Countering Violent Extremism (CVE) and Countering Islamic Extremism (CIE), Dua Kebijakan yang Bertujuan untuk Mensekularkan Para Siswa Muslim di Barat
“Pemerintahan Trump ingin merubah dan memberi nama baru bagi program-program kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang didesain untuk menangkal semua ideologi yang mengandung kekerasan, agar dapat difokuskan semata-mata untuk menyerang kepada ekstremisme Islam, disampaikan oleh lima orang yang menerima informasi tersebut pada Reuters. Dikatakan oleh para narasumber Program kebijakan, “Countering Violent Extremism”(CVE) yang artinyai Menangkal ekstremisme yang mengandung kekerasan, akan dirubah menjadi “Countering Islamic Extremism”(CIE) yang artinya Menangkal Ekstremisme Islam” atau “Countering Radical Islamic Extremism,” yang artinya Menangkal Ekstremisme Islam Radikal”, dan tidak akan mentarget kelompok-kelompok seperti supremasi kulit putih yang juga melakukan pengeboman dan penembakan di Amerika Serikat” (http://mobile.reuters.com/article/idUSKBN15G5VO)
Minggu kedua kepresidenan Trump telah menunjukkan kepada kaum muslimin yang hidup di Barat, apa yang sebenarnya sudah mereka ketahui selama bertahun-tahun. Bahwa program kebijakan CVE merupakan kebijakan yang sejak awal telah ditujukan semata-mata kepada kaum muslimin dan secara spesifik betujuan untuk mensekularkan pemuda muslim yang tinggal di Barat. Program kebijakan CIE dari Trump telah menyatakan dengan jelas akan hal ini. Meskipun sebenarnya strategi kebijakan CVE selama masa pemerintahan Obama yang melibatkan FBI adalah untuk mentarget pemuda muslim dengan merekrut orang tua, para guru, praktisi kesehatan, pekerja sosial, pekerja muda yang bertujuan untuk memata-matai atas nama FBI dan pemerintah. FBI berharap bahwa Grup surveilan atau pengawas muslim atau yang dikenal dengan “komite berbagi tanggung jawab” akan menyerahkan pemuda muslim pada yang berwenang atas nama menangkal ekstremisme dan radikalisasi.
Menurut Asisten Presiden untuk keamanan dalam negeri dan menangkal terorisme, Lisa O. Monaco, jenis tingkah laku yang mereka harapkan untuk dilaporkan sangatlah halus. “sebagai contoh,orang tua melihat perubahan tingkah laku yang tiba-tiba pada anak-anaknya di rumah menjadi cenderung berkonfrontasi atau berargumen. Tokoh-tokoh agama yang mungkin melihat perselisilihan tentang perbedaan ideologi, para guru yang mungkin mendengar siswa menunjukkan ketertarikan untuk pergi ke zona konflik di luar negeri. Atau teman-teman yang mungkin memperhatikan adanya ketertarikan baru menonton atau menyebarkan material yang mengandung kekerasan.”
Pembuat kebijakan pemerintah pada pemerintahan Obama, para intelejen, dan otoritas kepolisian pada saat itu memiliki opini bahwa mereka berharap agar komunitas muslim di Amerika akan lebih kooperatif dalam membentuk jaringan mata-mata muslim dibanding rekannya di Inggris. Faktanya, implementasi dari upaya pencegahan di Inggris gagal tidak karuan dengan hanya 8,6% saja laporan yang berasal dari komunitas muslim. Sejumlah besar laporan berasal dari professional non muslim yang bekerja di antara pemuda muslim. Contoh dari fakta kooperasi yang demikian antara pihak berwenang dan komunitas muslim dapat dilihat di Dearborn, Michigan.
Menurut laporan berita (http://www.politico.eu/article/how-the-fbi-got-in-bed-with-americas-muslims/) departemen kepolisian, sebagai contoh, mengunjungi secara teratur 38 sekolah di Dearborn dan sejumlah besar masjid di sana, kepala polisi, Rod haddad, mensponsori program yang disebut dengan “stepping up”, yang meliputi upacara penghargaan tahunan bagi penduduk yang melaporkan kejahatan. Setidaknya hanya dua kali saja pelaporan terjadi dalam beberapa tahun terakhir, karena ketakutan terhadap pengaruh ISIL atau propaganda online pada anak-anak mereka, Haddad mengatakan, bapak-bapak muslim menyerahkan anak laki-laki mereka. Satu kasus lainnya, adalah siswa di sekolah menengah atas yang mayoritas siswanya muslim, melaporkan teman sebayanya yang bermasalah.
FBI juga mengembangkan website yang didesain untuk membentuk kesadaran tentang bahaya dari predator ekstremis yang menggunakan kekerasan di internet, yang meliputi input dari tokoh-tokoh komunitas, pengajar, dan siswa. Website ini disebut dengan, “Don’t Be A Puppet’ yang berarti jangan menjadi boneka yang bisa dipermainkan, yang ditujukan agar digunakan oleh para guru dan siswa untuk menolong FBI mencegah ekstremisme dengan kekerasan yang dilakukan oleh para pemuda.
Pemberian stereotip terhadap pemuda muslim oleh para guru dan juga penegakan hukum, memupuk ketidakpercayaan antara murid dan figure berwenang seperti guru, yang menjabat sebagai informan yang informal. Ahmed Mohamed yang membawa jam buatan sendiri ke sekolah, atau seorang guru yang menyebut siswa kelas 7 sebagai teroris karena melihat video “Bend It Like beckham” (video tentang wanita yang ingin menjadi pemain sepak bola) adalah dua contoh dari banyak korban yang lain. Dalam pemerintahan Turnbull Australia 2015-2016 pada saat ini berlanjut seperti pemerintahan sebelumnya untuk mentarget pemuda muslim di sekolah-sekolah. Menteri Michael Keenan, Menteri Asisten Perdana Menteri untuk Pendidikan dan Training, mengumumkan inisiatif baru sekolah pada bulan Februari 2016. Inisiatif baru sekolah bertujuan untuk menepatkan para guru sebagai kumpulan intelejen terhadap pemuda muslim atas nama mencegah para pemuda dari radikalisasi. Menurut pemerintah, hal ini “dilakukan dalam tiga langkah dukungan utama: memberikan pelatihan penyadaran pada staff sekolah yang terkait dalam memahami radikalisasi hingga ekstremisme yang menggunakan kekerasan, dukungan yang tepat, dan jalur rujukan.”
Paket penyadaran radikalisasi bertujuan untuk menyadarkan para guru tentang pengaduan indikasi radikalisasi, yang diharapkan bisa dilaporkan kepada polisi setiap bulan. Beberapa dari indikasi indikasi ini adalah: meningkatnya pengabdian kepada agama, perubahan signifikan pada penampilan luar, “statemen statemen tentang ketinggian moral’, atau mencari jawaban tentang keimanan dan identitas “dari jalan yang tidak pantas”. Insiden yang bisa dilaporkan termasuk: “graffiti di sekolah yang terkait dengan ekstremis atau organisasi teroris; “mengancam siswa lain karena mempraktekkan ajaran agama”; menulis atau men-share komentar rasial yang mengandung kekerasan dan ancaman” atau “kekhawatiran ditujukan ke sekolah sekolah, terkait dengan aktifitas mantan murid dimana saudara kandungnya masih datang ke sekolah tersebut.
Para guru diinstruksikan, “jika kalian menyadari tentang sebuah persoalan yang termasuk dalam keadaan seperti tersebut di atas, kalian harus melaporkan kepada keamanan sekolah dan nomer hotline khusus,” panduannya berbunyi “salinan dari semua insiden akan disediakan untuk polisi New South Wales paling tidak tiap bulan”. Lembar yang berbeda diberikan pada para guru untuk memperjelas bahwa “isu lokal, komunitas atau dunia bisa dan harus menjadi bagian dari berbagai diskusi yang normal di sekolah dan semua orang memiliki hak untuk mencari tau seluas-luasnya dan mendebat ide-ide dengan sikap yang toleran dan penuh penghormatan”. Tetapi tertulis “jika dukungan terhadap tingkah laku ekstremis ditunjukkan selama diskusi-diskusi ini kalian harus melaporkannya kepada kepala sekolah.
Studi kasus digunakan sebagai bagian dari pelatihan ini untuk mengobservasi orang orang yang potensial diadukan dengan indikasi radikalisasi, dimana indikasi konyol yang klise, menjadi prioritas di dalam daftar indikasi yang perlu diwaspadai. Satu studi kasus yang dilakukan kepada staf eksekutif adalah anak sekolah perempuan muslim berumur 15 tahun yang mengaku kepada gurunya bahwa murid perempuan tersebut telah ditunjuki video online yang mengandung kekerasan dari Suriah dan bahwa murid perempuan ini ingin pergi ke Suriah dan belajar “berperang” dalam rangka “menolong saudara laki laki dan perempuannya yang dibunuh”. Indikasi-indikasi lain yang dimasukkan dalam training para guru eksekutif dan staff disekolah, termasuk : absen latihan basket; tidak nampak bersosialisasi dengan kelompok kecil dari teman- teman dekatnya seperti sebelumnya; menghabiskan waktu lebih banyak sendirian.
Tidak perlu dikatakan lagi, berbagai macam studi kasus yang memalukan ini; penyederhanan dan penyusutan makna yang sangat tidak masuk akal tentang bagaimana mereka menggambarkan ‘radikalisasi’; dan justru hanya menyebabkan percepatan pertumbuhan pencitraan buruk tentang pemuda muslim yang sangat merusak masyarakat, tanpa diragukan akan mengarah kepada kecurigaan di sekolah sekolah. Hingga ‘absen dari latihan basket’ sampai bisa menjadi indikasi dari radikalisasi, -menunjukkan sejauh mana histeria yang dibimbing oleh pemerintah dan dibesar-besarkan oleh media- dibentuk di dalam pemikiran orang orang Australia. Pemerintah tidak mau tahu bahwa, kebijakan luar negerinya di negeri kaum muslimin yang merugikan, sering menjadi kekhawatiran kaum muslimin –tua ataupun muda- adalah. Hal ini adalah ciri lain rejimen training yang salah tempat ini. Jika, seperti yang ditakutkan, pemuda muslim mulai menjadi satu satunya target, karena telah dianggap radikal dengan alasan alasan tersebut, maka kebencian kepada kaum muslimin hanya akan semakin meningkat, tidak akan menurun.
Lapangan bermain sekolah, karenanya, sekarang telah dimasukkan dalam medan perang bagi pertarungan pemerintah melawan radikalisasi, mentarget bagian dari diri kita yang paling rentan dan tidak berdosa, yaitu anak-anak kita. Mariam adalah murid kelas 5 yang ditangkap di tengah baku tembak pertempuran ini dan ini adalah ceritanya. “Saat waktu makan siang, aku berlari kearah guru TK ku yang dulu dan aku berkata “Bu, lihatlah senjataku “(dengan gaya main-main). Aku meletakkan wortel di atas apel agar terlihat seperti sejata mainan. Guru tersebut berjalan mendekatiku, berdiri dan melihat ke bawah kepadaku dan berkata,”Beraninya kamu!” Dia membentak dan berteriak dan mengatakan lagi, “Beraninya kamu berbuat seperti itu? Jika saya menelfon polisi sekarang, kamu akan dapat masalah yang besar dan apa yang barusan kamu lakukan adalah aksi terorisme!” Guru tersebut mengatakan akan melaporkan kepada guru kelas 5 ku dan kemudian kepada wakil kepala sekolah dan kemudian mengatakan kepada ibuku apa yang sudah kulakukan. Aku mengatakan bahwa aku hanya bermain-main dan tidak tahu kesalahan apa yang aku lakukan. Guru tersebut mengatakan “Kamu melakukan sesuatu yang kurang ajar, duduk dan makan makan siangmu”. Setelah makan siang, guru tersebut mengatakan guru kelasku yang saat itu menyuruhku ke samping kelas setelah semua orang pulang ke rumah. Guruku mengatakan kepadaku, “Apa yang kamu lakukan pada waktu makan siang, tidak boleh kamu lakukan. Hal itu adalah aksi terorisme. Tetapi jangan khawatir kamu tidak akan mendapatkan masalah”. Sekolah seharusnya menjadi tempat dimana kemampuan belajar anak-anak ditingkatkan di lingkungan yang aman dan mendidik. Kaum muslimin telah menjadi bagian dari sistem pendidikan selama beberapa dekade dan memproduksi banyak individu yang telah berhasil meraih tujuannya melalui pendidikan dan berhasil dalam karir profesional mereka. Kita harus menolak upaya apapun untuk menjelek-jelekkan anak-anak kita serta kebijakan-kebijakan yang mungkin digunakan untuk mencapai hal ini.
Mentarget siswa muslim di sekolah-sekolah di seluruh Inggris dengan strategi pencegahan termasuk di dalamnya adalah “software surveilan big brother”. Software ini adalah bagian dari strategi jahat menangkal ekstremisme dengan “pencegahan” yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris, strategi yang telah memainkan peran utama kriminalisasi, margnalisasi, dan diskriminasi dari kaum muslimin di Inggris. Jauhnya jangkauan sungut dari strategi ini, telah menginfiltrasi kelas-kelas di negara ini, dengan guru-guru yang sekarang memiliki tugas sesuai dengan undang-undang, untuk memonitor anak-anak terkait dengan “indikasi ekstremisme” dan melaporkan mereka kepada polisi. Namun, mengidentifikasi ‘indikasi ekstremisme’ dalam bahasa pemerintahan Inggris adalah sinonim bagi berhati-hati terhadap indikasi “islamisasi”. Tahun 2016, Al Jazeera juga melaporkan tentang anak-anak sekolah di Inggris yang dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dari polisi dan mereka disebut sebagai saluran untuk mengekspresikan dukungan bagi Palestina. Al Jazeera mengutip, kasus anak sekolah laki-laki yang berumur 15 tahun yang ditanya dan dituduh memiliki pandangan seperti teroris, oleh polisi, karena membawa selebaran ke sekolah yang mempromosikan boikot “Israel’. Anak laki-laki tersebut diberitahu bahwa emblem “Free Palestine” adalah materi ekstremis dan tidak diperbolehkan membahas konflik tersebut di sekolah dengan teman-teman. Alex Kenny dari Perserikatan Guru Nasional menyatakan bahwa para guru bahkan disarankan oleh petugas PREVENT (pencegahan) untuk mengawasi anak-anak yang ikut demonstrasi melawan pengeboman Gaza.
Tujuan utama pemerintahan demokrasi sekuler -seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan pemerintahan negara negara Eropa- dalam menerapkan kebijakan dan meng-kriminalisasi pemuda muslim -melalui jaringan yang memata-matai komunitas-, adalah untuk memaksa mereka mengadopsi dan mempraktekkan Islam hanya yang bersifat pribadi dan sekuler, sebagai keimanan individual, dan sejajar dengan keimanan yang lain dan menempatkan agama sub ordinat terhadap sistem demokrasi sekular yang sedang berlaku saat ini. Sebagai hasilnya adalah dapat mengintegrasi pemuda dengan mengikutsertakan mereka dalam arus politik, olah raga, budaya, yang mengalihkan mereka jauh dari konsep-konsep keimanan Islam, dan aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar, mengadopsi konsep satu kesatuan umat dan berusaha mewujudkan kepentingan kepentingannya, Khilafah, jihad, memuhasabah penguasa, menawarkan jalan hidup Islam sebagai alternatif radikal terhadap sistem yang berlaku.
Karena itu, pertarungan untuk mengintegrasi pemuda muslim kedalam masyarakat liberal sekular Amerika telah gagal melalui argumentasi intelektual apapun, hanya mengandalkan kepada memaksakan dan mewajibkan. Telah jelas bahwa, dengan cara yang sama yang digunakan pemerintahan Barat dalam menjajah tanah-tanah kaum muslimim dan mencoba menghapus konsep pemerintahan Islam dan kesatuan kaum muslimin dibawah naungan Khilafah dari pemikiran kaum muslimin di wilayahnya, mereka juga menggunakan strategi yang sama terhadap anak-anak kaum muslimin di negeri mereka sendiri – yaitu menjajah pemikiran mereka dan memutuskan mereka dari budaya dan sejarah Islam yang berharga. Lord Curzon, sekretaris luar negeri Inggris tahun 1919-1924 pernah mengatakan, “Kita harus menghentikan apapun yang bisa membawa persatuan Islam dalam bentuk apapun di antara anak-anak kaum muslimin. Karena kita sudah berhasil mengakhiri kekhalifahan, Jadi kita harus memastikan bahwa tidak pernah terjadi lagi persatuan bagi kaum muslimin, apakah itu persatuan intelektual ataupun budaya.”
Pemerintahan di Barat pada saat ini, di Inggris seperti pemerintahan sebelumnya, jelas mengejar strategi yang sama yang disuarakan oleh Curzon, meskipun hal itu berarti merubah guru-guru dan murid-murid mereka menjadi informan, menstigmatisasi anak-anak muslim dan membuat sekolah mereka menjadi kepanjangan tangan dari badan intelijen untuk memata-matai anak-anak muda. Negara negara Barat sekarang mengemban cap sebagai totalitarian; negara surveilan yang mengontrol pemikiran, bahkan pemikiran anak-anak muda. Undang-undang anti terror yang keras menjadi sarana populer yang digunakan oleh pemerintah untuk membungkam perbedaan pendapat dalam aspek politik dan menhancurkan keyakinan terhadap ide-ide yang berbeda dengan ideologi atau narasi negara yang dominan. Semua ini dalam rangka untuk mencegah kebangkitan Khilafah, yang akan mengancam cengkraman penjajahan mereka dalam aspek politik dan ekonomi di dunia Islam. Hal ini lebih jauh lagi membuktikan bahwa di bawah demokrasi, ‘kebebasan berpendapat dan berkeyakinan’ hanya berlaku bagi mereka yang berfikir di dalam batasan-batasan dari kotak sekularisme mereka yang sempit. Dan di bawah pemerintahan Trump, hal ini akan menjadi semakin tampak jelas, eksplisit dan nyata bagi kaum muslimin di seluruh dunia untuk melihatnya.
Ditulis Untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh
Tsuroyya Amal Yasna