Pendidikan dan Perannya dalam Penghancuran Khilafah
Negara-negara Eropa khususnya Inggris, Perancis, dan Amerika berhasil menghancur-leburkan negara Khilafah Turki Usmani, setelah negara-negara kafir tersebut bersepakat untuk menghapuskannya dari Islam kemudian membagi negeri-negeri muslim, dan menjalankan strateginya dengan beberapa cara: diantaranya adalah dengan pendidikan yang merupkan salah satu pintu yang akan berlangsung bertahun-tahun, melalui invasi misionaris, peradaban atas nama ilmu pengetahuan. Mereka telah merancang strategi tersebut dengan anggaran yang besar serta mengerahkannya dengan pasukan dari kalangan misionaris, orientalis, intelektual, pendeta, serta menjadikn Istanbul dan Beirut sebagai dua markaz utama pemimpin mereka, tidak lama kemudian mereka melibatkan Kairo dan negara-negara di Afrika Utara. Meskipun adanya variasi arah politik Eropa dan Amerika sebagai kepentingan mereka skala internasional, akan tetapi mereka tetap konsisten pada tujuan, yaitu dengan mengirim peradaban Barat di wilayah Timur serta membuat ragu terhadap kaum muslimin atas agamanaya, menanamkan kebencian terhadap agamanya dan merendahkan sejarahya.
Intensitas aktivitas gerakan misionaris semakin kuat, terutama setelah pembentukan Pusat misionaris Beirut tahun 1820 M., dan misionaris Amerika ‘Eli Smith semakin aktif terlihat seperti yang bekerja sebagai relawan dan mengawasi pers yang di Malta, ia dan istrinya membuka sekolah bagi perempuan di Beirut dan mencukupkan hidupnya untuk bekerja di Beirut dan negeri syam pada umumnya. Sungguh gerakan misionaris tersebut berkerjasama dengan gerakan pendidikan secara nyata, dengan fokus pada bahasa Arab yang terpisah dengan al-Quran. Maka pintu masuk yang lebar untuk kembali dengan bahasa Arab dijadikan perioritas utama, dengan memparkan literatur sastra lama serta menerbitkan buku-buku dan tulisan-tulisan karangan Barat, yang memiliki peran besar dalam merubah masyarakat agar berkiblat kepada Barat dan pemikirannya, untuk itu mereka merekrut seorang nasrani yang bernama “Nassif Yazji” dan “ayah Louis Shehu” untuk mengontrol orang-orang yang ada di markaz Bairut yang bertujuan untuk mengembalikan aqidah islamiyah dan pemikira-pemikirannya, sampai pada tataran hasil yang sangat mengerikan dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menghilangkan jejak Islam, termasuk dalam berbagai interaksi, transaksi, cara hidup serta menghancurkan Daulah Islamiyah. Kemudian orang-orang sosialis membuka sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bagi mereka, seperti perguruan tinggi yang terkenal di University of Joseph Jesuit, juga membuka American prostestan College tahun 1866 M. Sekarang dikenal dengan Universitas Amerika di Beirut yang melakukan kampanye paling buruk dengan mendistorsi terhadap ide Islam dan sejarah kamu muslimin…..demikian juga hal tersebut terjadi di negeri Syam termasuk Suriah dan Palestina, yang diprovokasi oleh Ibrahim Pasha serta pengaruh dan ambisius Prancis, setelah itu mereka membuka pintu lebar bagi para misionaris dan menemukan Perancis, Inggris serta Amerika menyambut hangat dari pemerintahannya, membuat mereka berkeliaran dalam negara dengan pembukaan sekolah dan percetakan buku dan diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul “sains dan budaya”…
Adapun Pusat Istanbul, sangat dekat dengan Tsaqofah Islamiyah, melalui gerakan pendidikan yang jauh dari pengawasan negara karena tidak tunduk pada Departemen Awqaf Ottoman, setelah itu mereka mendirikan sekolah dan perguruan tinggi dengan menyelundupkan percetakan missi misionaris serta membuat ragu terhadap ide-ide dan hukum Islam. Di sisi lain, lahirnya undang-undang reformasi dalam kurikulum pendidikan Ottoman sesuai dengan perkembangan ilmiah di Eropa, dijadikan sebagai pintu untuk mengirim delegasi keluar negeri dari kalangan mahasiswa Muslim ke Perancis, Inggris, agar mereka terpengruh dengan kehidupan Barat dan cara pandang meterialistik serta pola hidup, yang akan mendorong mereka untuk melakukan reformasi pendidikan di setiap daerah dalam negara.
Pada tahun 1876 M, muncullah undang-undang yang menetapkan bahwa pendidikan dasar wajib bagi setiap anak dalam negara, serta mengeratiskan beaya pendidikan. Sejak tahun 1879 M, muncullah sekolah sekuler bersama dengan sekolah agama yang dikepalai oleh para ilmuwan, kemudian Daulah Utsmaniyyah bertanggung jawab kepada non-Muslim untuk memberikan hak nya dalam aspek pendidikan, hingga terbentulah sebuah sekolah untuk berbagai agama yang berbeda, yaitu, sekolah yang didirikan komunitas agama selain Islam yang tunduk pada negara.
Selesailah pembukaan sekolah-sekolah misionaris dengan misi kristenisasi AS, Austria, Perancis, Inggris, Jerman, Italia, kemudin dibukalah di sejumlah Kota-Kota besar wilayah Ottoman, sungguh Daulah Utsmaniyyah semakin lemah dengan banyaknya sekolah-sekolah dan tidak bisa mengotrolnya, sehingga sekolah-sekolah tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam meruntuhkan Khilafah.
Misionaris Zuwmar mengatakan kepada teman-temanya dalam konferensi yang diselenggarakan di Al-Quds Islamiyah “wahai saudara-saudara sekalian sungguh dalam periode ini , yang dimulai sepertiga dari abad -19 sampai sekarang, kami telah menguasai program pendidikan di wilayah kekuasaan Islam … terima kasih kepada saudara-saudara sekalian, kalian telah menyiapkan generasi yang tidak lagi menyadari adanya hubungannya kepada Allah, tidak ingin mengetahuinya, serta mengeluarkan orang Islam dari keislamanny”.
Untuk menguasai pemerintahan di Turki, Mustafa Kemal menciptakan resafel pada kurikulum pendidikan, yang masih loyal terhadap syariah Islam dan bahasa Arab, kemudian dihapuslah pendidikan agama, memerangi cendekiawan Muslim, serta merubah huruf-huruf latin dengan bahasa Arab, penerapan kebijakan sekularisasi dalam negara, perundang-undangan, pendidikan dan kekuatan senjata dan besi.
Sementara di Mesir, Muhammad Ali Pasha melakukan kampanye melawan pendidikan agama setelah menguasai pemerintahan di Mesir pada tahun 1805 M- 1842 M. dan mengeluarkan diri dari Daulah Utsmaniyah, kemudian menggabungkan diri ke Prancis secara kenegaraan dan perpolitikan dengan terbuka , setelah itu ia merebut Palestina, Lebanon, Suriah, berjalan menuju Anatolia; dalam perjalanan tersebut, diabaikanlah pendidikan di-Azhar, dan beberapa kuttab. Karena hal tersebut diluar lingkup perhatiannya, dan yang menjadi perhatian utamanya adalah system pendidikan baru untuk membentuk pasukan kuat yang akan digunakan untuk memerangi Daulah Utsmaniyyah sebagai perioritas.
Pada saat itu diangkatlah para Direktur pendidikan asing dari orang-orang Perancis dan Inggris bagi sekolah-sekolah Mesir untuk mengontrol proses pendidikan secara langsung, dan menyiapan kompetensi lokal dalam misi luar negeri yang akan digunakannya dengan memandu reformasi pendidikan, di mana jumlah siswa yang mereka delegsikan ke Eropa pada saat itu berjumlah 319 mahasiswa (sebagai contoh dari mereka adalah Rifaah at-Tahthawi pengarang buku “Takhlish al-Ibriiz fii Talkhis Baariz” yang di tulis setelah kembalinya dari Prancis dan kehidupannya di perancis memperluas metode berfikir, pendidikan serta interaksi diantara individu)” dan senada dengan apa yang telah digambarkan oleh Lord Cromr tentang terobosan intelektual seperti misi ini, ketika ia berkata,” Sesungguhnya pendekatan agama adalah dengan mereka menimbah ilmu di Inggris dan Eropa, maka mereka akan kehilangan hubungannya secara intelektual dan spiritual dengan tanah kelahiran mereka, selanjutnya pada saat yang sama mereka tidak akan mampu memberikan loyalitasnya kepada negara yang memberikan ilmunya, kemudian mereka akan memilihnya ditengah-tengah perpecahan”.
Muhammad Ali Pasha dan keluarganya mulai menghimpun pendidikan sipil juga memarginalisasi pendidikan al-Azhar dan menjauhinya, dengan tujuan utama melalui kebijakan ini adalah dengan membuat agar Mesir menjadi bagian dari Eropa sebagaimana yang dikatakaan anaknya Ismail, ia meyakini bahwa perubahan ini tidak akan berhasil kecuali dengan meng-asing-kan pendidikan.
Sunggguh terngianglah generasi Mesir setelah itu, membawa obornya dan memimpin perang sekularisasi dan permusuhan terhadap tsaqofah islamiyah dengan mengatasnamakan evolusi, sains dan menjaga waktu, terutama setelah menggabungkan/mencampur-adukkan antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, serta mengikuti kurikulum yang sudah terpengaruh dengan peradaban Barat, baik dalam bidang sains, seni, sastra, sejarah, dan bahasa.
Tidak hanya berhenti sampai pada kurikulum Cromr dan Danlub saja, akan tetapi ending pemikiran Barat tersebut tidak mengurangi keinginan keduaanya dalam mewarnai Mesir di dunia Islam dengan corak keagamaan Barat, seperti pemikiran Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani memiliki peran besar dalam mempengaruhi pendidikan di Mesir, dengan jelasnya keterpengaruhan keduaanya terhadap Tasqofah Barat dan Inggris khususnya. Sebagaimana penulis Mesir “Qasim Amin” pengarang buku“ Tahrir Al-Mar’ah” dengan dukungan“ Muhammad Abduh” terutama setelah ia melakukan perjalanan dalam misi studi ke Perancis dan bergabung dengan Universitas Montpellier, setelah itu kembali ke Mesir di 1885 M. dalam kondisi sudah penuh dijejali dengan pemikiran Barat, dengan mendistorsi pemahaman hijab, poligami, perceraian, warisan, sebagaimana dalam tulisannya, buku-buku karanganya, beberpa artikelnya dalam surat kabar serta mentransfer pemikiran-pemikiran Barat dan ide kebebasan secara mutlak. kemudian Taha Hussein dan Thofa As-Sayyid setelahnya seorang pembisnis besar dalam mentransfer ide-ide sekuler, manifestasinya, serta mempromosikannya. Demikian juga Ali As-sya’raawi istri Huda As-Aya’raawi dan masih banyak lagi selain mereka.
Sebagaimana terpengaruhnya Ibrahim Pasha, sebagai percobaan Muhammad Ali Pasha, kemudian ia bertopang pada pencetusan perubahan program pendidikan di dua wilayah yaitu Suriah, Lebanon, yang terinspirasi dari program pendidikan di Mesir yang diambil dari program pendidikan Perancis, ini dijadikan sebagai kesempatan emas oleh para misionaris untuk mengambil bagian dalam pergerakan pendidikan secara nyata di negara Syam.
Demikian ini, terdapat perbedaan yang sangat besar antara evolusi pendidikan sipil dibandingkan dengan kentalnya pendidikan agama di Daulah Ottoman, melalui mengabaikan ilmu syari’ah, para kuttab, beberapa universitas lama seprti Al-Azhar, Az-Zaitun serta membatasi peran mereka dalam pendidikan agama. Adapun para delegasi yang dikirim keluar adalah yang tidak memiliki peran dalam lembaga negara karena hal itu merupakan efisiensi ilmiah yng mampu mengatur dan sejalan dengan evolusi. Pada Era Khedive Ismail telah mengeluarkan undang-undang tahun 1872 terutama dengan mengorganisir al-Azhar dan mereformasinya “dan menyatakannya dalam sebuah paragraphnya B, bahwa : ”bahwa pembatasan study diberikan kepada al-Azhar dengan 11 mata kuliah saja, yaitu : Fiqih, Ushuluddin, Tauhid, hadits, Tafsir, Nahwu, Shorf, Ma’aani, Bayaan, Badii’, dan ilmu manthiq”.
Saatnya, dimulai misi sekulerisasi yang berkesinambungan di negeri Islam, dengan menjadikan pendidikan sebagai senjata intelek untuk menghancurkan Benteng umat islam dari dalam, setelah itu mulailah seruan-seruan orientalis, misionaris, westernisasi membanjiri kurikulum pendidikan, serta mulai memasarkan doktrin sekuler (pemisahan agama dari kehidupan yang dikaitkan dengan istilah Science dalam memberikan doktrin keyakinan tersebut yang bertentangan dengan Islam. Hal ini merupakan bentuk penyesatan yang sangat besar dengan memberikan doktrin istilah “al-ilmaniyah” yang berasal dari kata bahasa Arab “al-‘Ilm” sebagaimana menerjemahkan kata sicularism dalam bahasa inggris dan yag tidak ada kaitananya dengan kata “al-‘ilm” dalam kamus mereka. Padahal istilah secularism adalah pemikiran menyeluruh tentang manusia, alam semesta dan hidup menurut Barat.
Doktrin sekularisasi tersebut berpindah di negeri-negeri Islam saat runtuhnya Khilafah , sementara Barat sendiri mengasingkan diri dari masyarakat, permusuhan yang bergejolak dalam diri mereka sendiri serta kedengkian yang melahap hati mereka hanya untuk Islam, serangan kuat yang terdapat pada umat serta penjajahan intelektual sangat varitif. Pada Konferensi misionaris Adnbruj, yang diselenggarakaan pada tahun 1910 M. Komite ketiga yang membahas aktifitas sekolah yang dilakukan para misionaris mengatakan: pendapat para duta Negara-negara besar yang ada di ibukota kesultanan Ottoman telah bersepakat bahwa lembaga pendidikan menengah yang didirikan oleh Eropa memiliki pengaruh untuk menyelesaikan masalah-masalah ke-Timur-an, yang mendominasi atas pengaruh aktifitas kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara Eropa secara keseluruhan….
Adapun di negara-negara Maroko-Afrika, maka penjajahan perancis berlindung secara langsung pada pendidikan dengan menganggapnya sebagai lahan subur untuk menaburkan Bibit tanaman francophone, dengan memerangi bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Perancis. Untuk menyempurnakan perbudakan bangsa Maroko tersebut, serta mencabutnya dari akar-akarnya yang berupa peradaban dan sejarah yang berkaitan dengan perluasan islam.
Jenderal al-lyuty yang secara umum berdomisili di Perancis, ketika berada di Maroko mengatakan disela-sela patrolinya yang terkenal pada tahun 1921 “bahwasanya Arab merupakan salah satu faktor penyebaran Islam, karena melalui bahasa ini akan dapat menyempurnakan pembelajaran al-Quran, Sementara kepentingan kita menuntut untuk mengembangkan Barbar diluar lingkup Islam”.
Maka pintu masuk Tsaqofah dan linguistik, dari perspektif penghapusan Tsaqofah Islam dan bahasa Arab, dengan menjadikan bahasa Prancis merupakan bahasa yang paling banyak dipelajari dari pada bahasa yang diajarkan disekolah, bahkan pengajaran bahasa ini adalah dengan makna البيداغوجي, ideologis yang menghubungkan Muslim dengan Perancis, melenyapkan kepribadian kaum muslimin serta loyalitas mereka, dan hal ini dikonfirmasi oleh George Hardy, Direktur pendidikan di Maroko selama fase kolonial di mana ia berkata, “Sedangkan untuk materi Umum yang akan mencakup pendidikan terapan, hal ini tentu saja kondisi bahasa Perancis, merupakan bahasa yang dengannya kami akan dapat mengikat sisws-siswa kami dengan Perancis, juga sejarah yang harus memberikan kepada mereka ide untuk kebesaran Prancis”.
Di Aljazair, sebagaimana dalam salah satu laporan Perancis (Komisi pinjaman luar biasa tahun 1847 M): “sungguh kami telah membiarkan sekolah berjatuhan dan memporak-porandakannya, saya telah mempadamkan lampu di sekitar kami, yakni bahwasanya kami telah merubah masyarakat Muslim menjadi masyarakat paling bodoh dan biadab akan terjadi padanya sebelum mereka mengetahui kita”.
Pada tingkat pendidikan yang berlaku di Aljazair sebelum pendudukan Perancis, seperti yang dinyatakan oleh “dechy” – penanggung jawab pendidikan umum di Aljazair – dengan mengatakan: “sekolah di Aljazair dan Kota dalam negeri, Bahkan terdapat di tengah-tengah suku itu dengan kesiapan yang baik, penuh dengan manuskrip. Di kota Aljazair terdapat sekolah di setiap masjid, pendidikan didalamnya gratis, dan pemberian gaji guru-gurunya diambil dari kas pemasukan masjid, dan di antara pengjarnya merupakan guru-guru professional yang memikat bangsa-bangsa arab untuk belajar kepadanya..”
Dengan demikian, tujuan penguasaan untuk menutup banyak sekolah-sekolah, mengusir para pengajar, memerangi bahasa Arab, mengeluarkan para pemuda dari lingkungan Islam berpendidikan menjadi lingkungan masyarakat yang bodoh, seperti pemberlakuan undang-undang pelarangan pembukaan sekolah-sekolah, mempersempit sekolah al-Qur’an dalam kerangka kebijakan merger dan sekularisasi. Menetapkan segala sesuatu yang memungkinkannya, dalam rangka strategis kolonial, sekiranaya mampu membentuk sekelompok dari bangsa Aljazair yang akan mempercayai ketokohan orang-orang Perancis, seperti Said al Fassi, Rabii’ Azzanaaty, Farhaat Abbas dan selain mereka yang telah memposting budaya Barat, mereka mengingkari bangsanya dan meleburkan dirinya pada peradaban Eropa melalui politik pendidikan.
Di Tunisia guru Prancis mulai berperan utama dalam bidang ini, untuk menonjolkan kelebihan peradaban Barat dan mengarahkan kepada generasi baru agar mencontoh orang-orang Eropa, melepaskan warisan mereka yang dalam pandangannyaa cenderung kepada bangsa yang semangat, dan ini memungkinkan Eropa dalam kelangsungan proyek kolonial dengan menisbtkan pada keawaman pada francophone, yang membentuk arena latar belakang Perancis dalam penjajahannya. Dan inilah yang dinyatakan secara eksplisit dari kalangan mengecoh orientalis Perancis “Jude fury” yang mengatakan, “Anda harus memanfaatkan semua sarana yang ada dalam kekuasaan kami untuk memerangi kemajuan Arab dan Islam”.
“Bourguiba” Kepala Tunisia setelah kemerdekaan pemberian, bersandar kepada sekulerisasi pendidikan secara jelas dan bertarget identifikasi Islam agar tumbuh sebagaimana yang ditentukan oleh jurnal Ahwaal as-syahkhsyiyah yang diterbitkannya. Yang diambil oleh “Mustafa Kemal sebagai satu-satunya model baginya”, dan tidak lebih buruk dari itu kecuali kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah negeri, yang dipenuhi untuk menikam dan meracuni apa saja yang ada keterkaitannya dengan Islam, sejarah, peradabanya, dihargai dengan nilai dan kebesara yang sampai derajat pada pengkultusan terhadap apa saja yang ada hubungannya dengan Eropa, sejarah dan peradabannya. Adapun Universitas Zaituniyyah yang dianggap sebagai University Islam pertama, yang dibangun dalam sejarah Islam telah ditargetkan Bourguiba secara langsung dan dijadikan “prestasinya” perdana pada pagi hari, yang memungkinkan bagi penguasa untuk menutup Zaituniyyah dengan sumber-sumber kepemilikannya sebagai dasar dalam penahanan, pemberhentian, menunjuk alumninya serta penghapusan pendidikan dan pengajaran didalamnya dengan alasan generalisasi kurikulum pendidikan. Maka tahun 1965M merupakan tahun “akhir realistas” untuk menyalakan obor zaituniyyah ke dunia serta memadamkan obor intelektualitas.
Demikianlah tujuan barat terhadap kurikulum pendidikan dan lingkupnya memiliki peran besar dalam menghancurkan Daulah Utsmaniyyah dan menguasai generasi kaum muslimin setelah hilangnya Daulah Utsmaniyah, yang terpisah dengan aqidah islamiyyah dan intrik jalan bangsa secara intelektual dan peradaban … dan senada dengan kesaksian salah seorang penyair Muslim di India, yang mengatakan, “kolonisasi lebih cerdas dari pada Firaun, yang menggunakan politik pembunuhan anak laki-laki, dan tidak membukakan kepada mereka sekolah dan perguruan tinggi akan tanpa mereka sadari sebagaimana yang dilakukan para kolonialis”.
Ditulis olah kantor media Pusat Hizbut Tahrir Nisreen Budhaarry