Pemerintah kembali akan memberikan izin ekspor sementara kepada Freeport padahal jelas bertentangan dengan UU Minerba Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
“Inilah bukti nyata bahwa rezim negeri itu takluk dan lebih berpihak kepada korporasi dibandingkan dengan kepentingan negara dan rakyat,” ujar peneliti senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Ishak kepada mediaumat.com, Senin (6/2/2017).
Pasalnya, UU tersebut mewajibkan perusahaan pertambangan mineral untuk membangun pabrik smelter maksimal tahun 2014. Jika tidak, izin ekpornya dibekukan. Meskipun dalam kenyataannya Freeport tidak mematuhi UU tersebut, namun pemerintah terus memberikan toleransi.
Terakhir, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor tahun 2017 dengan tujuan agar Freeport dapat kembali melakukan ekspor. Meskipun dalam PP tersebut dinyatakan bahwa ekspor hanya dapat dilakukan kembali jika status Kontrak Karya perusahaan pertambangan diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan, namun lagi-lagi pemerintah kembali berdalih bahwa proses perubahan tersebut memakan waktu hingga enam bulan sehingga pemerintah akan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Sementara agar perusahaan itu dapat kembali melakukan ekspor.
“Semestinya, pemerintah bersikap tegas dengan perusahaan itu. Sayangnya, pemerintah justru terlihat takluk dengan perusahaan ini,” kata Ishak.
Menurutnya, pemerintah secara terang benderang telah melakukan pelanggaran UU demi meneruskan kegiatan ekspor perusahaan AS tersebut. “Tidak tanggung-tanggung, pemerintah harus merevisi hingga empat kali PP Nomor 23 tahun 2010 agar perusahaan ini dapat tetap melakukan ekspor meskipun berbagai syarat yang diminta pemerintah tidak dipenuhi,” keluhnya.
Padahal, lanjut Ishak, dalam banyak kasus, perusahaan itu sama sekali tidak memiliki itikad untuk tunduk pada berbagai regulasi yang ada. Perusahaan ini misalnya, belum bersedia membanguan smelter, jika kontraknya yang berakhir tahun 2021, belum diperpanjang. Selain itu, perusahaan ini juga belum bersedia melepaskan sahamnya sebesar 30 persen kepada pemerintah sesuai dengan skema yang ditetapkan pemerintah.
“Perusahaan ini juga belum mau membayar tunggakan pajak kepada Pemerintah Daerah Papua sebesar Rp3,4 triliun,” pungkasnya. (mediaumat.com, 8/2/2017)