Spirit Aksi Bela Islam III 212 ( 2 Desember 2016 ) dan aksi bela Islam sebelumnya yang dilakukan secara damai oleh ummat Islam dari berbagai elemen ormas dan ulama dan dari berbagai daerah adalah bukti bahwa ummat Islam bisa bersatu padu dalam membela agamanya ketika Islam dihina, dilecehkan dan dinistakan.
Spirit ukhuwah islamiyah ini harus terus dipertahankan dan semakin disolidkan dalam menyikapi persoalan ummat, tidak berhenti pada penistaan satu ayat saja (surat Al-Mâidah 51) tetapi meramba kepada semua persoalan dan bahkan sampai kepada persoalan bangsa dan Negara.
Para ulama semakin sadar akan pentingnya persatuan ummat Islam dalam rangka menjaga dan melindungi ummat dari berbagai ketidkadilan dan tuduhan yang ditujukan kepada ummat. Melaui Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI), Front Pembela Islam (FPI) dan lembaga-lembaga Islam lainnya tidak berhenti melakukan pembelaan terhadap Islam dari berbagai penistaan, penodaan, tuduhan dan kriminalisasi ulama hingga issu makar.
Belakangan ini sangat menonjol adanya kriminalisasi ulama, bagaimana tidak karena menguatnya peran ulama ditengah masyarakat pasca aksi bela Islam menjadikan berbagai kalangan yang kepentingannya terganggu dan terancam. Maraknya saling melapor, akhirnya ulama juga dicari-cari kesalahannya lalu dilaporkan, ulama digambarkan sebagai penjahat, dituduh dan dikriminalkan.
KH Habib Rizieq Shihab terus-menerus dicari-cari kesalahannya, belum selesai yang satu muncul lagi yang lain. GNPF-MUI dituduh didanai oleh pihak lain, bahkan Wakil Sekjen MUI Pusat, Zulkarnaen yang hendak mengisi tabligh akbar atas undangan resmi Bupati Sintang, tiba-tiba dihadang oleh kelompok tertentu sambil mengacung-acungkan senjata tradisional di Apron Bandara Sintang ketika hendak turun dari pesawat terbang.
Demikian hebat kebencian mereka terhadap Islam dan para ulama, hal itu sangat tampak pada mulut-mulut mereka, baik secara langsung maupun via medsos bahkan bukan hanya ulama yang dikriminalkan, kalimat tauhid “Lâ ilâha Illallâh Muhammadun Rasûlullâh” yang merupakan inti ajaran Islam tak luput dari sorotan kriminal. Nurul Fahmi ditangkap dan sempat ditahan, penyebabnya hanya karena membawa bendera merah putih yang bertuliskan kalimat tauhid.
] وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ [
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 120)
Demikianlah Allah menyatakan bagaimana sikap mereka tidak henti-hentinya mengkriminalisasi Islam. Lalu bagaimana kedudukan dan peran ulama, serta mengapa mereka begitu benci terhadap ulama sehingga harus dikriminalkan? Dan bagaimana pandangan Islam terhadap bendera yang bertuliskan kalimat tauhid?
Kedudukan dan Peran Ulama
Kedudukan ulama ditengah masyarakat sangat mulia, bagaikan bintang-bintang dimalam kegelapan, masyarakat tercerahkan dan terdidik, damai dan tenteram, serta penuh keberkahan dan keselamatan di dunia maupun diakhirat. Masyarakat sepatutnya menghormati dan memuliakan ulama karena kedudukan dan perannya tersebut, bukan malah menghina, menuduh dan mengkriminalkannya. Diantara kedudukan para ulama berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah :
Pertama; Allah I bersaksi dengan Ulama karena ilmu dan keadilannya. Allah I berfirman :
] شَهِدَ ٱللَّهُ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَأُوْلُواْ ٱلۡعِلۡمِ قَآئِمَۢا بِٱلۡقِسۡطِۚ [
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). (Qs. Ali Imrân [3] : 18)
Kedua; Derajat kemulian para ulama tidak sebanding dengan lainnya. Allah I berfirman :
] قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩ [
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Qs. Az-Zumar [39]: 9)
] يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ [
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Al-Mujadalah [58] : 11)
Ketiga; Ulama adalah sosok mulia karena merupakan pewaris para nabi. Rasulullah saw. bersabda:
« وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ »
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmu berarti telah mengambil bagian yang banyak lagi sempurna”. (HR Abu Dawud).
Sebagai pewaris nabi, kemuliaan para ulama adalah karena mereka menempuh jalan sebagaimana Rasulullah r tak kenal lelah membacakan ayat-ayat-Nya dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Mereka pantang menyerah meskipun harus menghadapi beragam risiko.
Inilah sebagian keutamaan dan kedudukan ulama dan masih banyak lagi jika ingin ditelusuri di dalam Al-Qur’an maupun di dalam As-Sunnah. Adapun peranting penting ulama ditengah masyarakat dan Negara adalah diantaranya:
Pertama; Melakukan pembinaan secara intensif dalam rangka menyiapkan kader pelanjut yang akan melanjutkan perjuangan para ulama. Pembinaan dapat dilakukan melalui sekolah, pondok pesantren dan sebagainya. Hal ini sebagaimana Rasulullah r pusatkan pengkaderannya di rumah Arqom bin abi Arqom yang berlangsung kurang lebih tiga tahun. Peran ulama ini sangat menentukan kualitas generasi pelanjut stapet perjuangan ulama di masa yang akan datang.
Kedua; Melakukan edukasi (dakwah) ditengah-tengah ummat. Edukasi ini dilakukan melalui majlis-majlis ta’lim, pengajian di masjid, musholla, perkantoran dan tempat-tempat yang memungkinkan dakwah disampaikan. Ulama pewaris para nabi rajin mengajarkan al-Quran dan as-Sunnah. Dalam perkara hukum, mereka bersikap tegas. Apa pun status hukum yang berasal al-Quran dan as-Sunnah akan disampaikan. Mereka tidak akan menjual ayat-ayat Allah SWT demi memperoleh harta dunia.
Sebagai pewaris para nabi juga harus mengikuti jejak Rasulullah saw. dalam membersihkan masyarakat dari berbagai kekufuran dan kemaksiatan. Dengan ilmu yang dimiliki, mereka dapat menjelaskan kesesatan dan kerusakan berbagai pemikiran kufur seperti komunisme, sekularisme-kapitalisme, pluralisme, HAM dan lain-lain. Dengan penjelasan itu, masyarakat bisa terselamatkan dari ragam pemikiran kufur itu. Dalam menghadapi kemungkaran dan kemaksiatan, mereka pasti memilih berada di garda depan. Mereka tidak rela jika ada hukum Islam diabaikan, apalagi dilecehkan. Mereka akan memimpin umat berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Sebab, hanya dengan diterapkan syariah dan ditegakkan Khilafah, masyarakat benar-benar bisa diproteksi dari ide sesat, kemungkaran dan perangai tercela.
Semua aktivitas tersebut, para ulama pewaris nabi selalu didorong oleh keikhlasan yang tulus semata-mata mengharapkan ridha Allah I, sebab mereka adalah hamba-hamba yang hanya takut kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
] إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ [
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. (Qs. Fathir [35]: 28).
Ketiga; Ulama juga memiliki peran penting dalam politik. Tentu bukan politik praktis dengan mendukung atau tidak mendukung calon tertentu dalam kegiatan politik praktis seperti Pilkada, namun politik sebagai ri’âyah su’ûn al-ummah (melayani urusan masyarakat). Politik adalah aktivitas tertinggi dan mulia dalam kehidupan manusia. Karena itu peran ulama sepanjang masa kehidupan kaum Muslim, khususnya dalam kehidupan politik, sangatlah penting.
Islam adalah agama sempurna. Politik adalah bagian dari Islam. Islam tidak memisahkan antara kehidupan politik dan spiritual. Justru, ketika umat jatuh dalam kubangan sekularisme (yang menjauhkan agama dari urusan sosial-politik-kenegaraan) seperti saat ini, maka peran para ulama turut terpinggirkan.
Peran politik ulama dapat dilakukan dengan cara: [1] membina umat dengan pemahaman Islam yang sahih. Dengan itu muncul umat yang memiliki kepribadian Islam dan menjadi para pembela Islam dari berbagai kemaksiatan dan kemungkaran di tengah masyarakat. [2] Membangun kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu membangun kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusan mereka dengan syariah Islam. Umat harus peduli terhadap urusan kemasyarakatan bahkan kenegaraan. Mereka harus memahami berbagai konspirasi musuh-musuh Islam yang senantiasa mencari jalan untuk menghalangi Islam tegak di muka bumi ini. [3] Mengoreksi penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan, “Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataan mereka pun membekas di hati. Sayang, sekarang terdapat penguasa yang zalim, namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar.” (Al-Ghzali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 7/92).
Jelaslah, ulama memang seharusnya menjalankan politik Islam, yaitu mengurusi urusan masyarakat dengan Islam. Tugas politik ulama adalah mencerdaskan rakyat dengan Islam. Dengan begitu rakyat tidak mudah tertipu dengan bujuk rayu orang-orang zalim. Dengan kiprah politik ulama, rakyat akan terbina dengan baik serta akan memiliki kesadaran politik Islam hingga mereka akan meraih kemuliaan di dunia dan akhirat.
Ulama dan Kalimat Tauhid
Umat hari ini merindukan sosok ulama yang ikhlas berjuang dengan pengorbanan maksimal agar bisa mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliah modern, derita dan nestapa dalam kerangkeng sistem sekular-liberal; menuju cahaya Islam dalam wujud masyarakat dan negara yang bersyariah, yang berjalan di atas hidayah Islam. Itulah masyarakat dan negara yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan dilanjutkan oleh para khalifah beliau.
Pada masa Rasulullah r Negara dan masyarakat Islam memiliki bendera dengan bentuk dan corak yang khas; juga memiliki panji-panji dengan bentuk dan corak yang juga khas. Bendera ini laksana palu godam peperangan yang diarahkan kepada mereka dan membuat hati musuh-musuh Islam bergetar ketakutan melihatnya.
Kecintaan orang yang membawa bendera dan panji-panji Islam melebihi kecintaan orang yang tengah di mabuk asmara. Para sahabat Rasulullah r selalu berharap bahwa diri merekalah yang menjadi pembawa bendera. Pada saat perang Khaibar, para sahabat tidak bisa tidur memikirkannya pada malam harinya, dimana keesokan paginya Rasulullah saw akan menyerahkan bendera/panji-panji kepada seseorang:
] فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ: أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا؟ [
“Malam harinya, semua orang tidak tidur dan memikirkan siapa diantara mereka yang besok akan diserahi bendera itu”. (HR. Bukhari)
Bahkan Umar bin Khaththab sampai berkata: “Aku tidak mengharapkan kepemimpinan kecuali pada hari itu”. (HR. Bukhari)
Riwayat di atas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan bendera dan panji-panji didalam Islam. Orang yang diserahi oleh Rasulullah saw untuk membawanya memiliki kemuliaan yang sangat tinggi.
Bendera dalam bahasa Arab disebut liwâ (jamaknya alwiyah), liwâ (bendera negara) berwarna putih, bertuliskan “Lâ Ilâha Illallâh Muhammadarrasûlûllâh” dengan tinta berwarna hitam. Liwâ ini diserahkan kepada komandan (pemimpin) pasukan, yang menunjukkan posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan. Sedangkan râyah (panji-panji perang) berwarna hitam, bertuliskan “Lâ Ilâha Illallâh Muhammadarrasûlûllâh” dengan tinta berwarna putih, yang diserahkan oleh Khalifah atau wakilnya kepada pemimpin perang, serta komandan-komandan pasukan Islam lainnya. (Ajhizah Daulah al-Khilâfah, h. 169).
Akar Masalah dan Solusinya
Maraknya kriminalisasi Islam, ulama dan symbol-simbol Islam tidak terlepas dari sistem yang diterapkan oleh Negara yaitu sistem Kapitalis. Sistem ini dibangun berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) kemudian melahirkan aturan Demokrasi yang melahirkan kebebasan yang tak terkendali seperti kebebasan melakukan ekspresi meskipun dengan cara menfitnah, menghina, dan menistakan agama, ulama dan kalimat tauhid.
Kasus-kasus kriminal yang menimpa para ulama dan kalimat tauhid akhir-akhir ini semua itu bisa terjadi karena ada kolaborasi kekuatan legal, intelijen dan anarkis. Ini sangat berbahaya karena akan memperuncing pertentangan antar kelompok dan konflik horisontal. Bahkan ini merupakan aksi balas dendam akibat terganggunya kepentingan asing, aseng dan asong pasca penistaan agama yang dilakukan Ahok.
Solusi atas semua ini adalah mencabut akar malasahnya, yaitu mengganti sistem Kapitalis yang telah terbukti sebagai sumber malapetaka dengan sistem Islam yang berasaskan Aqidah Islam. Sistem Islam sepanjang sejarahnya telah terbukti menghantarkan kemuliaan manusia sebagai manusia, sehingga dapat merasakan Rahmatan lil ‘Alamin, Allah I berfirman :
] وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (١٠٧) [
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad Saw), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Qs. Al-Anbiya’ [21] : 107).
Kewajiban terbesar umat Islam hari ini adalah mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat dengan menegakkan seluruh syariah Allah SWT. Sebaliknya, kemungkaran terbesar yang wajib ditumbangkan saat ini adalah sistem thâghût yang menerapkan hukum-hukum kufur buat manusia. Itulah sistem sekular yang tengah berlangsung saat ini.
Karena itu saat ini umat benar-benar membutuhkan ’ulama akhirat’ yang bisa membimbing mereka untuk kembali pada Islam secara kâffah sambil terus-menerus memberikan dorongan dan dukungan terhadap perjuangan ke arah penegakkan syariah Islam. Umat membutuhkan ulama yang meneladani perjuangan Rasulullah saw. dalam mewujudkan masyarakat islami, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan, dalam Daulah Khilafah. Allah I berfirman :
] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ … (٢٤) [
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…” (Q.S. Al-Anfâl [8]: 24).
Hanya dengan itulah cita-cita umat mewujudkan baldatun thayyibatun warabbun ghafûr akan benar-benar terwujud, insya Allah. Wallâhu A’lam wa Ahkam. [AH]