Freeport mengancam Jokowi akan membawa kasus pelarangan ekspor konsentrat (yang mengandung emas dan belasan mineral berharga lainnya) ke arbitrase internasional bila dalam 120 hari sejak 12 Januari 2017 tetap hanya mewajibkan mineral yang telah dimurnikan (dismelter) saja yang boleh diekspor.
“Mestinya pemerintah itu yang mengancam Freeport karena negara ini berdaulat dan mempunyai aturan. Karena aturan tersebut tidak bisa dipenuhi oleh Freeport maka dalam jangka waktu sekian, Freeport harus enyah dari Indonesia. Jadi jangan sebaliknya, malah negara yang diancam Freeport,” tegas Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Rokhmat S Labib kepada mediaumat.com, Rabu (22/2/2017).
Rokhmat juga mengingatkan, negara ini sedang dijajah, bukan hanya oleh negara asing tetapi juga oleh korporasi. Bukan hanya rakyat, pemerintah juga harus sadar, negeri ini sedang dijajah. Maka semua elemen bangsa harus bahu membahu melawan penjajahan ini.
“Dulu, para pahlawan dengan gagah berani melawan penjajahan. Sekarang kok hanya satu perusahaan Freeport saja pemerintah tunduk, itu namanya mengkhianati perjuangan para pahlawan,” ujarnya bila pemerintah menuruti maunya Freeport.
Menurut Rokhmat, kasus ini menjadi bukti bahwa liberalisme itu betul-betul menjadi pintu bagi penjajahan. Salah satu bentuk liberalisme adalah memberikan kesempatan kepada swasta atau pun asing untuk menguasai tambang yang depositnya besar. Maka, bila liberalisme tambang ini diberlakukan, yang dapat mengeksploitasinya adalah perusahaan-perusahaan besar yang memiliki modal besar, bahkan sampai negara pun bisa kalah.
Kalau liberalisasi ini terus diberlakukan, maka jangan harap kekayaan negara ini akan dinikmati rakyat banyak. Tapi sebaliknya, karena akan terus dieksploitasi, dirampok, dikeruk demi kepentingan asing. Ini yang terjadi. “Oleh karena itu, bangsa ini harus segera sadar, bahwa sumber persoalan negara ini adalah liberalisme dan imperialisme,” simpulnya.
Ia juga mempertanyakan keberpihakan kelompok-kelompok yang alergi terhadap syariah Islam. “Mana itu, suara-suara yang selama ini mengatakan NKRI harga mati? Mana itu suara-suara nasionalisme? Jelas-jelas perusahaan asing merongrong dan merampok kekayaan negara ini, tetapi mereka malah diam saja. Anehnya, suara-suara NKRI harga mati, nasionalisme disuarakan untuk melawan perjuangan penegakkan syariah Islam. Maka, mereka ini perlu diragukan, bukannya anti penjajahan tetapi sebenarnya anti syariah Islam,” kritiknya.
Padahal, lanjut Rokhmat, syariah Islam itu justru yang memberikan solusi untuk melawan penjajahan. Terkait pertambangan misalnya, dalam Islam pertambangan yang depositnya melimpah merupakan kepemilikan umum (milkiyah ammah). Wajib dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat —salah satunya dengan pendidikan dan kesehatan gratis. Haram hukumnya pengelolaan tambang yang melimpah tersebut diserahkan kepada swasta apalagi asing.
“Hukum Islam tersebut jelas dan tegas mencegah liberalisme dan imperialisme!” pungkasnya. (mediaumat.com, 22/2/2017)