“Ya itu kan sebenarnya upaya untuk membungkam kelompok-kelompok yang dianggap bisa memainkan posisi kekuasaan.”
Kementerian Agama berencana menyertifikasi para khatib Jumat. Hanya mereka yang mendapatkan izin dari pemerintah yang boleh naik ke mimbar masjid saat shalat Jumat. Kemenag berasalan, ini untuk menghilangkan unsur hujatan dalam ceramah yang dilakukan di hari Jumat.
“Sekarang Kementerian Agama bekerja keras untuk merumuskan apa kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan sebagai standar penceramah itu,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta beberapa waktu lalu.
Lukman menegaskan, seorang penceramah akan diakui apabila sudah mempunyai sertifikasi standar penceramah ala pemerintah, hal itu untuk mengurangi sikap-sikap intoleran beragama.
Akan tetapi, pihak Kemenag tidak ingin menjadi lembaga yang memberikan sertifikat terhadap penceramah tersebut. Pihaknya akan berbicara dengan beberapa pihak yang berkompeten dalam bidang keagamaan terkait siapa akan memberikan sertifikat untuk penceramah apakah dari MUI atau ormas agama gabungan.
Rencana Menteri Agama ini seperti mengulang niat pemerintah yang dulu pernah ada. Saat itu rencana itu gagal karena ditolak oleh kaum Muslim.
Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia Rokhmat S Labib menilai, apabila rencana ini diterapkan maka menjadi cermin sikap otoriter pemerintah. “Jadi orang tidak boleh mengkritik, memberikan nasihat, kalau nasihat dan kritikan itu berbeda dengan kebijakan pemerintah,” ungkapnya kepada Media Umat.
Posisi khatib dianggap berbahaya oleh pemerintah karena langsung bersinggungan dengan masyarakat. Secara fakta, banyak khatib yang menyampaikan Islam apa adanya dan menasihati pemerintah dengan tujuan agar membangkitkan kesadaran masyarakat.
Rokhmat memisalkan, apabila seorang khatib menjelaskan makna ayat dari surat Al-Baqarah yang berbunyi “tidak akan pernah ridho Yahudi dan Nasrani terhadap kamu sampai kamu mengikuti agama mereka”, ayat itu tidak punya makna lain selain kedua agama tersebut memang mempunyai kebencian yang luar biasa kepada Islam dan umatnya.
“Namun kemudian ketika ayat itu dibacakan, itu kan bisa pemerintah menganggap bahwa ayat tersebut mengganggu kemajemukan, memberikan hasutan, nanti ada ayat yang tidak boleh dibacakan apalagi diterangkan. Ini kan bahaya sekali. Ini memasung hukum Islam itu sendiri,” jelasnya.
Pemerintah seolah-olah takut dikritik dan dinasihati masyarakatnya, takut kepada para khatib yang lugas dan tegas menyampaikan Islam apa adanya. “Ya itu kan sebenarnya upaya untuk membungkam kelompok-kelompok yang dianggap bisa memainkan posisi kekuasaan,” kata Rokhmat.
Menurutnya, rezim penguasa ingin mempertahankan kekuasaan mereka dengan melakukan tindakan represif dengan cara ingin memasung Islam.
“Bayangkan Islam yang milik Allah, pemilik bumi dan alam semesta ini dianggap berbahaya. Ada bagian-bagian Alquran yang buruk, membahayakan, mengganggu kebhinnekaan, dan kesatuan sehingga tidak boleh disebarkan,” ungkap Rokhmat.
Rokhmat juga menambahkan bahwa ini semua terjadi dikarenakan standar baik dan buruk bukanlah berasal dari hukum Islam. “Apa yang dikatakan Islam itu dianggap buruk, nah karena mereka yang berkuasa. Mereka menyeleksi orang berbicara itu harus berdasarkan baik buruk penguasa,” katanya.
Rokhmat juga menyayangkan kebijakan pemerintah akhir-akhir ini memang terkesan memasung hukum Islam. “Seperti yang dikatakan Wiranto juga menjadi contoh, MUI sebelum memutuskan fatwa harus mengkordinasikan dengan Menag, polisi. Maknanya fatwa itu harus dicek dulu apakah sejalan dengan pemerintah atau tidak,” jelas Rokhmat. [] fatihsholahuddin
sumber : Tabloid Media Umat 189