Oleh A. R. Zakarya – Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jombang
Presiden Joko Widodo mengumpulkan 37 Perwira Tinggi TNI dan Polri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/2). Perwira Tinggi yang dikumpulkan tersebut merupakan perwira yang akan mendapatkan kenaikan pangkat.”Presiden sebagai Panglima tertinggi TNI kita disahkan beliau untuk 37 orang ada yang naik bintang satu dan bintang dua,” kata Asdep II/VII Bidang Telekomunikasi dan Informatika Kemenko Polhukam Marsekal Pertama Sigit Priyono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/2).
Sigit menjelaskan, Presiden Jokowi memberikan arahan agar Perwira Tinggi TNI dan Polri tetap berkomitmen menjaga keutuhan NKRI. “Dan kita TNI mesti selalu berusaha dan akan mempertahankan NKRI ini sampai di akhir hayat,” ujarnya. (merdeka.com, 13/2/2017).
Ancaman Nyata
SDA Indonesia dikuasai Asing di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Utang luar negeri; hingga akhir November 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.485,36triliun.
Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Pratikno mengatakan hingga saat ini aset negara sekitar 70–80 persen telah dikuasai bangsa asing. “Kondisi bangsa kita saat ini sudah mengkhawatirkan sehingga tanpa dukungan dan kebijakan oleh semua elemen bangsa maka lambat laun seluruh aset akan jatuh ke tangan orang asing,” katanya saat membawakan arahan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Keluarga Alumni UGM (KAGAMA) menyambut pra Munas XII 2014 di Kendari. Ia mencontohkan, aset di bidang perbankan misalnya, bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen. Begitu pula di sektor lain seperti migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi antara 70 persen dan lebih parah lagi adalah pertambangan hasil emas dan tembaga yang dikuasai mencapai 80-85 persen. (antaranews.com, 10/11/2013). Ini artinya asing adalah ancaman nyata bagi Indonesia.
Beragam ancaman itulah yang juga direspon oleh Ulama’ dan Tokoh Peduli Bangsa yang mengadakan pertemuan nasional. Berikutnya disusul oleh Ustadzah dan Ummahat Peduli Bangsa yang mengadakan acara serupa. Jauh sebelum itu, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan bahwa Neo Liberalisme dan Neo-Imperialisme adalah ancaman nyata bagi Indonesia. Begitu pula ideologi selain Islam semisal sekularisme, kapitalisme, liberalisme, komunisme, disintegrasi, dan lainnya. Suara umat inilah yang seharusnya didengarkan oleh pemangku kebijakan dengan hati legowo dan nerimo.
Kebijakan Berbahaya
Tata aturan dan perundangan di Indonesia banyak yang pro asing, yang berarti juga pro neoliberal yang membahayakan Indonesia. Sejumlah UU yang berbahaya itu di antaranya: UU nomor 22 tahun 2011 tentang migas, UU nomor 4 tahun 2009 tentang minerba, UU nomor 25 tahun 2007 tentang PMA, dan UU nomor 7 tahun 2004 tentang SDA, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, yang menyebabkan modal asing mengusai kekayaan alam nasional di sektor migas (85-90%), kekayaan batubara(75%), mineral (89%), perkebunan (50%), dan lain-lain.
Instrumen perundangan yang salah dan berbahaya itu merupakan kegagalan sistem demokrasi dalam melindungi rakyat. Di tambah dengan serbuan dan hegemoni asing dalam sendi kehidupan. Sementara itu, meski Indonesia telah merdeka, penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Neo-imperialisme mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumber daya ekonomi negara melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, tapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka. Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan dan membuat kebijakan yang merugikan negara. Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Tak hanya itu, demokrasi gagal dalam membendung gerakan separatisme dan disintegrasi. Hal ini dibuktikan dengan lepasnya Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Begitu pula beberapa riak-riak di Papua, Aceh, dan beberapa wilayah yang rawan konflik perpecahan.
Membingkai dengan Syariah
Jika pemerintah serius ingin menjaga Indonesia seharusnya justru kebijakan-kebijakan yang berbahaya tadi segera dihapus. Tidak hanya itu, kebijakan itu pun adalah hasil produk sebuah sistem yang berbahaya yakni neoliberalisme. Dalam sistem neoliberalisme negara tidak berhak intervensi dalam ekonomi, bahkan negara justru mempersilahkan penguasaan aset negara oleh swasta baik itu domestik ataupun asing. Ini artinya justru melalui penerapan neoliberalisme negara ikut berperan menjadikan asing berkuasa atas Indonesia. Selain itu, pemerintah pun harus melepaskan diri dari jeratan lembaga-lembaga dunia yang notabene dipelopori dan dimotori oleh negara-negara barat imperialis. Dengan masih terus mengekor pada kebijakan mereka justru akan membawa Indonesia ke jurang kehancuran. Jika sudah begini maka tidak ada lagi yang mampu menjaga Indonesia dari segala ancaman yang membahayakan terutama dari negara-negara penjajah.
Islam sebagai sebuah ideologi yang sahih telah memberikan sejumlah aturan / sistem yang manjur untuk menjaga keutuhan negara. SDA adalah milik umum yang wajib dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Haram memberikannya kepada swasta apalagi swasta asing. Islam pun melarang adanya disintegrasi, karena Islam sangat menjunjung tinggi persatuan umat. Umat Islam diibaratkan laksana satu tubuh yang tak boleh saling terpisah antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan apabila di suatu tempat umat Islam tersakiti maka di tempat lain umat Islam pun merasakannya dan berupaya untuk menolongnya. Keseriusan pemerintah untuk menjaga negeri ini dari segala ancaman yang berbahaya bagi negara akan sempurna apabila mau menerapkan Islam sebagai sistem pemerintahan. Dan perlu diingat bahwa tidak ada sistem pemerintahan dalam ajaran Islam selain sistem Khilafah.[]