Voucher Pangan, Menambah Panjang Daftar Kelalaian Pemerintah Rezim Neolib
Sejak beberapa bulan terakhir pemerintah menerapkan program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) voucher pangan yang diklaim pemerintah sebagai wujud kepeduliannya terhadap rakyat miskin. Hal ini antara lain diberitakan dalam laman republika.co.id, dengan tajuk “Mensos Lapor Presiden Terkait Bantuan Pangan Nontunai” pada 17 Februari 2017 yang lalu.
Meski dianggap sebagai terobosan baru dalam kepedulian terhadap nasib rakyat miskin, namun bila dicermati secara mendalam dan hati yang tulus, program BPNT voucher pangan justru semakin memperpanjang daftar kelalaian pemerintah. Bagaimana tidak, pemerintah hanya memberikan voucher senilai Rp 110.000/bulan/keluarga di tengah-tengah harga pangan yang terus melambung dan kemiskinan yang semakin menghimpit. Sementara berbagai sumber daya alam termasuk pangan begitu berlimpah di negeri ini. Ketulusan pemerintahpun semakin patut dipertanyakan, demikian pula kelayakan sistem politik demokrasi yang diterapkan. Terlalu banyak bukti kehadiran pemerintah sebatas regulator bagi kemudahan urusan korporasi semakin menambah kezoliman penguasa dan penderitaan rakyat.
Ketahuilah, pemerintah yang peduli dan benar-benar tulus dalam mengurusi rakyatnya hanyalah pemerintah yang menerapkan sistem Islam, yakni Khilafah. Karena sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang didesain Allah swt. yang padanya melekat karakter raain (pelayan) dan junnah (pelindung). Rasulullah saw. melaui lisannya yang mulia menegaskan, yang artinya: “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Bukhari). Kedua peran ini telah ditetapkan syariah Islam kepada negara tanpa boleh diabaikan sedikitpun, kapanpun dan kepada siapapun.
Hal ini tercermin dari perilaku Khalifah Umar bin Khaththab yang rela memanggul sendiri karung yang berisi tepung, kurma, lemak, pakaian, dan sejumlah uanguntuk diberikan kepada rakyatnya, ketika mengetahui bahwa ada keluarga yang tidak bisa makan karena kemiskinannya. Tanggungjawab penuh sebagai kepala negara ini begitu tampak ketika Khalifah Umar menolak tawaran pembantunya yang menawarkan diri untuk menggantikannya memanggul karung tersebut. Sungguh kita merindukan dan membutuhkan hadirnya kembali sosok-sosok seperti Khalifah Umar, yang mengurusi rakyat dengan konsep yang benar dan penuh ketulusan dan tanggungjawab serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah Swt. Ya, dunia butuh Khilafah ‘ala minhajinnubuwwah, disamping kewajiban syar’i yang tidak bisa lagi ditunda.[] (Emilda Tanjung, MSi/Anggota Lajnah Mashlahiyah MHTI)