam hal ini, Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk menghukum mereka dengan hukuman yang amat keras, yakni hukuman mati. sebagaimana berfirman-Nya:
] وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ [
“Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)-nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, perangilah para pemimpin kaum kafir itu”. (QS. At-Taubah [9]: 12).
Menjelaskan ayat ini, al-Hafidz Ibnu Katsir berkata:
[ وَمِنْ هَاهُنَا أُخِذَ قَتْلُ مَنْ سَبَّ الرَّسُولَ، صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ، أَوْ مَنْ طَعَنَ فِي دِينِ الْإِسْلَامِ أَوْ ذَكَرَهُ بِتَنَقُّصٍ ]
“Dan dari sinilah diambil (hukum) hukuman mati bagi siapa saja yang mencela Rasul saw, atau siapapun yang mencela agama Islam atau menyebutnya dengan nada meremehkan”. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/116).
Imam al-Qurthubi juga berkata:
[ استدل بعض العلماء بهذه الآية على وجوب قتل كل من طعن في الدين ]
“Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas kewajiban untuk memerangi setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir”. (al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 8/84).
Inilah sikap seorang Muslim dalam menghadapi penghina Islam dan penista al-Quran. Lebih dari itu, kita harus menghukum mereka sebagaiman diperintahkan Allah Swt.
Butuh Khilafah
Proses penanganan kasus penghinaan yang berlarut-larut dan lamban menunjukkan bahwa persoalannya bukanlah sekedar penghinaan itu sendiri. Belum lagi potensi berulangnya peristiwa yang sama terjadi. Semua proses penanganan tidak mampu mencegah dan mengatasi persoalan penghinaan ini dengan tuntas. Persoalan ini baru akan tuntas jika akar masalahnya, yakni sekularisme, dicabut dan dicampakkan dari kehidupan umat. Sebagai penggantinya, ditegakkan sistem Islam yang menjalankan seluruh aturan Allah SWT termasuk sanksi atas penghina dan penista agama, itulah sistem Khilafah. Khilafah akan senantiasa melindungi kesucian dan kehormatan Islam dan umatnya sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Rasul saw. bersabda:
[ إِنَّمَا ﺍﻹﻣَﺎﻡ ﺟﻨﺔ ﻳﻘََﺎﺗﻞ ﻣﻦ ﻭﺭﺍﺋِﻪِ ﻭﻳﺘﻘَﻰ ﺑِﻪِ ]
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya”. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kita tidak bisa berharap banyak kepada sistem selain Islam, Sosialisme-Komunisme telah terbukti bagaimana bengisnya terhadap manusia terutama bagi penganut agama karena tidak memberikan tempat bagi agama bahkan dianggap candu dan penghalang untuk mencapai tujuannya. Tidak juga kepada Kapitalisme yang hanya menempatkan agama pada ranah privat saja karena asasnya sekuler (pemisahan agama dari kehidupan.
Dengan sistem seperti ini jelas tidak bisa kita berharap, mengapa? Karena ; Pertama: Karena rezim yang ada jelas tidak melihat agama sebagai sesuatu yang penting, apalagi harus mempertaruhkan hidup-mati. Kedua: Penguasa kaum Muslim saat ini, semuanya adalah boneka dan antek penjajah. Karena itu berharap kepada mereka untuk melindungi Islam dan umatnya, jelas sulit. Ketiga: Kalau pun mereka bertindak, faktor utamanya bukan karena pembelaan terhadap Islam, tetapi karena kepentingan. Inilah yang menjadi alasan, mengapa susah berharap para rezim seperti ini.
Disinlah pentingnya Khilafah dan mengapa kita butuh Khilafah sebagai solusi atas segala malapetaka yang menimpah ummat masa kini. Dalam kasus ini, Sanksi yang keras dan tegas ini ditegakkan sedemikian oleh Khilafah kepada siapapun yang melakukan pelecehan terhadap Islam, tanpa pandang bulu.
Dengan adanya sanksi yang keras dan tegas, ini akan bisa menghentikan pelakunya sehingga jera dan tidak melakukan kejahatan yang sama. Begitu juga bagi yang lain, sanksi yang keras dan tegas itu akan bisa mencegah mereka untuk coba-coba melakukan kejahatan yang sama karena dampaknya pasti, yaitu dihukum dengan keras dan tegas.
Selain sanksi yang keras dan tegas, alasan tidak sengaja, karena tidak tahu itu juga tidak akan terjadi lagi. Pasalnya, Islam benar-benar diterapkan di dalam kehidupan. Islam benar-benar ada di setiap sudut kehidupan masyarakat; di ruang terbuka, di televisi, koran, majalah, di masjid, jalan, kantor, lapangan, maupun di ruang-ruang privat. Dengan begitu tidak ada yang tidak tahu tentang Islam, baik ajaran, sumber maupun simbolnya. Karena itu tidak akan ada lagi orang-orang iseng yang berani melakukan tindakan konyol terhadap Islam. Karena itu, tak bosan-bosannya kami mengajak umat ini untuk berjuang bersama-sama mewujudkan kembali perisai/pelindung Islam dan kaum Muslim, yakni Khilafah ‘alâ minhâj al-nubuwwah. [AH]