Masjid, Dakwah, dan Politik

spanduk 92 tahun keruntuhan khilafah di masjid al aqshaOleh Imam Sutiyono*

 

Masjid adalah tempat istimewa bagi kaum Muslimin untuk beribadah. Disebut juga Baitullah atau Rumah Allah karena di masjid dilakukan peribadatan ritual, sholat berjamaah, kajian, dzikir, hingga momentum peringatan hari besar Islam. Tidak heran jika di banyak tempat di Indonesia ketika bulan Ramadhan masjid sangat ramai dipenuhi jamaah, hari-hari besar seperti Maulid Nabi, Isra’ dan Mi’raj hingga Tahun Baru Islam pun marak dijadikan momen menguatkan keimanan dan juga meneladani akhlak kehidupan Nabi Muhammad. Terlebih jika adrenalin umat dalam titik kritis melihat fenomena ketidak-adilan menerpa bangsa dan negeri ini.

Syaikhul Islam dimasa Peradaban Islam, Ibn Taimiyyah berkata: “Tempat para imam dan berkumpul-nya umat adalah masjid. Nabi saw membangun masjidnya berdasarkan ketakwaan. Di sana, beliau shalat, membawa al-Qur’an, dzikir, mengangkat para pemimpin, memperkenalkan tokoh. Di situ, kaum Muslim berkumpul, karena urusan agama dan dunia yang mereka anggap penting.”

Aktivitas Dakwah

Tidak ketinggalan, tempat diselenggarakan kegiatan dakwah yang sangat dominan adalah masjid. Dakwah yang dimaksud yaitu proses penyampaian nasehat atau ceramah yang akan mengugah kesadaran begitu tinggi dan mulianya ajaran Islam. Dakwah merupakan medium penting dalam proses transformasi pemikiran dan pemahaman terhadap syariat Islam yang rahmatan lil’alamiin.

Transformasi pemikiran seputar ajaran Islam ini sering dijumpai dalam kajian keislaman, baik pembahasan kitab suci Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Kajian ini bisa dilakukan per pekan atau yang dikehendaki agar terjadi internalisasi syariah dalam diri umat. Ini juga sangat menunjang dalam penjagaan akidah dari ajaran-ajaran sesat yang menyimpang dari mainstream ijtihad para ulama mu’tabar.

Sedangkan setiap Jum’at maka para jamaah masjid mendengarkan khutbah Jum’at yang meski singkat tapi padat berisi seputar pemahaman Islam dan perkembangan umat terkini. Dalam khutbah Jum’at yang ideal baik isi maupun durasi sangat dibutuhkan oleh umat. Terlebih dalam kondisi umat yang haus akan ilmu dan pemahaman Islam yang lurus. Sangat disayangkan jika materi khutbah kurang mengena dan jauh dari realita keumatan terkini. sudah saatnya keterbukaan informasi dioptimalkan untuk meraih kebangkitan umat yang hakiki. Spirit Aksi  212 yang mengumpulkan Tujuh jutaan kaum Muslimin di Monas merupakan momentum awal untuk proses penyadaran yang lebih intens.

Sungguh dalam perjalanan peradaban sejarah Islam atau tepatnya dimasa Kenabian Muhammad, masjid menjadi sentral dakwah Islam. Pembelajaran Islam, pendalaman Al-Qur’an dan hadits, hingga praktek ibadah secara umum dilangsungkan di Rumah Allah. Bahkan dalam jejak kehidupan para sahabat pun seperti mengutarakan keislaman atau ucapan syahada terjadi di masjid. Oleh karenanya tidak aneh jika masjid di jaman itu menjadi tempat yang sakral sekaligus sarana kaderisasi umat dalam menyongsong kebangkitan Islam.

Begitu juga energi dan spektrum dakwah lah yang menjadikan Islam berkembang luas hingga saat ini. Yang mulanya hanya di kota kecil Yastrib (Madinah) kemudian melebarkan hingga jazirah Arab, India termasuk Pakistan, Persia (Iran), Irak, Syam (Suriah, Lebanon, Palestina), dataran Afrika-Maroko-Aljazair, hingga dataran Eropa seperti Spanyol, bahkan Nusantara dengan kesultanan Demak, Pasai, Mataram, Banten, dan seterusnya. Dakwah yang diemban oleh kekuasaan lah yang menjadikan Islam berkembang pesat, dari masa kepemimpinan Nabi, diteruskan Khalifaur Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyah hingga Turki Ustmani. Sangat bisa dipahami ungkapan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental Al-Iqtshad fil I’tiqhadAgama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi, kekuasaan adalah penjaganya. Apa-apa yang tidak ada pondasi akan hancur. Apa-apa yang tidak dijaga maka akan binasa.

Depolitisasi Masjid

Masjid adalah fasilitas milik umum, yang tidak boleh dimonopoli atau dikapling oleh individu, kelompok, bahkan negara. Siapapun berhak memanfaatkan masjid sesuai dengan peruntukannya, dan tidak boleh dihalangi, dilarang atau diusir. Tentu, dengan tetap menjaga adab dan akhlak di masjid sebagai Baitullah dan tempat ibadah. Oleh karena itu di masa Nabi, masjid merupakan tempat pertama yang dibangun setelah hijrah dan proklamasi Negara Yastrib (Madinah). Mengapa Nabi tidak membangun gedung pemerintahan, tembok pertahanan atau bangunan lain? Di masjid tersebut Nabi sebagai kepala Negara melakukan apa yang disebut sebagai aktivitas politik. Politik menurut Islam adalah mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum Islam di dalam maupun di luar negeri. Sedangkan politik dalam teori klasik Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Dalam masjid itulah Nabi mempraktekan adanya sebuah Negara. Musyawarah (syuro) diantara para sahabat dalam menentukan strategi perang Uhud misalnya. Begitu juga saat akan mengutus Ali bin Abi Thalib ke daerah jazirah Arab untuk menyampaikan misi dakwah Islam rahmatan lil’alamiin. Penetapan khalifah Abubakar ash-shiddiq dan setelahnya banyak mengunakan fasilitas masjid. Oleh karenanya masjid sebagai pusat kegiatan politik sangat kental waktu itu. Hingga kemudian terjadilah apa yang terjadi pergeseran titik pusat kegiatan keumatan.

Tepatnya 3 Maret 1924, kekhilafahan Turki Ustmani dihancurkan oleh Mustafa Kemal terjadilah sekularisasi Islam. Sekularisasi menjadikan pemisahan agama dan kehidupan. Sejatinya ini adalah desakralisasi ajaran Islam. Pada masa Mustafa Kemal Bukan saja mengganti adzan dengan bahasa Truki tapi lebih dari itu sampai busana jilbab pun dilarang dan simbol-simbol ajaran Islam dijauhkan dari kehidupan umat Islam sendiri. Masjid menjadi tempat ibadah saja hingga muncul depolitisasi masjid. Seolah ingin mengatakan haram beraktivas politik, membicarakan masalah keumatan hingga ekonomi-politik-sosial-budaya di Baitullah. Depolitisasi masjid adalah proyek yang dilakukan untuk menjauhkan dan membersihkan masjid dari fungsi dan peran politik (Islam). Depolitisasi ini proyek berbahaya yang mengancam Islam dan kaum Muslim. Karena menyalahi contoh yang dipraktekan oleh Nabi dan masa peradaban keemasan Islam.

Sangatlah indah dan mulia jika pada saat momentum Maulid Nabi, Ramadhan, Tahun Baru Islam, Isra’ dan Mi’raj menjadi sarana memakmurkan masjid. Dengan harapan ada syiar Islam dan peningkatan pemahaman Islam di saat media cetak maupun elektronik, televisi, internet, semua itu sangat jauh dari nuansa keislaman. Bahkan sangat dikhawatirkan media itu menjadi sarana pendangkalan akidah dan penyesatan ajaran Islam. Benar sebagaimana sinyalemen Nabi bahwa umat ini akan mengikuti kebiasaan atau tradisi jahiliyah sebagaimana umat-umat terdahulu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga mereka masuk dalam lubang biawak pun mereka tidak menyadarinya.

Tolak Sertifikasi Ulama

Dalam kancah pra-kemerdekaan, munculnya Snouck Horgronje (1857-1936) sebagai agen Orientalis Belanda yang pura-pura masuk Islam dan menyebarkan Islam non politik sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam masa itu. Sepak-terjang Snouck yang mengecoh para ulama pun ternyata hingga kini masih menjadi kontroversi. Pudarnya eksistensi seorang Sultan hingga runtuhnya kesultanan Aceh oleh Belanda tidak lepas dari jasa sang Horgronje. Inilah pelajaran berharga dari sejarah dimana jika ajaran Islam non politik disebarkan maka imperialisme Belanda semakin kokoh mengeksploitasi kekayaan negeri dan warga pribumi semakin menderita.

Disisi lain ada upaya yang sangat massif dilakukan oleh Kemenag, BNPT hingga Pemerintah untuk melakukan sertifikasi Ulama sepertinya perlu dikaji ulang. Bahkan ditolak dengan berbagai pertimbangan. Strategi Pemerintah untuk membungkam Para Kiai, Ulama dan Tokoh masyarakat yang kritis patutlah dijauhi. Jangan sampai Sertifikasi Ulama menjadi alat represif penguasa hingga yang muncul adalah Para Ulama yang terbayar oleh kepentingan penguasa dan anteknya. Kiranya pelajaran berharga pada saat penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru jangan sampai terulang di era yang penuh jejaring informasi. Seorang ulama ternama dari Irak, Syaikh Abdul Aziz Al-Badri dalam buku fenomenalnya Hitam-Putih Ulama dan Penguasa menyebutkan Ulama adalah garamnya umat. Intinya adalah barometer umat dan standar penilaian al-haq (kebenaran) dan al-bathil (keburukan) muncul dari seorang ulama yang faqih atau mempuni dalam ilmu dan amal sholeh. Lurusnya Para Ulama akan menjadikan kontrol terhadap para penguasa agar sesuai wahyu Ilahi dan sabda Nabi.

Sangat beruntung di penghujung abad ke-20 rupanya peranan masjid sebagai tempat berpolitik dan menyampaikan perkembangan umat kian santer terdengar. Berbagai diskusi, sharing dan update bisnis muamalah hingga fiqh kontemporer pun sering dibahas. Kesadaran dan pemahaman umat pun mulai ada perubahan. Indikasi umum yang dapat terlihat adalah maraknya simbol-simbol keislaman, dari stiker kendaraan, bisnis busana muslim, bank, pegadaian hingga asuransi berlabel syariah, perda bertajuk syariah dan sebagainya. Buletin, majalah baik cetak maupun elektronik seperti facebook, twiter, whatsapps, telegram pun tidak jarang bersuara politik Islam. Kiranya tidak salah jika surat Al-‘Alaq yang menekankan iqra (bacalah) jauh-jauh hari masih tetap akan up to date sepanjang masa sebagaimana Islam rahmatan lil’alamiin, rahmat untuk semua. Wallahua’lam bisshowab.

*Imam Sutiyono, Pemerhati Masalah Sosial & Keagamaan, tinggal di Serang, Banten.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*