Kegagalan Sistem Pendidikan Turki
Permasalahan yang disebabkan oleh system pendidikan sekuler di dunia Islam hampir sama. Meski demikian, kebijakan Pendidikan Sekuler Turki berhasil menjadi ‘role model’ dalam pendidikan dari beberapa negeri muslim. Padahal, kegagalan ini telah diakui oleh beberapa studi internasional. Penerapan system pendidikan non islami di negeri yang berpenduduk mayoritas Islam adalah penyebab utama dari kegagalan ini. Pendidikan seharusnya tidak hanya berlangsung di sekolahan, tapi juga di rumah, di jalan-jalan, dan dalam setiap bidang kehidupan. Namun system pendidikan saat ini terkurung di sekolah-sekolah karena tuntutan idiologi sekuler dan nilai-nilainya. Sistem pendidikan ini yang secara konsisten berseberangan dengan aspirasi dan nilai yang dipercaya masyarakat muslim, selalu gagal menghasilkan kurikulum pendidikan yang sukses dan program untuk mengimplementasikannya secara efektif. Masalah utama yang dihasilkan oleh kebijakan ini bisa diringkas dalam 5 hal berikut:
- Indikator besar kegagalan dalam pendidikan
Saat ini, ada 17.588.959 murid yang menjalani pendidikan formal dasar dan menengah pada tahun ajaran 2015-2016 menurut Statistik Pendidikan yang dikeluarkan oleh Mentri Pnedidikan Nasional Turki (MoNE). Diantara mereka, 14,5 juta belajar di sekolah negri, 1,175 di sekolah swasta dan 1,875 juta di sekolah terbuka.
Salah satu penemuan yang bisa merepresentasikan kegagalan kebijakan pendidikan di Turki adalah Program For International Student Assessment (PISA). Program ini membuktikan bahwa pendidikan di Turki gagal menghasilkan manusia yang sanggup membangun ide-ide baru dan berkontribusi terhadap pembangunan Negara. Turki menempati rangking ke 2 dari bawah diantara 35 negara anggota OECD dalam pelajaran Matematika, Sains dan Membaca, dan masuk kelompok 1/3 terendah diantara 72 negara yang berpartisipasi. Rasio anak yang memiliki performa tinggi hanya 1,6%. Ini jauh dari rata-rata OECD yang mencapai 15,3%. Dalam ketiga pelajaran yang dinilai, 31,2% pelajar Turki berada pada level rendah. Artinya, 1 dari anak di Turki masuk kategori skor terendah dalam PISA 2015.
Apalagi, meskipun pemerintah mendorong peningkatan pendaftaran murid baru, angka drop out juga meningkat secara signifikan. Menurut data MONE, angka DO di sekolah menengah adalah 6,17% atau sejumlah 350.000 pelajar meninggalkan sekolah tahun lalu.
Indikator lain dari kegagalan dari system pendidikan ini adalah meningkatnya level ‘brain drain’ setiap tahun. Jumlah pelajar yang ke Luar Negri untuk belajar 2x lipat setiap tahun sejak tahun 2009. Menurut AA, hampir 90.000 pelajar Turki menghabiskan 1,5 milyar dolar tiap tahun untuk belajar di luar negri. Menurut Bank Dunia, Turki menempati urutan ke 11 diantara negara yang paling banyak pelajarnya di luar negri. Ada sejumlah besar proporsi lulusan universitas (70%) bekerja di bidang yang bukan keahliannya. Menurut laporan Ankara Chamber of Commerce berjudul; “Turkey’s Brain expatriate”, 3600 dokter dari Turki ada di Amerika, hanya 90 dari mereka yang pulang. Laporan ini mengungkapkan bahwa 59% kaum terpelajar ke luar negri, menjadikan kita adalah nomer 24 dar 32 negara yang memiliki angka ‘brain drain’ tertinggi, dan urutan ke 11 diantara negara yang mengirim pelajarnya ke luar negri.
Kudeta yang gagal pada 15 Juli lalu telah membuat ekonomi Turki semakin tidak pasti, karena lebih dari 30.000 guru telah dipecat dan hampir 17.000 ditangguhkan. Sejumlah professor, dosen, dan kalangan akademisi yang dipecat dari universitas telah mencapai 4000 dan terus bertambah. Di negara yang kurang pendidik berkualitas, atau para pendidiknya memiliki pemikiran yang rusak, maka ‘brain drain’ tidak bisa dihindarkan.
- Kebijakan investasi yang salah memicu masalah dalam Pendidikan
Turki menempati rangking nomer 2 dari bwah diantara Negara-negara OECD dalam mengalokasikan sumber daya keuangan nasional terhadap pendidikan. Turki mengalokasikan 76,345 milyar Lira untuk MONE pada tahun 2016, yaitu 3,46% dari belanja nasional. Tahun 2017, diharapkan 85 milyar Lira untuk MoNE, namun Peraturan Pusat Anggaran Administrasi tahun 2017, pada Desember, dengan persetujuan Presiden, mengungkapkan peningkatan yang tidak terduga. Anggaran untuk MoNE diumumkan di angka 120 milyar Lira. Tidak hanya bahwa ini adalah anggaran terbesar untuk MoNE sepanjang sejarah, jumlah tersebut adalah 20% dari total belanja Negara. Namun jumlah ini masih terus diperdebatkan, bahwa apakah ini cukup untuk menutup kekurangan yang telah terakumulasi sejauh ini.
Sepanjang tahun-tahun yang lalu, anggaran hanya ditujukan untuk pengeluaran yang sifatnya wajib, sehingga gagal untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat pada sekolah, ruang2-ruang kelas, guru-guru, dan infrastruktur lain yang genting dalam system pendidikan. Karena 80% dari anggaran MoNE digunakan untuk menutupi biaya personel dan tunjangan social, hanya 12% yang bisa digunakan untuk membeli barang-barang, sarana dan berbagai kebutuhan lain, dan hanya 8% tersisa untuk digunakan dalam pendidikan. Oleh karena itu terjadi penurunan yang tajam dalam jumlah ini setiap tahun. Menurut TURKSTAT “Education Expenditure Statistic 2015”, belanja untuk pendidikan turun 5,8% dari total GDP tahun lalu, dimana 74,3% didanai oleh Negara. Iuran dari rumah tangga mencapai 18,7%.
Bersamaan dengan ini, ada perubahan pengeluaran dari institusi pendidikan swasta dari pendidikan tinggi ke menengah. Hal ini berarti, institusi pendidkan swasta lebih banyak berinvestasi kepada –bidang bidang pendidikan yang wajib/dasar, yaitu sebanyak 47,2% tahun 2015, padahal tahun 2014 sejumlah 47,9% dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan menengah telah diprivatisasi, atau dengan kata lain, sangat dikomersialkan. Hal ini tentu mengakibatkan semakin sulitnya pendidikan berkualitas dijangkau oleh anak-anak dari keluarga miskin di tahun-tahun yang akan datang.
Saat ini ada 78 perbedaan dalam investasi pendidikan antara yang paling miskin dengan yang paling kaya di Turki. 52,3% (8990 milyar Lira) dari total belanja nasional untk pendidikan dipengaruhi oleh 10% orang terkaya (2,182 juta keluarga). Namun pengeluaran untuk pendidikan dari 10% orang termiskin hanya 0,7% (115 juta lira). Dengan kata lain, keluarga miskin dapat menghabiskan maximal 4 lira sebulan untuk pendidikan, sementara 10% dari orang terkaya rata-rata menghabiskan 343 lira untuk pendidikan.
MoNE mendeklarasikan bahwa ada hubungan lansung antara kemiskinan dan hasil ujian. Rata-rata perbedaan 22 poin telah terdeteksi antara yang paling kaya dengan yang paling miskin dalam ujian TEOG 2014-2015.
Privatisasi pendidikan bahkan meningkat dengan ditutupnya TK pada 2014 dan kebijakan untuk mempromosikan sekolah swasta. Keluraga yang menginvestasikan semua yang mereka punya untuk pendidikan yang lebih baik di TK sekarang diarahkan untuk melanjutkan ke sekolah swasta. Dengan alas an sumberdaya yang kurang di sekolah pemerintah, menjadikannya sebagai cara untuk mempromosikan sekolah swasta. Berbagai insentif pajak, diskon, insentif untuk pelajar sekolah swasta, dll adalah didanai dari pajak yang dikumpulkan dari masyarakat. Pada 2016-2017 saja, 75 ribu pelajar menerima besiswa pendidikan karena mendaftar di sekolah swasta, padahal jumlah beasiswanya sangat tidak cukup untuk menutup total biaya di sekolah swasta. Bagaimanapun, hal ini telah membatasi pendidikan berkualitas hanya untuk orang kaya. Orang yang ingin terbebas dari pendidikan berkualitas rendah, kelas yang penuh, kurangnya guru, kondisi yang negative dan kekurangan, dipaksa untuk merujuk ke pendidikan swasta.
Ketidakadilan, kesenjangan dan pendidikan berkualitas rendah membebani keluarga yang bersekolah di sekolah negri dengan tambahan biaya. Selain seragam, buku dan peralatan sekolah, gizi dan biaya transportasi; mereka juga harus membayar biaya personel (guru) yang umumnya di subkontrakkan secara tidak legal, biaya kebersihan, korden, lemari, kapur, pemanas dll. Jadi, dariada belajar dalam situasi penuh masalah ini, sebagian besar pelajar terpaksa putus sekolah.
Menurut laporan yang dipublikasikan UNESCO Institute for Statistic 2015, ada 313 ribu pekerja anak-anak usia SD dan 38 ribu pekerja anak usia SMP di Turki. Turki ditenggarai sebagai contoh yang menonjol dalam laporan ini, karena anak-anak putus sekolah ini bekerja 45 jam dalam seminggu, sementara anak-anak yang menggabungkan kerja dengan belajar, bekerja rata-rata 15 jam per minggu.
- Kesalahan Kurikulum Pendidikan dan ketidak-konsistenan serta seringnya merubah program mengurangi kualitas pendidikan.
Salah satu dari factor terpenting yang secara langsung mempengaruhi kualitas pendidikan adalah seringnya merubah kurikulum dan pogram pendidikan. Tujuan utama dari system pendidikan sekuler Turki adalah untuk mencekoki masyarakat dengan sekulerisme sebagai jalan hidup. Karena tujuannya sempit dan terbelenggu, maka gagallah mereka dalam menstabilkan kurikulum. Jadi setiap perubahan pemerintah dan kebijakan pilitik mengakibatkan perubahan dalam kurikulum. Dalam 20 tahun terakhir, mentri pendidikanah berubah 11 kali, 6 diantaranya sejak periode AKP. Secara khusus sejak tahun 2004, kurikulum dan program pendidikan telah dirubah berkali-kali. Perubahan terbaru adalah transisi ke system pendidikan 4+4+4 (pendidiikan wajib selama 12 tahun) yang dibuat tahun 2012. Tujuan utama dari perubahan ini adalah untuk membuka Sekolah Menengah Imam Khatib yang telah ditutup oleh militer tahun 1997. Sebagai tambahan, usia wajib sekolah turun menjadi 5,5 tahun. Jam sekolah mingguan juga berubah, dan kelas-kelas yang dipilih di sekolah menengah dan tinggi juga diperpanjang. Ada tambahan pelajaran seperti ‘Kehidupan Nabi Muhammad SAW’, Ilmu Agama dasar, Al Quran, Bahasa dan Dialek (khususnya Bahasa Arab dan inggris). Perubahan ini ditujukan untuk meningkatkan apa yang disebut “generasi religious” yang hidup sebagai muslim dalam kehidupan personal mereka tapi tetap memeluk nilai-nilai dan system republic demokratik sekuler.
Topik-topik baru ditambahkan dalam kurikulum, namun jumlah guru tidak cukup, begitu pula buku-buku dan berbagai sarana pendidikan untuk mengimplementasikan tambahan tersebut. Contohnya, MoNE memutuskan untuk mengajari tulis tangan di sekolah, tapi tidak ada guru yang mengajar dan buku ajarnya. Ada banyak guru generasi tua yang tidak bisa membaca tulisan tangan para muridnya.
Pada Oktober 2016, Perdana Mentri Yidirim mengumumkan pengenalan regulasi terbaru dalam kurikulum dan program pendidikan. Hampir 3 tahun hingga kini, MoNE bekerja untuk merubah kelas 5 menjadi kelas transisi ke sekolah menengah, dimana hanya Bahasa Turki dan Bahasa Asing yang diajarkan. Ini sudah diimplementasikan sebagai proyek di sekolah-sekolah swasta dan beberapa sekolah negri. Pelajaran lain diintegrasikan di kelas 4 dan 6. Tambahannya, Bahasa Inggris, Bahasa Perancis dan German dan Bahasa Arab menjadi pelajaran pilihan wajib mulai kelas 2. Akan ada tugas untuk kompensasi kurangnya jumlah guru dalam bidang-bidang tersebut. Namun Turki belum berhasil dalam pengajaran bahasa asing selama ini, karena bahasa-bahasa tersebut diajarkan tanpa menyampaikan elemen budaya Negara asalnya, malah buku-buku yang digunakan berdasarkan kehidupan dan pemikiran Attaturk. Apalagi hanya sedikit dari guru-guru yang punya kesempatan belajar bahasa di negrinya, atau hanya diwajibkan mengunjungi negri asal bahasanya secara singkat.
Perubahan menjadi system pendidikan full day baru saja diumumkan. Saat ini sekolah dibagi menjadi 2 shift, pagi dan siang untuk mengatasi kurangnya jumlah kelas dan guru. Perubahan ini berarti bahwa semua pelajar harus ada di sekolah jam 9 pagi sampai 4 sore. Perubahan ini akan semakin memperparah kurangnya jumlah guru, karenanya mereka merencanakan akan menambah sejumlah70 ribu guru baru namun dalam waktu 3 tahun. Sementara solusi untuk menambah jumlah kelas sama sekali belum direncanakan.
Terkait kurikulum agama: kurikulum agama mengajarkan bahwa rasulullah saw adalah nabi yang toleran, dan bahwa islam memperbolehkan pengamalan demokrasi. Sebagai contoh adalah pemilihan Khalifah Abu Bakar disampaikan sebagai pemilu demokratis pertama dalam islam. Majlis syuro dibandingkan dengan parlemen. ……namun juga bahwa masalahnya adalah kurangnya pendidikan yang memadai untuk mengeimplementasikan kurikulum tersebut karena kurangnya guru dan buku juga. Jadi guru terpaksa harus menyiapkan pelajaran yang direkomendasikan oleh departemen agama.
Selain sejumlah kecil sekolah percontohan dan sekolah imam khatib percontohan, tenaga pengajar berubah tiap beberapa minggu atau beberapa bulan, kadang meninggalkan pelajaranan sama sekali, jadi tidak peduli berapa kali pun kurikulum dan program pendidikan berubah, system pendidikan di sini hanya berdasar hapalan, pengulangan dan ujian.
- Sistem pendidikan berdasar hapalan dan metode ujuan
Turki menerapkan system pendidikan berdasar belajar dalam hati. Para pelajar mahir pengetahuan teoretis daripada memahami konsep dan paktek. Ini membatasi mereka menjadi sekedar menghapal dan mengulang, karena kurangnya laboratorium, eksperimen, alat-alat visual dan auditori yang tentunya bekrkontribusi besar terhadap kegagalan. Sistem ini mendorong dan meningkatkan system ujian yang padat dan menekan, yang bukannya menjadikanya alat untuk mengukur kesuksesan belajar, malah menjadi alat ukur untuk mengeliminasi, memilih dan persaingan antar pelajar. Kekurangan dalam kualitas dan kuantitas, sedikitnya kesempatan bekerja seolah semakin menambah parahnya system ini. Akhirnya, dilakukanlah perubahan pada gaya ujian dan cara penghitungan nilai ujian. Guru menjadi terbatas geraknya ke dalam sekedar menjelaskan kepada anak didik soal apa yang kemungkinan keluar dalam ujian dan bagaimana mendapat nilai tinggi, bukannya menjelaskan pelajaran untuk membuat mereka paham. Model ujian adalah soal pilihan, demikian pula PR dan soal-soal latihan. Ada perubahan penilaian pada 2 tahun terakhir. Bahkan selama 2003-2013 ada perubahan 8 metode penilaian ujian.Koefisian baru ditambahkan dan dirubah, dan berbagai ujian untuk penerimaan murid dan mahasiswa baru diperkenalkan. Jadi, yang seharusnya mereka sibuk memberikan pelajaran pada pelajar, mereka diprogram untuk sibuk mengejar cara menyelesaikan soal secepat dan sebaik mungkin. Maka wajarlah jika hasil PISA menunjukkan bahwa pelajar Turki tidak memahami apa yang mereka baca. Sistem pendidikan ini telah melahirkan dan membesarkan generasi yang dangkal, yang tak memahami apa yang mereka baca, tak bisa menanyakan apa yang mereka dengar, tidak bisa mengekspresikan dirinya sendiri, melakukukan inovasi, dan rasa keingintahuannya rendah.
- Sistem pendidikan yang Rusak Menghasilkan Guru yang Tidak Efektiif yang akhirnya menghasilkan Murid yang gagal.
Guru adalah profesi yang mulia dalam pandangan keluarga muslim di Turki. Namun, ketidakstabilan politik dan ekonomi dan promosi terhadap gaya hidup Barat, telah menggeser pandangan ini di tengah masyarakat. Telah terbangun persepsi baru baru bahwa seorang yang cerdas jangan sekedar menjadi guru, jadi pekerjaan guru tidak dihargai lagi. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, ujian masuk universitas keguruan menjadi sangat mudah untuk dikerjakan. Sistem penilaian ujian yang telah disebutkan sebelumnya memilih calon guru diantara yang paling rendah skornya. Namun karena guru juga dituntut untuk memiliki kemampuan komunikasi dan mengajar, akhirnya yang terseleksi menjadi guru justru dari lulusan non keguruan. Contohnya seorang lulusan biologi yang tidak mendapatkan pekerjaan akhirnya menjadi guru Biologi dengan hanya mengikuti 1x ujian keguruan. Demikian pula lulusan keahlian lain banyak yang akhirnya menjadi guru untuk kemudian diangkat menjadi pegawai negri. Dalam situasi ekonomi saat ini, lebih baik memiliki jaminan pendapatan daripada menikmati dan mencintai pekerjaan mengajar. Bahkan para guru yang mencintai profesinya akhirnya tidak bisa melakukan tugasnya secara efektif karena berbagai hambatan yang ada dalam system.
Kegagalan para guru dan pelajar ini, berakar dari kegagalan system sekuler di Turki. Pondasi dari system ini, fungsinya, kurikulumnya yang zig zag, kalennder akademiknya, hasil sekolahnya, ujian yang dilaksanakan dan sebagianya hanya semakin mengurangi kualitas dan keefektifan. Ini adalah system yang rusak yang hanya menghamburkan para guru dan pelajar.
Ditulis untuk Kantor Pusat Media Hizbut Tahrir
Zahra Malik