Wajib Pemimpin Muslim, Haram Pemimpin Kafir

[Al-Islam edisi 843, 13 Jumada al-Ula 1438 H – 10 Februari 2017 M]

 

 

Allah SWT telah memerintahkan kaum Mukmin untuk menaati ulil amri (penguasa) dari kalangan mereka sendiri:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ﴾

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri (penguasa) dari kalangan kalian (TQS an-Nisa` [4]: 59).

Kata kum dalam frasa minkum itu kembali kepada pihak yang diseru, yakni al-ladzîna âmanû. Frasa minkum itu maknanya min al-ladzîna âmanû (dari kalangan orang-orang yang beriman). Jadi ulil amri (penguasa) itu wajib Muslim. Lalu bagaimana mungkin kaum Muslim bisa menunaikan kewajiban untuk menaati pemimpin Muslim jika yang dipilih dan diangkat adalah pemimpin kafir?

Haram Pemimpin Kafir

Dengan tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman orang kafir menjadi pemimpin atas kaum Muslim.

﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً﴾

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Kepemimpinan adalah jalan paling besar untuk menguasai dan mengatur kepentingan kaum Muslim.”

Ayat ini merupakan kalimat berita (kalam al-khabar) yang berisi larangan (nahy). Pasalnya, di sini ada huruf nafyu al-istimrar, yakni “lan”, yang bermakna penafian untuk selamanya. Artinya, Allah SWT melarang selama-lamanya kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin. Karena itu berdasarkan ayat ini, semua ulama sepakat bahwa haram mengangkat orang kafir menjadi pemimpin atas kaum Mukmin (Ibnu al-‘Arabi, Ahkâm al-Qur’ân, I/641).

Allah SWT juga tegas melarang kita untuk menjadikan orang kafir sebagai wali:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ﴾

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai wali di luar kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).

Di antara makna waliy (awliyâ’) adalah teman, teman dekat, orang khusus, penolong dan sebagainya. Namun, salah jika menganggap bahwa ayat ini hanya melarang untuk menjadikan orang kafir sebagai teman dan tidak melarang menjadikan mereka sebagai pemimpin atau penguasa. Sebabnya, makna kata awliyâ` (bentuk tunggalnya waliy) tidak boleh dibatasi hanya pada makna teman, khashah (orang khusus) atau bithânah (teman dekat), tanpa nas yang mengkhususkannya. Faktanya, di sini tidak ada nas yang mengkhususkannya. Karena itu pengkhususan makna kata awliyâ` hanya pada makna teman/teman dekat itu adalah pengkhususan tanpa didasarkan pada dalil (takhshîsh bi lâ mukhashshis).

Apalagi berdasarkan mafhûm muwâfaqah atas ayat di atas, jika menjadikan orang kafir sebagai teman dekat saja sudah haram, apalagi mengangkat orang kafir itu sebagai pemimpin atau penguasa, tentu lebih haram lagi. Syaikh Ihab Kamal Ahmad mengomentari tafsir kata awliyâ` dalam QS an-Nisa ayat 144, “Jika berkawan dengan mereka (kafir), membuka rahasia-rahasia kaum Mukmin kepada mereka, juga menjadikan mereka sebagai teman khusus sudah termasuk dalam bentuk memberikan loyalitas (ber-waliy) yang dilarang oleh ayat ini, maka tidak diragukan lagi bahwa menyerahkan urusan kaum Muslim kepada mereka dan menjadikan mereka sebagai penguasa atas kaum Muslim adalah juga termasuk bentuk ber-waliy yang paling jelas kepada mereka dan lebih berat keharamannya.” (Ihab Kamal Ahmad, Ar-Radd al-Mubîn ‘ala Man Ajaza Wilâyah al-Kafir ‘alâ al-Muslimîn, hlm. 3).

Masih banyak ayat al-Quran lainnya yang menegaskan keharaman pemimpin kafir atas kaum Muslim. Selain itu larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin (penguasa) juga dinyatakan dalam banyak hadis. Di antaranya hadis dari Ubadah bin Shamit ra., bahwa Nabi saw. telah bersabda:

«… وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ»

Hendaknya kita tidak mengambil alih urusan itu dari yang berhak.” Beliau bersabda, “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.” (HR al-Bukhari).

 

Jika penguasa Muslim yang menjadi kafir saja wajib diganti, yakni haram terus dijadikan penguasa, tentu orang yang sejak awal kafir lebih dilarang lagi untuk dijadikan pemimpin (penguasa) atas kaum Muslim.

Para ulama juga telah menyepakati keharaman pemimpin kafir atas kaum Muslim. Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Para ulama telah bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Kalau kemudian tampak kekufuran pada pemimpin maka dia wajib diganti.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, VI/315).

Ibnu Mundzir juga menyatakan, “Telah sepakat para ahli ilmu yang menjadi rujukan, bahwa orang kafir tidak boleh berkuasa atas kaum Muslim dalam urusan apapun.” (Ibnu al-Qayyim, Ahkâm Ahl ad-Dzimmah, II/787).

 

Tetap Berlaku dan Mengikat

Seorang Muslim harus tetap menggunakan standar hukum syariah di mana dan kapan pun. Menurut standar hukum syariah seperti diuraikan di atas, jelas sekali, wajib pemimpin Muslim dan haram pemimpin kafir. Ketentuan halal dan haram ini tetap berlaku dan mengikat bagi seorang Muslim kapan dan di mana saja. Imam Syafii dalam Al-Umm menyatakan:

أَنَّ الْحَلاَلَ فِي دَارِ اْلإِسْلاِمِ حَلاَلٌ فِي بِلاَدِ الْكُفْرِ وَالْحَرَامَ فِيْ بِلاَدِ اْلإِسْلاَمِ حَرَامٌ فِي بِلاَدِ الْكُفْرِ

Sungguh apa saja yang halal di Dâr al-Islâm (Khilafah) tetap halal di negeri-negeri kufur. Apa saja yang haram di negeri-negeri Islam tetap haram di negeri-negeri kufur (Imam Syafii, Al-Umm, XIX/hal. 237, Darul Wafa`, al-Mansurah, 2001).

Imam Syaukani juga mengatakan:

فَإِنَّ أَحْكَامَ الشَّرْعِ لاَزِمَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِي أَيِّ مَكَانٍ وَجَدُوْا، وَ دَارُ الْحَرْبِ لَيْسَتْ بِنَاسِخَةٍ لِلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ لِبَعْضِهَا

Sungguh hukum-hukum syariah tetap mengikat kaum Muslim di manapun mereka berada. Dâr al-Harb (negara kafir) bukanlah penghapus (nâsikh) bagi hukum-hukum syariah atau sebagiannya (Asy-Syaukani, Asy-Sayl al-Jarrâr, Dar Ibn Hazm, Beirut, 2004).

Dengan demikian hukum tentang kewajiban pemimpin Muslim dan keharaman pemimpin kafir itu tetap berlaku dan mengikat atas kaum Muslim. Setiap Muslim akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas sejauh mana ia terikat dan menjadikan hukum syariah itu sebagai standar sikap dan perbuatannya. Siapa saja yang patuh akan mendapat pahala. Sebaliknya, siapa saja yang menyimpang akan mendapat dosa dan siksa-Nya.

Saatnya Mencampakkan Sistem Sekular

Pangkal masalah di seputar pemimpin saat ini adalah penerapan sistem sekular. Sistem sekular menolak campur tangan agama (Islam). Dalam sistem sekular, syariah Islam tak boleh dijadikan patokan. Karena itu wajar jika sistem sekular membolehkan orang kafir jadi penguasa.

Persoalan pemimpin kafir dan berbagai turunannya yang muncul sekarang ini sesungguhnya berpangkal pada sistem sekular itu. Sistem sekular bahkan menjadi pangkal bagi ragam persoalan dan bencana yang menimpa umat ini. Sistem sekular inilah yang melahirkan demokrasi. Doktrin dasar demokrasi adalah kedaulatan manusia (rakyat). Tidak ada demokrasi tanpa kedaulatan di tangan manusia (rakyat). Karena kedaulatan di tangan manusia, hukum pun mudah dijadikan alat kepentingan. Itu pulalah pangkal masalah mengapa hukum banyak menguntungkan pemilik modal bahkan pihak asing dan banyak merugikan rakyat. Demokrasi pula yang membuat penguasa lebih mengabdi pada kepentingan modal dan para cukong dengan mengalahkan kepentingan rakyat.

Sistem sekular dengan ekonomi kapitalismenya juga menjadi pangkal berbagai bencana ekonomi: kekayaan rakyat dikuasai kapitalis dan asing, subsidi untuk rakyat dihapus, rakyat diperas dan bahkan menyubsidi pemilik modal, negara memposisikan rakyat jadi konsumen dan pembeli, dan berbagai bencana ekonomi lainnya. Ragam masalah dan bencana lainnya yang menimpa umat manusia juga tidak bisa dilepaskan dari sistem sekular ini.

Wahai Kaum Muslim:

Jelas, persoalan tentang pemimpin kafir dengan berbagai persoalan turunannya, juga beragam masalah bahkan bencana yang terjadi sat ini, akan terus terjadi dan berulang selama sistem sekular tetap diterapkan. Karena itu penyelesaian berbagai masalah itu mengharuskan penerapan sistem sekular diakhiri.

Berikutnya tentu harus diterapkan sistem yang baik, adil dan bisa mewujudkan keadilan. Tidak ada sistem yang baik, adil dan berkeadilan kecuali hanya sistem Islam dengan syariahnya. Sebab, sistem Islam berasal dari Allah SWT yang Mahaadil dan Mahabijaksana. Syariah Islam tidak mungkin sempura diterapkan kecuali di bawah sistem Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Karena itu syariah dan Khilafah menjadi solusi atas beragam persoalan yang dihadapi umat manusia. Lebih dari itu, penerapan syariah di bawah sistem Khilafah merupakan tuntutan keimanan dan diwajibkan oleh Allah SWT.

Alhasil, wajib memilih pemimpin Muslim, dan wajib pula pemimpin terpilih menerapkan hanya syariah Islam.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam:

 

SBY: Tebang Pilih Hukum Sudah Jadi Rahasia Umum (Republika.co.id, 7/2/2017)

  1. Begitulah yang terjadi dalam sistem sekular yang jauh dari syariah Islam.
  2. Dalam sistem sekular, hukum dibuat oleh manusia yang tidak lepas dari kepentingan hawa nafsunya; penguasa dan para aparatnya pun sering jauh dari rasa takut kepada Allah SWT.
  3. Karena itu saatnya bangsa ini bersegara menerapkan hanya hukum Allah, Zat Yang Mahadil, serta mengangkat penguasa dan aparat yang bertakwa kepada Allah SWT, yang hanya mau berhukum dengan syariah-Nya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*