Melanjutkan Agenda Perjuangan Umat: Mewujudkan Kepemimpinan Syar’i

[Al-Islam edisi 844, 20 Jumada al-Ula 1438 H – 17 Februari 2017 M]

Berbicara tentang kepemimpinan, sesungguhnya berbicara tentang dua hal: sosok pemimpin dan sistem kepemimpinan. Dalam konteks Islam, dua-duanya penting. Karena itu, selain umat Islam wajib memilih sosok pemimpin yang memenuhi syarat-syarat formal sesuai tuntutan syariah; penting dan wajib pula sosok pemimpin tersebut menerapkan sistem kepemimpinan yang juga sesuai syariah. Itulah yang dalam istilah politik Islam disebut dengan Imamah atau Khilafah.

Sosok Pemimpin Syar’i

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm menyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin (Imam/Khalifah) yaitu: (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa (balig); (4) berakal; (5) adil (tidak fasiq); (6) merdeka; (7) mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. (Lihat juga: Al-Islam, Ed. 842, 3/2/2017).

Syaikh an-Nabhani juga menyebutkan syarat tambahan—sebagai keutamaan, bukan keharusan—bagi seorang pemimpin, yakni: (1) mujtahid; (2) pemberani; (3) politikus ulung; (4) keturunan Quraisy.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkâr as-Siyâsiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yaitu: Pertama, berkepribadian kuat. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. Abu Dzar ra. pernah memohon kepada Rasululah untuk menjadi pejabat, namun Rasul saw. bersabda, “Abu Dzar, kamu adalah orang yang lemah, sementara jabatan ini adalah amanah, dan pada Hari Pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR Muslim).

Kedua, bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah saw., jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR Muslim).

Seorang pemimpin yang bertakwa akan selalu menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitor dirinya dan dia akan selalu takut kepada-Nya. Dengan demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap sewenang-wenang (zalim) kepada rakyat maupun abai terhadap urusan mereka. Khalifah Umar ra., kepala negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (meliputi Syria, Yordania, Libanon, Israel, dan Palestina), serta Mesir pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan di Irak terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku mengapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi jalan yang rata dan bagus).”(Zallum, idem).

Ketiga, memiliki sifat welas kasih. Ini diwujudkan secara konkret dengan sikap lembut dan bijak yang tidak menyulitkan rakyatnya. Dalam hal ini Rasulullah saw. pernah berdoa, “Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim).

Abu Musa al-Asy’ari r.a., saat diutus menjadi wali/gubernur di Yaman, menyatakan bahwa Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Gembirakanlah (rakyat) dan janganlah engkau hardik. Permudahlah mereka dan jangan engkau persulit (urusan mereka).” (HR al-Bukhari).

Keempat, jujur dan penuh perhatian. Ma’qil bin Yasar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum Muslim, lalu dia tidak serius mengurus mereka, dan tidak memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka dia tidak akan mencium harumnya aroma surga.” (HR Muslim).

Perhatian pemimpin tentu bukan sekadar dalam memenuhi kebutuhan fisik rakyat, tetapi juga kebutuhan ideologis agar mereka tetap di jalur kehidupan yang mengantarkan mereka menuju ridha Allah SWT sehingga mereka sukses dunia-akhirat.

Kelima, istiqamah memerintah dengan syariah. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal, saat diutus menjadi wali/gubernur Yaman, ditanya oleh Rasulullah saw., “Dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul saw. bertanya lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran)?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasululllah.” Rasul saw. bertanya sekali lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran maupun as-Sunnah)?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad.” Kemudian Rasulullah saw. berucap: “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah ke jalan yang disukai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Sistem Kepemimpinan Syar’i

Dalam pandangan Islam, sistem kepemimpinan yang syar’i adalah sistem kepemimpinan yang dibangun oleh Rasulullah saw. Dalam shirah nabawiyyah, berdasarkan riwayat-riwayat yang terpercaya, telah disebutkan informasi akurat mengenai bentuk dan stuktur sistem kepemimpinan yang dibangun Rasulullah saw. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Madinah menunjukkan bahwa beliau membangun negara, melakukan aktivitas kenegaraan serta meletakkan landasan teoretis bagi bentuk dan sistem pemerintahan yang maju. Bahkan di kemudian hari, sistem pemerintahan Islam, baik yang menyangkut aspek kelembagaan maupun hukum, banyak diadopsi dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan modern. Memang pada masa Rasulullah saw. sistem dan struktur kenegaraan belum dilembagakan dalam sebuah buku khusus. Namun, praktik kenegaraan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat adalah perwujudan nyata dari sistem pemerintahan Islam, yang berbeda dengan sistem pemerintahan manapun.

Pemerintahan Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw. meliputi asas negara, struktur, perangkat, mekanisme pemerintahan, serta kelengkapan-kelengkapan administratif. Pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip: kedaulatan di tangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat.

Kedaulatan (sovereignty) adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum. Islam telah menggariskan bahwa kedaulatan tertinggi untuk membuat hukum hanya di tangan Allah SWT semata. Manusia, termasuk Khalifah, tidak memiliki kewenangan dan hak sama sekali untuk membuat hukum. Khalifah hanya berkewajiban mengadopsi hukum yang digali oleh para mujtahid dari nash syariah melalui ijtihad yang benar, untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat.

Adapun kekuasaan adalah kewenangan untuk mengangkat kepala negara (khalifah). Kewenangan ini ada di tangan rakyat yang disalurkan melalui sebuah mekanisme yang bernama baiat. Dalam Islam, rakyat memiliki kewenangan mengangkat salah seorang di antara mereka untuk menjadi kepala negara yang akan mengatur urusan mereka dengan syariah Islam.

Daulah Islam dipimpin oleh seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan dan menegakkan hukum Islam di dalam negeri serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Oleh karena itu, aturan yang diberlakukan di dalam Daulah Islam adalah aturan Islam, yang terpancar dari akidah Islam, bukan aturan lain. Allah SWT berfirman:

]فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (QS an-Nisa’ [4]: 65).

 

Allah SWT pun berfirman:

]وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ[

Hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di tengah-tengah mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 49).

 

Allah SWT juga berfirman:

]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[

Siapa saja yang tidak menerapkan hukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang kafir (QS al-Maidah [5]: 44).

Atas dasar ini, seluruh perundang-undangan Daulah Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang lain yang ada di bawahnya, wajib berupa syariah Islam yang digali dari akidah Islam, yakni bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.

Dalam sejarah, nyata sekali bahwa Rasulullah saw. membangun Daulah Islam di Madinah al-Munawwarah berdasarkan akidah Islam dengan seluruh pilar dan strukturnya, termasuk membentuk pasukan/militer, menjalin hubungan ke dalam dan ke luar negeri, dll sesuai dengan tuntutan syariah Islam.

 

Khatimah

Dengan demikian, agenda umat saat ini adalah bagaimana mewujudkan kepemimpinan syar’i yang meliputi: sosok pemimpin syar’i dan sistem kepemimpinan syar’i. Kita berharap, hal ini bisa menjadi kesadaran dan opini umum kaum Muslim. Dengan itu aspirasi dan kecenderungan kaum Muslim tidak hanya sekadar memilih sosok pemimpin yang berkarakter sebagaimana disebutkan syarat-syarat dan kriterianya di atas. Lebih dari itu, mereka juga mau memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun Daulah Islam di Madinah, yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dalam wujud Khilafah ‘ala minhâj an-Nubuwwah.

Alhasil, keberadaan kepemimpinan Islam berupa Khilafah Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi. Khilafahlah yang sanggup menerapkan syariah Islam secara total (kâffah). Khilafah inilah sesungguhnya yang wajib terus diupayakan dan diperjuangkan oleh segenap komponen umat Islam agar segera terwujud di tengah-tengah mereka. WalLâhu al-Muwaffiq ilâ aqwam at-tharîq. []

 

 

Komentar al-Islam:

Menkeu Tegaskan Penerimaan Pajak dari Freeport Terjaga (Republika.co.id, 14/2/2017).

  1. Persoalan mendasarnya bukanlah Freeport membayar pajak ataukah tidak, tetapi bagaimana Pemerintah mengambil-alih sepenuhnya tambang emas yang dikuasai Freeport.
  2. Bukan hanya tambang emas yang dikuasai Freeport, semua sumberdaya alam di negeri ini haram dikuasai pihak asing.
  3. Menurut syariah Islam, tambang emas dan sumberdaya alam yang berlimpah adalah milik umum yang wajib dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah yang hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*