Jerat Globalisasi Dibalik Narasi World Class University (Mencari Bentuk Pendidikan Kelas Dunia – Bagian 1)

wcu

Pengantar

Mahasiswa Muslim mana yang tidak menginginkan menempuh studi di sebuah universitas kelas dunia? Dan dosen Muslim mana yang tidak bercita-cita memiliki sebuah lingkungan akademis yang kualitasnya kelas dunia? Ya, slogan world class university atau research university dalam satu dekade ini semakin santer kita dengar.  Setiap perguruan tinggi di manapun di belahan dunia ini akhirnya bercita-cita menjadi satu diantara sekian banyak world class university.

Namun kondisi pendidikan tinggi di dunia Muslim sangatlah miris, dalam artikel dari MIT Technology Review Pakistan (Februari 2016) yang berjudul The Dark Age of Muslim World  dibeberkan fakta bahwa 1,6 miliar Muslim di dunia berkontribusi sangat kecil untuk pengetahuan dunia. Komunitas Muslim global – yang membentuk mayoritas penduduk dari 57 negara dan mencakup hampir setiap negara di dunia – ternyata hanya memiliki tiga pemenang Nobel dalam sejarah penghargaan bergengsi ini. Jumlah perguruan tinggi dari negara-negara anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam) hanya berada di peringkat 500 dunia atau sedikit lebih baik dari itu.

Nyaris semua perguruan tinggi di dunia Muslim tidak mendapat peringkat tinggi di berbagai jenis sistem peringkat universitas global. Pada edisi 2014-15 QS World University Rankings, tidak terdapat satupun universitas dari dunia Islam masuk ke peringkat 100 dunia, dan di antara  top 400 hanya 17 peringkat (11 berada di antara top 300 dan 400). Demikian pula, hasil terbaru the Times Higher Education World University Rankings 2016 hanya 10 perguruan tinggi dari dunia Muslim berada di peringkat 400 dunia (lima dari mereka di antara top 300 dan 400). Hal inilah yang membuat berkumandangnya seruan berulang untuk meningkatkan peringkat universitas di dunia Muslim agar menjadi universitas ‘kelas dunia’.

Tulisan ini akan membahas isu ini pada dua bagian, bagian pertama mencoba mengulas ada apa di balik narasi World Class University (WCU) dan bagian kedua akan membahas bagaimana visi politik Islam memformulakan pendidikan kelas dunia di bawah payung Khilafah Islam.

 

Jebakan Narasi Globalisasi

Argumen yang sering mengemuka untuk menjadi World Class University (WCU) adalah agar dapat bersaing dengan kampus-kampus kelas dunia dan sekaligus dapat menghasilkan lulusan yang juga dapat bersaing dengan lulusan dari negara-negara maju di dunia internasional. Argumen-argumen tersebut dipakai karena melihat kenyataan mutakhir akibat dari globalisasi dalam berbagai sendi kehidupan manusia. Pertama, globalisasi dalam bidang ekonomi yang mewujud dalam praktik ekonomi pasar bebas. Kedua, globalisasi dalam bidang budaya yang mewujud dalam bentuk masuknya budaya asing ke dunia Islam. Ketiga, globalisasi tenaga kerja sebagai akibat dari praktik ekonomi pasar bebas. Keempat, globalisasi bidang pendidikan dengan adanya pendirian lembaga pendidikan di banyak negara berkembang dan beasiswa antar-negara.

Globalisasi ini juga membuat negara-negara berkembang merasa harus menyetarakan kualitas dirinya sejajar dengan negara-negara maju dilihat dari human development index (HDI), program for international student assessment (PISA), dan lainnya. Dari sinilah nilai-nilai kompetisi ditabur dan tumbuh subur, terlebih ketika dipupuk oleh inferioritas negara berkembang untuk mengejar ketertinggalan. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, kekhawatiran tersebut juga telah memunculkan gagasan tentang sekolah bertaraf internasional (SBI), untuk dapat menyiapkan siswa-siswi yang nantinya akan dapat bersaing di dunia internasional. [i]

Namun Edi Subhan mengkritik keras para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia yang pro WCU namun belum mampu mengemukakan secara jelas apa definisi dan konsep universitas berskala internasional itu, kecuali selalu berkiblat pada konsep penilaian dan pengakuan yang berskala internasional. Dari sini nampak jelas pemerintah dunia Islam hanya “latah” menerapkan konsep ini tanpa basis ideologi yang jelas, dan terjebak pada narasi tanpa orisinalitas yang belum tentu sesuai dengan jati diri negerinya.

Secara ideologis arus internasionalisasi kampus ini juga menunjukkan kepongahan narasi besar globalisasi dan modernitas. Saat klaim modern menunjukkan keterbukaan dan toleransi, di sisi lain justru terdapat upaya besar-besaran untuk memaksakan satu standar kebudayaan. Herbert Marcuse menyebutnya sebagai fenomena “One-Dimensional Man”, yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu sistem yang sama, yakni sistem kapitalis melalui pendidikan, media dan lainnya.

 

Industri Globo-Capitalism VS Deindustrialisasi Dunia Islam

Jenjang pendidikan tinggi adalah jenjang puncak yang paling dekat relasinya dengan dunia industri. Karena itu biasanya produktivitas riset/ penelitian selalu mendapat stimulasi dari kebutuhan dunia industri yang membutuhkan inovasi tinggi. Karena itu masuk akal universitas-universitas di dunia Islam susah menembus ranking top 100 dunia karena nyaris semua negeri Islam mengalami de-industrialisasi secara besar-besaran, sementara dunia Barat melewati fase industrialisasi 150 tahun yang lalu. Padahal syarat sebuah Negara dikatakan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi diantaranya jika mampu membentuk kemampuan penelitian yang mengarah kepada penyelesaian problem-problem yang dihadapi Negara serta mampu membentuk sistem industri yang mengaplikasikan hasil penelitian tersebut.

Di sisi lain adanya arus WCU selama satu dekade terakhir justru mengekalkan kondisi deindustrialisasi di dunia Islam karena mengarahkan penelitian di dunia Islam agar melayani kebutuhan industri globo-capitalism, bukan industri nasional di negaranya sendiri. Kondisi ini semakin parah dengan miskinnya visi politik pemimpin Muslim. Sebagai contoh Negara-negara Arab tidak pernah mengembangkan industri manufaktur, meskipun dalam sektor perminyakan, dikarenakan keinginan perusahaan-perusahaan minyak Barat yang ingin mengontrol penyulingan minyak mentah.

Nalar kapitalisme sangat kental dalam banyak indikator WCU, dapat dilihat dari indikator THE misalnya, antara lain research income from industry (per staf akademik, bobotnya 2,5 persen), public research income/total research income (bobotnya 0,75 persen), research income (scaled) (bobotnya 5,25 persen). Kampus di sini layaknya sebuah korporasi yang berupaya untuk meraup untung dari aktivitas intelektual terutama penelitian untuk dunia industri global yang jika perlu mengangkangi otoritas negara. Bahkan, basis penilaian Webometric pada visibilitas web sebuah kampus adalah berdasarkan pada pandangan “pasar global baru” mengenai informasi akademik, web dianggap sangat penting sebagai sarana internasionalisasi kampus.

Hal ini linear dengan arus komodifikasi pendidikan tinggi menjadi industri tersier yang dipelopori oleh WTO – organisasi perdagangan dunia-  dengan menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier melalui General Agreement on Trade in Services (GATS), yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.[ii] Payung kesepakatan GATS/WTO yang sudah diratifikasi tahun 1995 di Marakesh, telah membuat pendidikan menjadi suatu komoditas, yang lebih memprihatinkan, pemerintah begitu mudah untuk mengikuti kemauan global, tanpa melihat kemampuan lokal serta prinsip-prinsip kependidikan dalam konstitusi kita. [iii]

Akibat desakan WTO untuk ratifikasi GATS tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Perpres  no.111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Prof. Sofian Effendi sangat menyayangkan keluarnya Perpres tersebut karena telah memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing bahkan dengan penyertaan modal maksimum 49 persen. Ini jebakan pertama yakni hegemoni kekuatan asing pada sistem pendidikan di dunia Islam.

Dari aspek kemandirian terlihat sekali rezim dunia Islam teramat bergantung dan miskin visi orisinil untuk memajukan pendidikan peradaban mereka sendiri. Ketika pemerintah dunia Islam berusaha keras ingin menjadi universitas kelas dunia dengan memenuhi syarat-syarat agar dapat nyantol entah di hasil pemeringkatan THE, QS, Webometric, SJTU, atau yang lainnya, maka artinya sistem pendidikan di dunia Islam—praktis telah merunduk di bawah dikte perusahaan penerbitan, lembaga penelitian dan kampus asing. Jadi makin jelas sekarang, betapa  sebenarnya WCU hanyalah narasi globalisasi murahan yang mencoba menipu dunia Islam dan menghegemoni sistem pendidikan kita.

 

Kooptasi SDM Muslim Terbaik

Saat satu Negara tidak lagi punya kontrol terhadap arah penelitian dan sistem pendidikannya, lalu juga tidak memiliki sistem industri nasional yang mandiri, maka saat itulah Negara akan kehilangan kontrol terhadap SDM nya sendiri. Sudah terlalu banyak kisah negeri Muslim yang kehilangan kemampuan menghentikan laju braindrain dari negerinya ke Negara-negara maju. Dalam 50 tahun terakhir, sejumlah besar intelektual Muslim telah bermigrasi dari dunia Muslim ke negara-negara industri. Studi memperkirakan jumlahnya hampir 500.000 ini baru dari dunia Arab, yang meliputi sepertiga dari seluruh diaspora profesional tersebut. Begitupula dengan Indonesia, sebutlah putra putri terbaik Indonesia; Khoirul Anwar yang lahir di Kediri, Jawa Timur. Dia kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Dia ahli dalam bidang telekomunikasi dam pemilik paten dalam sistem telekomunikasi 4G yang berbasis Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). Ada Andrivo Rusydi, 33 tahun, dan Nelson Tansu. Keduanya adalah pakar teknologi nano. Saat ini Andrivo menjadi dosen di National University of Singapore, sementara Nelson Tansu menjadi pengajar di Universitas Lehigh, Amerika Serikat (AS).

Demikianlah kooptasi sdm Muslim terbaik akhirnya menjadi demikian mudah dilakukan, akibat absennya visi politik Negara-negara di dunia Islam dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi jika pendidikan sudah ditetapkan sebagai bidang usaha terbuka dari modal asing, maka kooptasi SDM oleh asing sangat mudah dilakukan dengan mem-baratkan  hati dan pikiran pemuda Muslim, menjanjikan masa depan bagi penelitian mereka, serta ‘menjual’ ideology sekuler, dan nilai-nilai (values) yang seolah identic dengan kemajuan dan kesejahteraan.

 

 

Kritik Islam

            Faktor pertama dari kegagalan mendasar ideologi Kapitalisme adalah karena ia telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas. Akibatnya yang terjadi adalah berkembangnya pragmatisme dalam dunia pendidikan. Pragmatisme pendidikan tercermin dari tujuan pendidikan yang terlampau mengedepankan materi, jauh dari tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperbaiki kualitas kepribadian. Kalau kita perhatikan dengan seksama, sadar atau tidak, pendidikan yang dilaksanakan dari tingkat dasar, dan lebih-lebih di tingkat perguruan tinggi, tampak sekali kecenderungannya lebih berorientasi pada sesuatu yang bersifat pragmatis. Bahkan banyak perguruan tinggi besar tidak malu-malu lagi menyatakan dirinya sebagai entrepreneurial university.

            Islam sangat mengecam hal ini, karena di dalam Islam posisi ilmu pengetahuan itu sangatlah mulia. Menjadikan pendidikan atau ilmu pengetahuan sebagai komoditas, sama saja menghinakan ilmu pengetahuan itu sendiri. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab “Bidayatul Hidayah”.

            Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).

Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah. Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu tersebut.

Faktor kedua dari kekeliruan mendasar Kapitalisme adalah, lepas tangannya negara dalam mengelola institusi pendidikan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun sistem industri yang kuat. Negara dalam pandangan Islam memiliki peran sentral dalam membangun hubungan antara sistem pendidikan, arah riset/penelitian nasional dan kebutuhan dunia industri. Peran ini dibangun dalam kerangka negara sebagai pelayan umat. Karena kepemimpinan negara adalah  amanat untuk mengurus orang-orang atau rakyat yang dipimpin.  Rasulullah saw. mengumpamakan pemimpin laksana penggembala (ra’in).  Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari  dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).

 

Dalam hal ini maka adalah menjadi kewajiban negara untuk Negara wajib menyediakan sistem pendidikan berkualitas dengan fasilitas yang cukup dan dengan gaji yang cukup bagi semua orang yang bekerja pada sistem ini dengan memberikan subsidi sehingga biayanya murah bagi masyarakat. Maka Islam melarang keras negara lepas tangan, apalagi sampai mempersilakan modal asing menanamkan investasinya di dunia pendidikan kita.

 

Mengembalikan Abad Keemasan Islam

            Saat ini di abad 21, mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia.  Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini jika dilakukan seribu tahun yang lalu?

Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi berada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya.  Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda, India.  Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi.  Di Amerika Serikat apa lagi.  Benua itu baru ditemukan tahun 1492. [iv]

Bayangkan suatu negeri yang tingkat buta hurufnya 95%!  Mengerikan.  Tetapi itulah Eropa abad 9 hingga 12 M.  Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu!  Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Kondisi inilah yang disebut banyak sejarawan sebagai masa kegelapan eropa (the dark middle ages) yang kemudian memicu revolusi ilmu pengetahuan pada era renaissance (pencerahan).  Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof). Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini.  Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an.

Sejak lama memang peradaban Barat menjadikan Ilmu pengetahuan itu sebagai privilege untuk kalangan tertentu saja. Tidak jauh berbeda dengan masa lalunya, peradaban Barat modern telah menjadikan ilmu pengetahuan, khususnya di tingkat pendidikan tinggi, hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Sementara itu, Islam  punya cara yang khas dalam  menghargai ilmu.  Islam menghargai ilmu, bukan dengan memberinya “bandroll” harga seperti Kapitalisme. Tapi Islam memuliakan ilmu pengetahuan sebagai saudara kembarnya iman, untuk tujuan luhur membentuk kepribadian manusia yang punya integritas mulia. Akibatnya tidak ada keistimewaan atau privilege  bagi umat Islam dalam menuntut ilmu, karena setiap orang punya kewajiban yang sama dalam mencari ilmu. Yang membedakan adalah ketaqwaannya.

Ideologi Islam memiliki konsep sistem yang jelas dan komprehensif mencakup seluruh bidang kehidupan yang akan diterapkan secara sempurna dalam naungan Khilafah.  Ideologi Islam mengatur bagaimana pengelolaan SDA yang benar yang akan menjadikan kekayaan Negara berlimpah, sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh ummat serta tidak akan menimbulkan kerusakan.           Dengan kekayaan yang berlimpah ini, Negara akan memberikan pendanaan berbagai riset, menyediakan fasilitas terbaik untuk kegiatan riset tsb serta memberikan penghargaan yang tinggi kepada intelektual, sehingga intelektual termotivasi untuk menghasilkan karya terbaik dan permasalahan bangsa dapat segera dituntaskan serta kemandirian dapat diwujudkan.

Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat.  Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas dan seperti apa kriteria sebuah universitas kelas dunia itu. Inilah yang disebut oleh para ulama, “Orang Barat bisa maju karena meninggalkan agamanya, sedangkan Muslimin hanya akan maju jika ia mendalami agamanya.”

 

Bersambung ke Bagian 2

 

Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh

Fika Komara

Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir

 

 

[i] Edi Subhan, Mempertanyakan Orientasi World Class University, Darmaningtyas Institut of Education and Globalization Studies (Digest), Jakarta

[ii] Sofyan Effendi, Menghadapi Liberalisasi Perguruan Tinggi, Harian Seputar Indonesia, 12-13 Maret 2007

[iii] Edy Suandi Hamid, Komodifikasi Pendidikan, Republika, 22 Agustus, 2007

[iv] Fahmi Amhar, artikel Universitas Kelas Dunia, Media Umat, Edisi 41 Agustus 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*