Wahai Mahasiswa, Perubahan Itu Niscaya

mahasiswa-gp

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Anggota Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)

 

2017, tak ayal menjadi tahun resolutif bagi pergerakan mahasiswa. Momen aksi 121 pada 12 Januari lalu, menunjukkan bahwa mahasiswa masih ada. Entah itu mereka dalam kondisi tertatih atau terseok, disamping gempuran pemikiran asing dan liberal, nyatanya suara mereka masih cukup nyaring untuk menggaungkan perubahan.

Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi unjuk rasa secara serentak di 19 titik wilayah se-Indonesia. Titik aksinya meliputi: Aceh (DPRD Aceh dan DPRD Lhokseumawe), Padang (DPRD Sumbar), Riau (DPRD Riau), Jambi (DPRD Jambi), Palembang (DPRD Sumsel), Bengkulu (Simpang Lima), Lampung (Tugu Adipura), Bangka Belitung (DPRD Babel), Jakarta (Istana Negara), Bandung (Gedung Sate/DPRD Jabar), Yogyakarta (DPRD Yogyakarta), Semarang (Kantor Gubernur), Surabaya (DPRD Jatim dan Pemprov Jatim), Samarinda (DPRD Kaltim), Banjarmasin (DPRD Kalsel), Pontianak (DPRD Kalbar/Tugu Digulis), Mataram (DPRD NTB), Gorontalo (DPRD Provinsi dan Kabupaten Gorontalo), dan Merauke (DPRD Papua) [1].

Mereka membawa lima tuntutan atau pernyataan sikap terhadap kebijakan pemerintah. Yakni: (1) Menolak dengan tegas PP No. 60 Tahun 2016 dan menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk mencabut PP tersebut; (2) Menuntut Jokowi-JK untuk membuat kebijakan yang pro terhadap rakyat; (3) Mengecam keras pemerintah dan jajarannya yang saling “cuci tangan” dengan kebijakan yang dibuatnya; (4) Menuntut pemerintah untuk transparansi dan sosialisasi dalam setiap menentukan suatu kebijakan; (5) Menolak kenaikan tarif listrik golongan 900 VA dan mendesak dikembalikannya subsidi untuk tarif listrik golongan 900 VA [1]. Massa juga menuntut Presiden Joko Widodo mundur dari jabatannya jika tidak memenuhi tuntutan aksi [2].

 

Mahasiswa dan Kaum Muda, Aset Bangsa

Menilik aksi tersebut, kita dapat saksikan bahwa kapan pun dan di mana pun, kaum muda adalah variabel produktivitas. Karenanya, kita harus akui bahwa kaum muda adalah aset bangsa. Indonesia, sebagai negara berpenduduk ke-4 terbesar di dunia, saat ini penduduknya tengah berada dalam periode transisi struktur penduduk usia produktif. Indonesia akan mendapatkan ‘bonus demografi’ dalam kurun waktu 15 tahun ke depan. Maksud ‘bonus demografi’ itu adalah mayoritas penduduk Indonesia lebih banyak dipenuhi usia angkatan kerja. Artinya, pada rentang waktu 2010-2025, negara ini akan dipenuhi oleh usia produktif. Jika mereka adalah orang yang berpengetahuan, Indonesia akan menjadi negara maju.

Penduduk berjumlah besar dengan daya beli yang terus meningkat adalah pasar yang potensial. Ditambah kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang terus membaik, maka ini merupakan potensi daya saing yang luar biasa. Termasuk di dalamnya, peningkatan akses pendidikan tinggi bagi rentang usia 19-23 tahun dirasakan sangat penting. Meskipun dari 21 juta penduduk yang berusia 19-23 tahun tersebut, hanya sekitar 5,4 juta orang yang bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi. Yang mana, para pengakses pendidikan tinggi inilah yang kemudian disebut sebagai mahasiswa.

Sejenak berkaca melalui perkataan Umar bin Khaththab ra, khulafaur rosyidin ke-2. Beliau pernah berkata “Barang siapa ingin menggenggam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya”. Mahasiswa, sebagai kalangan berusia muda, maka modal terbesarnya adalah kekuatan fisik yang prima. Modal besar inilah yang diperhitungkan akan mengelevasi kesuksesan dengan percepatan yang bersifat eksponensial.

Kampus memang tempat mencetak generasi unggul. Keunggulan ini nampak pada anugerah akal yang Allah anugerahkan kepada mahasiswa. Melalui proses pendidikan, akal ini berkembang dan kemudian menjadikan mahasiswa berkapasitas sebagai pemikir (intelektual). Termasuk untuk berpikir tentang politik. Dimana definisi politik yang dimaksud berupa pengaturan urusan masyarakat. Ini terkait erat dengan potensi mahasiswa yang berperan besar sebagai pilar perubahan dan penjaga peradaban. Jika kemudaan usia mereka betul-betul berpadu dengan daya intelektualitasnya, pun dengan kekuatan pemikiran ideologis yang unggul dan luhur, ini akan sangat kuat korelasinya dengan kemajuan suatu bangsa.

 

Ibu Pertiwi Dijerat “The Invisible Hand

Mari kita sadari bersama, bahwa fenomena problem di masyarakat saat ini tidak sesuai antara idealitas dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan. Problem sosial terjadi di berbagai tempat. Ini terjadi karena adanya persoalan dalam struktur masyarakat dan sistemik. Ciri-ciri problem sosial adalah kuantitasnya banyak, sebarannya luas, faktor penyebabnya kompleks–sistemik–struktural, dan solusinya harus sistemik dengan pendekatan ideologis. Dengan ciri seperti ini maka problem sosial sering disebut juga problem sistemik atau problem struktural. Karena itu pula, selayaknya problem rakyat Indonesia dituntaskan dengan pendekatan sistemik ideologis.

Selanjutnya, mari tengok lebih dekat. Berdasarkan analisis kualitatif terhadap fenomena problem sosial rakyat Indonesia dan kebijakan yang diterapkan, maka tampak jelas bahwa sistem yang sedang diterapkan di Indonesia adalah sistem kapitalisme demokrasi. Sistem ini lahir dari sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan dan negara). Sekulerisme di bidang politik disebut demokrasi dan sekulerisme di bidang ekonomi disebut kapitalisme. Sementara, sekulerisme di bidang lainnya sering disebut liberalisme atau paham kebebasan. Demokrasi dan kapitalisme bagaikan dua sisi mata uang, saling terkait dan menguatkan.

Terbukti, di mana kapitalisme akan berjalan dan tumbuh subur di tengah iklim kebebasan yang membolehkan manusia memiliki apa pun dengan cara apapun, sekalipun harus mengeksploitasi, merampok dan menjarah, maka demokrasi-lah yang akan memberikan dan menjamin kebebasan itu. Dengan kata lain, demokrasi telah melahirkan kebebasan manusia memiliki apapun, tanpa batas.

Ironisnya, para penguasa dan wakil rakyat di Ibu Pertiwi ini adalah para pembuat undang-undang, peraturan dan kebijakan yang memberikan dukungan pada para pemilik modal (kapital) untuk mengeksploitasi potensi-potensi (termasuk SDA) di tanah air. Modus inilah yang menyebabkan problem sosial muncul dan akhirnya menyengsarakan rakyat.

Negara ini telah terperosok dalam sistem demokrasi-kapitalisme-liberal yang kini telah terderivasi menjadi turunannya yang paling mengerikan, yakni neoimperialisme dan neoliberalisme. Pada dua aspek inilah terdapat “The Invisible Hands”, dimana penjajahan itu tak kasat mata, namun nyata terasa. Bukti paling jelas di negeri adalah adanya kebijakan tentang serba impor, tapi di sisi lain segala aset negara malah dijual. Ini menunjukkan bahwa negara makin berlepas tangan dari perannya sebagai pengatur urusan rakyatnya.

Neoimperialisme adalah penjajahan model baru yang ditempuh oleh negara-negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dalam penjajahan model lama dikenal semangat gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory(kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misi Kristiani). Dalam penjajahan model baru saat ini, kepentingan ketiga (gospel) tidak begitu menonjol dan bergeser menjadi misi penyebaran ideologi sekularisme, demokrasi, kapitalisme dan liberalisme. Adapun kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) saat ini nyata sekali masih berjalan [3].

Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara di bidang ekonomi. Menurut paham neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu, swasta atau korporat (perusahaan). Neoliberalisme merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state atau negara korporat (korporatokrasi). Artinya, pengelolaan negara dikendalikan oleh korporat (perusahaan swasta/asing). Dalam negara korporat, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Akibatnya, keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan perusahaan swasta baik domestik maupun asing. Hubungan negara dengan rakyat dikelola layaknya hubungan perusahaan dengan konsumen, antara penjual dan pembeli. Rakyat pun diposisikan layaknya pembeli yang harus membeli kepada negara dan perusahaan yang menyediakan berbagai pelayanan kepada masyarakat [3].

Neoimperialisme dan neoliberalisme ini berdampak sangat buruk bagi kita semua. Di antaranya tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kerusakan moral, korupsi yang makin menjadi-jadi dan kriminalitas yang kian merajalela. Banyaknya pejabat dan anggota legislatif yang menjadi tersangka korupsi menjadi bukti sangat nyata perilaku mereka yang menghalalkan segala cara guna mengembalikan investasi politiknya. Eksploitasi sumberdaya alam di negeri ini secara brutal juga menunjukkan bagaimana para pemimpin negeri ini telah gelap mata dalam memperdagangkan kewenangannya. Mereka membiarkan kekayaan alam yang semestinya untuk kesejahteraan rakyat itu dihisap oleh perusahaan swasta maupun asing. Kenyataan buruk itu makin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang zalim [3].

 

Demokrasi, Menipu Aspirasi Rakyat

Demokrasi yang selama ini dipercaya sebagai sistem politik terbaik, yang akan mewadahi aspirasi rakyat, pada kenyataannya bohong belaka. Lahirnya UU-UU liberal, juga lembeknya Pemerintah di hadapan perusahaan-perusahaan swasta/asing adalah bukti nyata bahwa aspirasi rakyat diabaikan dan Pemerintah tunduk pada kekuatan para cukong di dalam dan luar negeri. Jadi, dalam demokrasi tidak ada yang namanya kedaulatan rakyat. Yang ada adalah kedaulatan para pemilik modal [3]. Sungguh menipu.

Gelombang demokratisasi di segala bidang pasca Reformasi, khususnya di bidang politik, telah memberikan kesempatan kepada kekuatan kapitalis global untuk makin menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Dengan kekuatan dana besarnya, mereka masuk dalam kontestasi politik di Indonesia. Harapannya, melalui orang-orang yang didukung, mereka bisa turut menentukan pemilihan pejabat publik dan memberikan arah kebijakan ke depan. Bagi politikus pragmatis, tak jadi soal menggadaikan kewenangan politik. Karena itu pasca Reformasi banyak sekali lahir kebijakan dan peraturan perundangan yang sangat liberal dan kental dipengaruhi oleh kepentingan asing [3]. Semua ini tentu tak sejalan dengan sabda Rasulullah ﷺ tentang peran penuh negara untuk menopang hajat hidup bangsa sebagai pihak yang diurusnya:

 

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 

Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

 

Terlebih, negara juga enggan menerapkan aturan yang mengkondisikan rakyatnya yang mayoritas muslim ini agar terikat pd aturan Allah Swt, Sang Pencipta. Di sinilah absennya sistem demokrasi, yang memang takkan mungkin mengakomodir keberadaan aturan Allah sebagai fungsi tata kelola negara, akibat landasan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi nafas bagi tegaknya sistem demokrasi-kapitalisme-liberal tersebut.

Karenanya kita butuh negara Khilafah. Dan sudah semestinya mahasiswa muslim juga turut memperjuangkannya. Khilafah adalah negara yang menerapkan aturan Allah secara kaffah. Bagaimana pun, sebagai makhluk ciptaan Allah, sudah selayaknya kita meyakini bahwa hanya aturan Allah saja yang tepat untuk mengatur hidup kita. Aturan buatan manusia, sebagaimana berbagai aturan dalam sistem demokrasi-kapitalisme-liberal itu, pasti dibuat hanya demi kepentingan terbaik bagi si pembuat aturan tersebut. Maka di sini kita harus pahami betul bahwa penegak aturan di suatu negara itu harus pemerintah yang mau menerapkan aturan Allah, aturan Islam. Firman Allah Swt dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 96:

 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

 

 

Wahai Mahasiswa!

Cukup sudah! Mahasiswa harus senantiasa menjadi agen perubahan. Kemudaan dirinya jangan dimaknai sebagai kalangan usia labil. Mereka harus menjadi kalangan dengan paradigma pikir yang berani beda. Memikirkan urusan masyarakat, adalah paradigma mutakhir dalam mewujudkan peradaban cemerlang.

Wahai mahasiswa, mari buka mata, bersihkan hati, dan jernihkan pikiran. Kapitalisme telah melahirkan kehancuran di hampir semua bidang kehidupan. Meskipun terdapat kemajuan pada bidang sains dan teknologi, namun secara moral, peradaban yang dibangun oleh ideologi kapitalisme terpuruk.

Wahai mahasiswa, saatnya berubah. Kita tidak boleh berdiam diri. Pendidikan tinggi yang kita tempuh adalah wujud intelektualitas yang potensial dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Ingat, perubahan itu hanya bisa ditempuh jika mahasiswa memiliki visi yang jelas dan langkah yang benar.

Wahai mahasiswa, kini problematika ada di depan mata. Sebagai sosok terpelajar, di tangan kita-lah terdapat sumber ilmu dan informasi menuju relevansi sosial. Maka selayaknya, kita pula yang senantiasa menjadi penyambung lidah antara penguasa dengan rakyat. Kita harus menjadi pribadi yang sadar dan mau bergerak untuk perubahan.

Wahai mahasiswa, mari kembalikan pengaturan negara ini secara sistemik sebagaimana hakikat manusia yang menjadi penduduknya. Bahwa negara ini tegak bukan semata demi kepentingan penguasa dan pengusaha, melainkan untuk mengakomodasi kehidupan layak bagi penduduknya. Dan bahwa penduduk negeri ini dapat bernyawa pun bukan dengan sulap, tapi mereka hidup karena dikehendaki Sang Pencipta. Jadi sudah selayaknya mereka diatur oleh negara yang menerapkan aturan dari-Nya.

Karenanya percayalah, bahwa perubahan itu niscaya. Firman Allah Swt:

 

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ

 

“…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11).

 

Pustaka:

[1] http://news.okezone.com/read/2017/01/11/337/1589264/besok-bem-seluruh-indonesia-gelar-aksi-121-serentak-di-19-wilayah

[2] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20170112161606-20-185874/mahasiswa-desak-jokowi-mundur-sebagai-presiden/

[3] http://hizb-indonesia.info/2015/05/12/indonesia-dalam-cengkeraman-neoimperialisme-dan-neoliberalisme/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*