Sekularisasi Kurikulum di Negeri-Negeri Muslim “Bagaikan penyakit laten yang mewabah”
Akhir-akhir ini, kawasan dunia arab telah hidup dalam sebuah kampanye intensif yang menyerang kurikulum pendidikan di banyak negara, seperti Tunisia, Yordania, Palestina, Maroko dan Aljazair. Hal ini sedang dilakukan di atas sebuah argumen untuk melayani pengembangan pendidikan dan mengikuti laju pengetahuan. Dalam hal ini, tidak ada keraguan bahwa kurikulum pendidikan kita tidak hanya sangat membutuhkan perbaikan dan pengembangan, namun juga sebuah perubahan radikal yang menetapkan visi pendidikan baru dan menciptakan revolusi pengetahuan yang maju, yang menyumbang dalam membangun pemikiran dan kepribadian islam yang kreatif yang dikenal dengan sangat mendahulukan pengetahuan dan membuka pintu terhadap potensi dan kemampuan guna dimanfaatkan untuk melayani perkembangan tersebut.
Namun, meskipun begitu, hal yang berbahaya dalam masalah ini adalah bahwa perubahan ini pada dasarnya menargetkan sekularisasi kurikulum pendidikan dan memutuskan hubungan dengan aqidah Islam dalam konteks perang melawan “terorisme dan ekstremisme”. Hal itu disebabkan masalah kurikulum di wilayah Arab dan negeri-negeri muslim kita bukanlah masalah internal yang diatur oleh para ulama dan pemikir, dan dikelola oleh pakar. Namun, hal tersebut adalah sebuah masalah global yang tunduk pada pengawasan negara-negara barat yang telah mengadopsi cara yang berbeda untuk men-sekulerisasi-kannya. Seperti konferensi antar agama yang secara rutin merekomendasikan perubahan kurikulum di negeri-negeri muslim untuk memberikan ruang bagi hubungan yang lebih erat antara agama. Atau, dalam bentuk ketentuan dari badan-badan bantuan internasional seperti IMF dan bank dunia, melalui pembebanan beberapa kurikulum pendidikan dan penghapusan kurikulum yang lain, sebagai pertukaran dengan penyediaan dana hibah, pinjaman atau pembatalan beberapa hutang negara tertentu. Atau juga bisa seperti kemitraan Euro-Mediterania di mana eropa mewajibkan negara-negara lain untuk mengubah kurikulum mereka sebagai pertukaran dana hibah, kemitraan dan hal serupa lainnya. Di samping itu, ada konferensi dan seminar internasional yang diatur oleh badan internasional yang berbeda, seperti UNRWA, UNESCO, dan UNICEF, yang mencoba untuk mengintegrasikan nilai-nilai global “globalisme” dalam kurikulum pendidikan dan memperkuat ide yang menyeru kepada sistem global yang baru. mereka disibukkan dengan dua proyek. salah satunya adalah kepedulian terhadap wilayah Timur Tengah sementara yang lain berhubungan dengan negara-negara Mediterania.
Dari hal tersebut dapat diamati bahwa tuntutan perubahan yang dikenakan oleh negara-negara besar tergantung pada peristiwa politik yang berubah di seluruh dunia dan terhubung secara fundamental dengan sikap yang diambil oleh dunia internasional terhadap Islam. Akibatnya, setiap kali kesadaran politik atas dasar Islam meningkat dalam tubuh umat, penyempitan yang diterapkan pada kurikulum pendidikan meningkat, dan kampanye dari rekomendasi internasional untuk kebutuhan untuk mengubah mereka meningkat, yang menyatakan bahwa mereka tidak harus bermusuhan dengan Barat, tidak menghasut jihad, seruan untuk perdamaian, normalisasi dengan entitas Yahudi, dengan budaya toleransi, penerimaan dari orang lain dan sosialisasi. semua hal tersebut ditujukan demi melayani proyek “memerangi terorisme dan ekstremisme” seperti apa yang terjadi di Iraq setelah invasi Amerika dan juga di Afghanistan ketika mereka berupaya untuk menggantikan kurikulum, sebagai bagian dari perang melawan islam, untuk menyingkirkan konsep jihad melawan Amerika. itu seperti perubahan yang terjadi dalam kurikulum saudi setelah peristiwa 11 September ketika mereka benar-benar menghapus topik al-walaa ‘dan al-baraa’ (loyalitas dan pengingkaran) dari subjek tauhid. atau seperti yang disaksikan di Casablanca mengikuti ledakan di Maroko yang mencapai tingkat panggilan untuk menghapus kata jihad dari setiap buku sekolah tunggal. Hal yang sama berlaku sehubungan dengan Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Yaman di mana Presiden berseru kepada menteri-menterinya. “kita harus melaksanakan perubahan kurikulum pendidikan kita sebelum datangnya penerjemah dari Amerika. Karena kita adalah umat muslim dan tidak ada salahnya mengurangi takaran agama kita!”
Siapa pun yang mencermati perubahan menular yang berskala luas (untuk kurikulum) yang menyebar, tepat seperti yang digambarkan oleh seorang penyair, Al-Akhtal, sebagai ruam. Ia akan melihat bahwa ruam tersebut telah datang di belakang gerakan rakyat di negara-negara dari revolusi Arab dan negeri-negeri Asy-Syam, di mana mereka mengangkat suara mereka menyerukan penerapan Islam kaffah dan pengusiran kolonialisme. Mereka menyerukan kewajiban untuk berdiri melawan ekspansi Islam ini yang dianggap merupakan ancaman nyata terhadap barat dan peradabannya. Sehingga Yordania kemudian mengambil inisiatif untuk membuat perubahan seputar persoalan jenggot pria dan khimaar (jilbab) serta pakaian wanita di gambar-gambar dari buku bacaan sekolah. Mereka menghapus pelajaran lengkap tentang Surah Al-Layl dan menggantinya dengan pelajaran baru tentang renang, seperti halnya mereka mengganti pelajaran yang disebut jumlah surah dalam Al-Qur’an Al-Kareem dengan pelajaran yang disebut merpati kecil. Pada saat yang sama, mereka membatalkan pelajaran Tahfidz Al-Qur’an dan Hadits Rasul Saw dari beberapa pelajaran. Mereka juga mengubah model pembelajaran tentang Ibn Battuta, di mana mereka menghapus kalimat yang berbicara tentang bagaimana beliau telah belajar Alquran dan puisi sejak usia dini di masa kecilnya. Hal yang sama terjadi pula di Palestina karena mereka menghapus banyak ayat dari Al-Qur’an yang memerintahkan memerangi Yahudi dan hadits Rasul Saw yang menyeru kepada Jihad dan memerangi orang kafir. Sedangkan Aljazair, perubahan yang digagas olehi menteri pendidikan Benghabrit menimbulkan perdebatan luas. Menteri dari kementrian ini yang memiliki kecendrungan mendalam kepada bahasa Prancis mengusulkan pada awal tahun untuk memperkenalkan bahasa jalanan Aljazair sehari-hari ke tingkat sekolah dasar pendidikan untuk menggantikan bahasa Arab klasik (Fus’haa). Sebagai tambahan pula dari apa media lokal edarkan sehubungan dengan departemen kementerian yang mengacu pada pakar bahasa Prancis untuk mengawasi perubahan tersebut. Mereka juga mengusulkan untuk menempatkan nama ‘Israel’ dan bukannya Palestina dalam buku geografi sekolah untuk tahun pertama sekolah menengah,yang kemudian diputuskan oleh pemerintah untuk menarik buku tersebut setelah terjadi gelombang protes dan membuat mereka mengklaim bahwa telah terjad kesalahan dalam pencetakan! Sedangkan di Tunisia, menteri pendidikan baru-baru ini menyajikan strateginya untuk mereformasi pendidikan dan mengusulkan keringanan mata pelajaran sains seperti matematika, dan fisika untuk memberikan ruang yang cukup untuk mengajarkan musik dan tari di sekolah campuran dan lembaga pendidikan, sehingga siswa bisa merasakan kebahagiaan. Demikian pula, membaca buku-buku untuk tahun-tahun pertama di sekolah yang berisi teks dan gambar yang meniadakan rasa malu dan menimbulkan gelombang kebencian di antara orang tua.
Alhasil, setiap orang yang mencermati perubahan yang terjadi secara bersamaan di negara-negara Arab, akan dapat melihat bahwa tujuan dari proses “reformasi pendidikan” tidak seperti yang mereka klaim demi mengembangkan kurikulum dan meningkatkan tingkat intelektual dan pengetahuan mereka pada diri siswa. Sebaliknya, hal tersebut hanya menunjukkan proses perubahan secara fundamental terhadap konsep kurikulum yang didasarkan dan dibangun di atas yang memerintahkan untuk menargetkan agama, nilai-nilai, sejarah dan hukum syara’. Hal inilah yang dimaksudkan dengan melenyapkan identitas Islam. Masalahnya bukan terletak pada penggantian beberapa istilah yang menghasut sensitivitas atau memprovokasi dari hukum-hukum syariah. Sebaliknya, itu adalah sekularisasi secara menyeluruh terhadap program pendidikan sehingga generasi kita dihancurkan, secara intelektual dan dalam hal peradaban dan pengetahuan, di mana mereka tidak lagi memiliki manfaat apapun sehubungan dengan agamanya atau dalam hal pengetahuan.
Cara kita menggambarkan perubahan kurikulum tidak berarti bahwa mereka, pada dasarnya. berada pada kondisi yang baik dan bebas dari korupsi. Hal itu dikarenakan masalah sekulerisasi kurikulum termasuk dalam rencana kolonial Barat pada saat runtuhnya negara Khilafah Utsmaniyah dan pendudukan Perancis dan Inggris di wilayah Afrika utara seperti Maroko, Aljazair dan Tunisia hingga ke Mesir. Hal tersebut kemudian diikuti oleh penjajahan Amerika dalam bidang militer dan budaya, seperti yang telah disadari direktur pendidikan George Hardy di Maroko selama periode kolonial ketika ia berkata:. “Kemenangan militer tidak berarti kemenangan sempurna. Pasukan dapat membangun kerajaan, tetapi hal itu tidak menjamin kelangsungan dan keabadiannya. Mereka tunduk di hadapan meriam sementara hati mereka terus dipenuhi kebencian dan keinginan untuk membalas dendam. Sehingga perlu untuk menundukkan jiwa mereka setelah kita menundukkan raga mereka. meskipun tugas ini tidak seriuh tugas yang lain, hal itu tetap sulit dicapai dan dalam sebagian besar keadaan, itu membutuhkan waktu yang lama (untuk tercapai) “.
Sejak saat itu telah ada kampanye sekulerisasi yang berturut-turut terhadap negeri-negeri muslim dan mereka menggunakan pendidikan sebagai senjata budaya untuk menghancurkan benteng ummat dari dalam. Seruan orientalisme, misionaris dan westernisasi mendominasi atas kurikulum pendidikan dan mulai disertai dengan promosi aqidah (keyakinan) pemisahan agama dari kehidupan (sekulerisme). Mereka mengikat istilah sekularisasi (‘ilmaaniyah’ dalam bahasa Arab) dengan kata ‘ilm’ (pengetahuan) dalam bahasa arab sebagai terjemahan untuk kata ‘sekularisme’ dalam bahasa Inggris yang tidak terhubung ke kata ‘pengetahuan’ dalam kamus mereka. Sebaliknya, hal itu adalah perwujudan dari ide yang komprehensif tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan yang diadopsi oleh barat.
Pada saat itu pendudukan Eropa berusaha untuk menunjuk direksi pendidikan asing dari Perancis dan Inggris di sekolah-sekolah Mesir, Aljazair dan Maroko, untuk mengawasi dan mengelola proses pendidikan secara langsung dan untuk mempersiapkan kemampuan lokal dalam program mahasiswa asing yang nantinya akan menghasilkan orang-orang yang dianggap sebagai pelopor reformasi pendidikan. Seperti halnya reformasi yang dilakukan Muhammad Ali Pasha di Mesir dan mahasiswa asing yang ia kirim, di mana jumlah siswa yang dikirim ke Eropa mencapai 319 orang. Teladan dan blueprint mereka yaitu Tahtawi Rifaat, seorang penulis buku: “The Extraction of Gold or an Overview of Paris”. Setelah kembali dari Perancis, ia menulis dan memuji kehidupan Perancis di semua elemen, termasuk cara berpikir mereka, pendidikan dan cara individu berinteraksi dengan satu sama lain. Dan seperti yang Lord Cromer ilustrasikan dalam kaitannya dengan infiltrasi intelektual terhadap pemikiran melalui program-program mahasiswa asing yang tidak signifikan ketika ia berkata: “Para pemuda yang menerima pendidikan mereka di Inggris dan Eropa kehilangan keterikatan mereka pada budaya dan spiritual daerah asal mereka, sementara pada saat yang sama mereka tidak tergolong kepada negeri yang membentuk budaya mereka. Dengan demikian, mereka terbelah di tengah. Terkoyak (identitasnya)”.
Muhammad Ali dan keluarganya bekerja untuk menguasai pendidikan sipil dan mengesampingkan pendidikan Azhar serta menghapusnya. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk membuat Mesir menjadi bagian dari Eropa seperti yang anaknya, Ismail, biasa katakan dan ia yakin bahwa perubahan tidak akan terjadi kecuali pendidikan yang dijadikan kebarat-baratan.
Penyebaran yang menular dari perubahan kurikulum telah mencapai banyak negeri-negeri muslim, termasuk Tunisia di tangan generasi muda yang telah dididik di universitas Perancis yang penuh dengan budaya barat yang sekuler. Yang memimpin mereka adalah Bourguiba, Presiden Tunisia yang membawa ilusi kemerdekaan. Ia dianggap sebagai anak dari seorang berkebangsaan Perancis dan ia secara khusus dipengaruhi oleh Mustafa Kemal, yang telah meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah. Sejak saat ia menjabat sebagai penguasa, ia bekerja dengan sengaja untuk men-sekuler-kan kurikulum pendidikan dengan judul besar “Modernisasi Pendidikan”. Ia tidak membutuhkan lembaga Universitas Zaitouna dan menganggapnya sebagai “lembaga tradisional yang tidak menyediakan selain pendidikan tradisional yang berfokus pada dasar agama”, menurut dia. Dan transformasi dari universitas Zaitouna yang relijius dan memiliki akar yang kuat dalam sejarah masyarakat Islam, menjadi fakultas yang hanya mengajarkan ilmu Syari’at dan Ushuluddin, pada format modern, menyerahkan kurikulum dan program kepada otoritas negara modern. Tujuannya adalah untuk mengecualikannya dari partisipasi politik dan budaya sementara mempertimbangkan bahwa kelompok tradisional yang muncul dari az-zaitounah (yaitu pendidikan agama) terkilir oleh celah sejarah yang mendalam dari revolusi pengetahuan dan reformasi yang belum diarahkan untuk menghasilkan pikiran kreatif dan keterampilan dalam bidang industri. Hal tersebut hanya diterjemahkan sebagai upaya untuk menghapus budaya Islam Arab secara bersih oleh negara, dimana Bourguiba akan selalu menunjukkan penghinaan terhadapnya dan dianggap sebagai penyebab keterbelakangan.
Sedangkan pada kasus Maroko dan Aljazair, penjajah Perancis berusaha untuk merusak bahasa Arab, memeranginya, serta mengadopsi bahasa Perancis dari tingkat sekolah dasar. Kebijakan berbahaya Prancis mampu membentuk sekelompok budayawan yang terpisah dari masyarakat mereka, mencemooh umat, tergabung ke dalam peradaban Eropa, mengadopsi kewarganegaraan Perancis dan membela Perancis sampai mati. Terutama dari awal abad ke-20, dimana kunci untuk perubahan berada di tangan mereka dan yang mereka inginkan untuk perubahan ini yaitu untuk meninggalkan efek yang merusak dalam generasi. Akibatnya, upaya untuk me-westernisasi pendidikan diwakili oleh titik awal dan tujuan mereka.
Gereja juga mengawasi sebagian besar sektor pendidikan di wilayah Mediterania di mana gubernur Perancis pada saat itu, Laksamana De Gueydon, mengeluarkan perintah di tahun 1871 kepada ‘White Fathers’ (anggota organisasi misionaris Perancis) dengan mengatakan: “Jika Anda telah berusaha untuk membuat kecenderungan masyarakat melalui pendidikan dan anda mengarahkan mereka kepada hal yang baik, maka Anda, dengan upaya ini, telah meberikan dukungan yang luar biasa kepada Perancis. Maka lanjutkan upaya Anda dengan kelihaian, kebijaksanaan dan hati-hati, lalu Anda akan memiliki dukungan dari saya dan Anda dapat sepenuhnya bergantung pada kita “.
Upaya di Libanon dan Suriah untuk men-sekuler-kan kurikulum adalah upaya yang fokus dan kuat. Seperti halnya orientalis Arab yang berusaha mempengaruhi kebijakan pendidikan dan terutama karena mereka unggul dalam bahasa Arab. Sehingga mereka mendistorsi sejarah Islam yang bercahaya dan mengubahnya menjadi sebuah sejarah kerajaan yang represif. Mereka juga menaruh perhatian pada bahasa Arab dan meneliti secara mendalam terjemahan puisi Perancis, prosa dan teks, yang berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai Barat tentang kebahagiaan, manusia, dan kehidupan.
Krisis yang terjadi di dalam perang melawan kurikulum pendidikan meningkat ketika Amerika memasuki negeri-negeri muslim. Kampanye, konferensi dan seminar berlangsung satu demi satu yang berkaitan dengan masalah sekulerisasi kurikulum dalam dunia Islam, khususnya di wilayah timur tengah dan Teluk Arab. Mereka menjadi bagian dari perang melawan “terorisme” demi menghapus citra negatif terhadap America, entitas Yahudi dan dunia barat pada umumnya. Pernyataan tersebut telah tertulis dengan sangat jelas di dokumen Perjanjian Kamp David serta pada Perjanjian Oslo dan Madrid. Pada tahun 1979, hal-hal ini disebutkan dalam konstitusi organisasi “Islam dan Barat” yang diawasi oleh UNESCO dan dipimpin oleh Lord Caradon: Para penyusun buku sekolah seharusnya tidak menghakimi nilai-nilai baik secara eksplisit maupun implisit, karena hal itu tidak tepat dilakukan oleh mereka, yaitu menjadikan agama sebagai kriteria atau tujuan.
Laporan berturut-turut telah disiapkan oleh sekelompok pengamat politik Amerika seperti No.19 group atau Rand Corporation dan lembaga AIPAC. Mereka telah menyajikan sejumlah studi dan rekomendasi yang diangkat ke badan keamanan nasional AS dan beberapa kepada Presiden secara langsung. Pada beberapa laporan itu menyatakan: “Tujuan dari kampanye Amerika melawan terorisme” dapat menyebabkan kontrol atas generasi yang akan datang untuk jangka waktu sepuluh tahun dan hal ini dapat menjadi obat penenang sementara Namun, mengubah kurikulum pendidikan mulai dari jenjang dasar adalah apa yang menjamin keberadaan generasi non-teroris “.
Akibatnya, tujuan dari agenda “sekulerisasi kurikulum” bukanlah menjadi hal yang baru dan fokus utama agenda tersebut terhadap ilmu pengetahuan tidaklah sebanyak fokus mereka terhadap agenda sekularisasi. Hal inilah yang telah menyebabkan banyak dari negeri-negeri Arab menempati tingkat pendidikan global yang rendah menurut laporan luar negeri AS tentang pendidikan di dunia Arab. Oleh karena itu tujuan dari semua fokus ini pada kurikulum tidak akan pernah membawa sebuah revolusi pengetahuan di negeri-negeri muslim, melainkan adalah untuk menyebarkan kebodohan, keterbelakangan dan memotong ikatan mereka dengan Islam.
Sebagai kesimpulan, kami menyajikan arahan yang paling besar atau instruksi terkait dengan sekularisasi kurikulum di dunia Arab:
- Membebaskan muatan kurikulum dari permusuhan ke negara-negara barat dan setiap dorongan untuk melakukan jihad melawan sekutu Amerika, orang-orang Yahudi dan negara barat pada umumnya.
- Membuat kurikulum agar cenderung kepada perdamaian dan toleransi
- Agar kurikulum dapat masuk ke dalam orbit budaya barat.
- Menghapus budaya Islam dan kepribadian Islam.
- Menormalisasikan hubungan umat muslim dengan entitas Yahudi melalui kurikulum dan mencegah memerangi mereka.
- Kurikulum yang fokus hanya pada menghafal informasi dan pengulangan tanpa kreativitas atau inovasi.
- alasan yang paling penting adalah bahwa pendidikan agama yang sesuai dengan Syariat adalah musuh nomor satu kebijakan Amerika dan Barat.
Namun, meskipun semua upaya-upaya internasional dan konspirasi global yang dilakukan terhadap kurikulum pendidikan di dunia Islam dan yang telah diperpanjang selama satu abad, kebijakan Amerika, Perancis dan Inggris tidak mampu mencapai indikator keberhasilan sepenuhnya dalam rencana penjajahan mereka, dan juga mereka juga tidak mampu menguasai seluruh generasi muslim dan mewarnai mereka dengan budaya barat. Hal itu dikarenakan apa yang kita saksikan hari ini adalah umat semakin bergerak menuju saat-saat dilangsungkannya kembali kehidupan Islam melalui pembentukan Khilafah (kekhalifahan) di atas metodologi kenabian, mencerminkan kekuatan aqidah dalam pikiran masyarakat dan hati mereka. Serta bahwa perubahan yang diusung oleh para pejuang kebangkitan menunjukkan bahwa umat menginginkan perubahan fundamental terhadap neraca kekuasaan di dunia dan pemulihan kekuasaan Islam. Di samping itu, kaum muslimin memahami dengan baik dahsyatnya kejahatan yang ditimpakan kepada mereka oleh orang lain dan karena itu mereka terus bergerak untuk mencapai sebuah revolusi intelektual dan ideologis, di mana hal tersebut akan menghasilkan pengetahuan dan revolusi industri. Mereka tidak pernah bersandar kepada kurikulum ini karena ia adalah produksi barat yang tidak akan memberikan kebaikan atau keberhasilan bagi mereka. Adapun islam akan tetap bersemayam dalam diri mereka dan itu dikarenakan Al-Qur’an masih berada di antara mereka. Selama mereka berpegang teguh pada hal itu, mereka tidak akan pernah tersesat selamanya.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir
Nisreen Buzhafri