Misi Tur Raja Salman ke Asia Khususnya ke Indonesia: Misi Penyelematan Ekonomi Saudi

Raja salman dan JokowiKunjungan Raja Salman bin Abdul Aziz Ali Saud ke Indonesia mendapat sambutan yang gegap gempita. Kunjungan ini juga melambungkan berbagai ekspektasi dari berbagai pihak.

Yang penting dipahami adalah apa sebenarnya misi dari tur Raja Salman ke Asia itu. Perlu diketahui, kunjungan ke Indonesia ini merupakan bagian dari tur Raja Salman ke Asia. Sebelum ke Indonesia, Raja Salman sebelumnya berkunjung ke Malaysia dengan membawa rombongan sebanyak 600 orang. Setelah dari Indonesia, Raja Salman akan berkunjung ke Jepang, lalu China, berikutnya berlibur ke Maladewa selama dua pekan dan terakhir ke Yordania baru pulang ke Saudi.

Di Malaysia, Raja Salman menandatangani kesepakatan kerja sama strategis antara Aramco dan Petronas. Selain itu, Salman juga menawarkan rencana penjualan perdana (IPO) saham Saudi Aramco. Raja Salman berharap mendapat calon pembeli potensial untuk membeli saham Aramco saat IPO pada 2018 mendatang.

Kunjungan ke Indonesia dianggap banyak pihak sebagai kunjungan yang historis. Pasalnya, ini adalah kunjungan Raja Saudi sejak 46 tahun lalu. Agak janggal, katanya, tidak ada kunjungan Raja Saudi ke Indonesia, negeri muslim terbesar, selama 47 tahun. Apalagi, dalam kunjungan ini, Salman ditemani rombongan hingga 1500 orang, di antaranya 25 orang pangeran dan 10 menteri.

Seperti yang diungkapkan oleh Seskab Pramono Anung, Raja Salman akan berada di Indonesia selama sekira sembilan hari. Tiga hari akan diisi dengan agenda di Jakarta dan sisanya sekira enam hari di Bali. Raja Salman disambut langsung oleh Presiden Jokowi di bandara Halim Perdana Kusuma dan langsung menuju ke Istana Bogor melalui jalur darat dan melakukan pertemuan bilateral kurang lebih selama 2 jam.

Sore hari Raja Salman akan kembali ke Jakarta dan menginap di Hotel di kawasan Setiabudi Jakarta. Esok harinya, 2 Maret, Raja Salman dijadwalkan berpidato di DPR. Setelah itu mengunjungi masjid Istiqlal dan malamnya bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tanggal 3 Maret diisi dengan agenda pribadi. Tidak ada informasi mengenai apa saja agenda pribadi sehari Raja Salman di Jakarta itu. Barulah tanggal 4 Maret, Raja Salman dan rombongan akan berada di Bali hingga 9 Maret.

Kepala Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (Ikatan Agen tour dan Perjalanan Indonesia), I Ketut Ardana, menjelaskan, dari informasi yang diterimanya Raja Salman telah memesan Hotel The St Regis Resort, The L Resort and Spa, Hilton Bali Resort, dan The Ritz Carlton. “Empat hotel itu tempat menginap rombongan Raja Salman selama berlibur di Bali mulai 4-9 Maret depan,” kata Ardana di Kuta, Minggu, 26 Februari 2017.

Jadi kunjungan 9 hari ke Indonesia juga bisa dikatakan sebagai liburan massal rombongan Raja Saudi ke Bali. Sebab dari 9 hari waktu kunjungan, yang lebih banyak merupakan liburan, yaitu 6 hari. Begitupun, anggota rombongan yang ikut menyertai agenda resmi Raja Salman sangat kecil dibanding jumlah rombongan yang mencapai 1500 orang.  Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir, delegasi resmi yang akan melekat pada Raja Salman tidak sampai ribuan orang. Ia menyatakan, “daftar delegasi mereka yang resmi sampai 112 orang, termasuk 19 prince (pangeran) dan 7 menteri” (liputan6.com, 1/3).  Sementara yang menyertai Raja Salman ke Istana Bogor untuk bertemu dengan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla lebih sedikit lagi. Menurut Kepala Sekretariat Presiden, Darmansjah Djumala, dari 1500 rombongan raja Salman hanya 35 orang delegasi dan 50 perangkatnya yang menyertai raja Salman ke Istana Bogor.

Usai berkunjung ke Indonesia, dilansir dari The Asia One, Raja Salman akan melanjutkan perjalanan ke Jepang dari 12 sampai 14 Maret.

Raja Salman diperkirakan menghabiskan dua minggu terakhir bulan Maret untuk berlibur di Maladewa. Koran lokal, Mihaaru melaporkan, tiga resort telah disediakan untuk mereka tinggal (liputan6.com, 27/2).

 

Agenda Investasi

Kunjungan ke Indonesia kali ini merupakan tindak lanjut dari dua pertemuan yang sebelumnya telah dilangsungkan. Pertama, pada pertemuan kunjungan Presiden Jokowi ke Saudi pada Desember 2015. Pada pertemuan itu, RI dan Arab Saudi di antaranya menyepakati kerja sama di bidang pertahanan. Kemudian di bidang investasi, Arab Saudi melalui perusahaan minyaknya, Aramco, akan membangun kilang minyak di Indonesia.

Pertemuan kedua, seperti yang disampaikan Menko Ekuin Darmin Nasutian, kunjungan Raja Salman merupakan tindak lanjut dari pertemuan G20 di Hangzou tahun lalu (2016). Dalam pertemuan tersebut, ada tiga hal yang dibicarakan. Pertama, kerja sama antara Pertamina dengan Saudi Aramco yang kerja sama di ekspansi kilang. Kedua, kerja sama pariwisata, dan ketiga, kerja sama di penyediaan perumahan dengan biaya yang terjangkau. Menurut Menlu Retno Marsudi, pada pertemuan di China itu, Wakil Putra Mahkota Saudi Prince Mohammed bin Salman menyatakan komitmen Saudi untuk melakukan investasi besar-besaran di Indonesia. Dia menyebut akan melakukan mega investment.

Lebih jauh seperti diberitakan oleh Liputan6.com (1/3), dalam kunjungan kali ini Raja Salman akan menandatangani 10 nota kesepahaman (MoU) dengan RI. Seperti yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Armanatha Nasir, MoU itu mencakup MoU kerja sama bidang kebudayaan, MoU kerja sama kesehatan, MoU kerja sama meningkatkan status mekanisme bilateral sidang komite bersama, MoU soal dakwah dan keislaman, MoU soal pendidikan dan MoU kerja sama kelautan dan perikanan kerja sama dalam konteks food safety dan bidang kelautan, MoU soal kejahatan lintas batas seperti terorisme dan kejahatan yang lain, MoU kerja sama pelayanan udara, MoU usaha kecil menengah dan MoU kerja sama perdagangan.

Dia pun memastikan 10 belum angka final. Kemungkinan besar MoU yang disepakati bertambah banyak. Menurutnya, masih ada 10 lagi yang belum berjalan (masih proses finalisasi), jadi (kemungkinan) total 20 MoU.

Menurut dalam kunjungan kali ini Saudi juga tertarik untuk berinvestasi di bidang pengembangan infrastruktur di Indonesia. Saudi sudah menawarkan untuk turut serta dalam beberapa proyek pembangunan. Di antaranya, pembangunan jalan tol, terkait air bersih dan sanitasi, pengembangan rumah murah.

Dalam kunjungan kali ini, rencananya akan ditandatangani kerja sama Saudi Aramco dengan Pertamina tentang pengembangan fasilitas kilang minyak di Cilacap dengan nilai investasi sebesar USD 6 miliar. Juga akan ditandatangani investasi di sektor lain sebesar USD 1 miliar. Jadi total investasi yang ditandatangani dalam kunjungan kali ini mencapai USD 7 miliar. Hanya saja, investasi dari Saudi diharapkan akan mencapai USD 25 miliar atau sekira Rp 323 triliun. Tapi hal itu tidak akan sekaligus terwujud dalam kunjungan kali ini. Melainkan diharapkan akan bisa terealisasi dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Jadi kunjungan Raja Salman kali ini lebih didominasi oleh agenda ekonomi atau lebih khusus investasi. Itu pula yang sudah disebutkan oleh Menko Perekonomian, Darmin Nasution bahwa kunjungan Raja Salman berpusat pada investasi.

Bahkan secara keseluruhan, tur Raja Salman ke Asia ini juga lebih didominasi agenda investasi. Di Malaysia, agenda kerja sama Saudi Aramco dengan Petronas adalah yang dominan. Demikian juga, salah satu misi ke Asia dari Raja Salman adalah mencari calon pembeli potensial untuk membeli saham Saudi Aramco yang akan ditawarkan perdana pada 2018 nanti. Saudi akan melempar 5% saham Aramco ke publik. Total yang akan didapatkan dari IPO itu sekira USD 100 miliar dana segar.

 

Agenda Penyelamatan Ekonomi Saudi

Kunjungan kali ini yang didominasi oleh agenda investasi menunjukkan pentingnya investasi itu bagi Saudi. Apalagi kunjungan ini dianggap historis sebab ini adalah kunjungan Raja Saudi setelah 47 tahun sejak kunjungan terakhir. Kunjungan Raja Saudi terakhir yaitu kunjungan Raja Faisal pada pada 10 Juni 1970. Kala itu Raja Faisal membawa jumlah rombongan 58 orang yang terdiri dari staf kerajaan, pengawal, wartawan Saudi, serta juru masak khusus.

Agenda investasi yang mendominasi kunjungan kali ini sangat penting bagi Saudi. Bisa dikatakan, itu adalah agenda penyelamatan ekonomi Saudi dalam jangka panjang. Hal itu karena saat ini ekonomi Saudi sedang dalam masa sulit.

Pada 5 Agustus 2015 surat kabar Finansial Times menyebutkan bahwa Saudi kembali ke pasar obligasi untuk mendapatkan 27 miliar Riyal pada akhir tahun ini. Finansial Times mengisyaratkan bahwa langkah ini menjadi bukti yang jelas bahwa anjloknya harga minyak menjadi tekanan terhadap neraca anggaran Saudi. Pada bulan Juli 2015, Fahd al-Mubarak, menteri perminyakan Arab Saudi, mengatakan bahwa Riyadh telah mengeluarkan untuk yang pertama kalinya, 4 miliar dolar obligasi lokal pada tahun 2007.  Dan sekarang ada rencana-rencana baru yang menjadi perluasan besar dalam program ini (menarik utang melalui obligasi) yang diyakini oleh para bankir akan berlanjut sampai tahun 2016.

Sejak anjloknya harga minyak dunia, Saudi menghadapi krisis neraca yang besar disebabkan anjloknya harga minyak dan naiknya batas belanja militer. Besarnya krisis neraca itu sampai memaksa Saudi berutang dengan mengeluarkan obligasi untuk menutupi defisit keuangannya yang terus meningkat.  Saudi telah mengeluarkan lebih dari 62 miliar dolar cadangannya dalam bentuk mata uang asing pada tahun 2015. Saudi berutang 4 miliar dolar dari bank lokal pada Juli 2015. Saudi mengeluarkan obligasi pertama tahun 2007.  IMF mengestimasi, defisit di neraca anggaran Saudi mencapai 20% dari PDB pada tahun 2015.  Defisit akan terus terjadi sampai tahun 2020.  Bagi negara yang biasa mengalami surplus keuangan, perubahan ini akan menjadi penderitaan.  Estimasi dari Capital Economics menunjukkan bahwa pemasukan pemerintah akan menurun 82 miliar dolar pada tahun 2015, setara 8% dari PDB. Faktor utama dari adanya tekanan ini adalah anjloknya harga minyak dari 107 dolar per barel pada bulan Juni 2014 menjadi 44 dolar per barel pada Agustus 2015. Total penurunan itu sebanding dengan setengah dari produk ekonomi negara dan 80 persen dari pemasukan pemerintah dari industri minyak.

Penurunan harga minyak bukan satu-satunya sebab memburuknya perekonomian Saudi. Dana mulai mengalir keluar dari Saudi setelah musim semi arab (arab spring) seiring dengan aliran pokok modal, mencapai 8 persen dari PDB pertahun sampai sebelum anjloknya harga minyak.  Sejak saat itu, hangusnya cadangan mata uang asing Saudi terjadi makin cepat. Hal itu mencapai puncaknya pada Agustus 2014 dimana total belanja mencapai 737 miliar dolar dan cadangan menurun menjadi 672 miliar dolar pada Mei 2015, artinya menurun minimal 12 miliar dolar dalam sebulan.

Semua itu masih ditambah dengan besarnya dana yang disedot untuk proyek-proyek politik-militer di luar negeri, seperti intervensi militer di Yaman dan intervensi di Suriah. Juga belanja militer yang tidak ada tanda akan menurun. Semua faktor secara gabungan menjadi tekanan besar bagi neraca keuangan Saudi dan tekanan besar bagi dana cadangan mata uang asing Saudi.

Meski demikian tetap saja banyak belanja Saudi yang tidak prioritas dan cenderung berlebihan. Misalnya, biaya membeli keamanan dalam negeri dan harga loyalitas yang mencapai 32 miliar dolar. Juga liburan mewah ke Prancis yang diikuti oleh 1.000 orang rombongan, tentu biayanya sangat besar (bagaimana dengan liburan sepekan ke Bali kali ini dengan rombongan 1500 orang? Dan liburan ke Maladewa selama dua pekan). Berdasarkan tingkat belanja seperti itu, cadangan Saudi mungkin saja akan menurun menjadi 200 miliar dolar pada akhir tahun 2018.

Arab Saudi adalah negara pengekspor minyak tertinggi di dunia dan perekonomiannya adalah yang terbesar di regional Arab. Selama ini pemasukan Saudi banyak bergantung dari minyak. Bahkan pernah tercatat 90 persen dari pendapatan Saudi dihasilkan dari sektor minyak.

Masalah besar terjadi sejak pertengahan 2014 ketika harga minyak dunia anjlok. Bahkan, di pertengahan 2016 harga minyak dunia terjun bebas dan merupakan yang paling buruk dalam 12 tahun terakhir. Akibatnya, Arab Saudi mengalami defisit sebesar lebih dari Rp 900 triliun pada 2015 lalu. Untuk negara yang sangat bergantung pada minyak, penurunan harga sedikit saja sangatlah berpengaruh terhadap pendapatan negara.

Harga minyak yang turun dari US$ 90/barel di tahun 2010 menjadi US$ 40-US$ 50/barel akhir-akhir ini berpengaruh besar pada Arab Saudi.  Menurut Rusli Abdulah, pengamat ekonomi dari INDEF ( (Institute of Development and Economics and Finance), ekonomi Saudi sebenarnya saat ini dalam keadaan buruk. Defisitnya terhadap GDP Arab Saudi itu sekitar -11,7% di tahun 2016. Itu neraca anggarannya. Tetapi kalau dibandingkan di tahun 2010, defisitnya tidak sampai dua digit, tetapi hanya satu digit.

Pemasukan dari minyak yang menurun drastis sejak 2011 lalu itu membuat sumbangan sektor industri yang didominasi minyak menurun drastis. Peran industri yang sebagian besarnya industri minyak itu sekira 58,8% di tahun 2010, lalu turun menjadi 45,9% di tahun 2015 dan turun lagi menjadi di bawah 45% pada tahun 2016.

Akibat dari terpangkasnya pemasukan dari minyak itu, angka pertumbuhan Saudi juga ikut terpangkas. Pada tahun 2011, ekonomi Saudi tumbuh sebesar 9,96%, kemudian mengalami penurunan di tahun 2015 menjadi 3,49% dan pada 2016 kembali turun menjadi 1%.

Di sisi lain, Saudi tetap tidak mau mengurangi angka liftingnya agar harga minyak naik kembali supaya pemasukan dari minyak bisa naik. Kemungkinan, kepentingan politik untuk “menghambat” pesaingnya yakni Iran yang juga banyak ditopang oleh minyak, lebih besar dari kepentingan Saudi untuk menaikkan pemasukan dengan kenaikan harga minyak. Sebab, jika harga minyak naik, Iran juga akan mendapat manfaat tidak sedikit dari kenaikan itu. Apalagi, sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap Iran sudah dicabut sebagai imbalan atas tunduknya Iran dalam isu nuklir  kepada PBB khususnya Amerika.  Jika Saudi mengurangi lifting dan dengan itu harga minyak naik kembali, boleh jadi justru Iran yang mendapat keuntungan lebih banyak. Di samping itu, penurunan lifting dan kenaikan pemasukan karena kenaikan harga minyak merupakan cara instan, cara dagang, bukan cara jangka panjang yang bisa memberikan struktur ekonomi yang kuat bagi Saudi.

Karena itu jalan yang lebih baik dan sistematis adalah dengan restrukturisasi ekonomi. Arab Saudi menggulirkan agenda sangat ambisius yang disebut dengan Vision 2030 pada 2016. Tujuannya, dalam waktu 14 tahun Saudi bisa mengembalikan kondisi ekonomi dengan mengandalkan sektor-sektor lain selain minyak.

Untuk tujuan itu, Arab Saudi harus melakukan diversifikasi ekonomi ke bidang lain -termasuk jasa-.  Seperti dilaporkan The Economist, sejak 2016, pemerintah Arab Saudi sudah mengumumkan bahwa negaranya tak ingin lagi memiliki ketergantungan terhadap minyak. Artinya, Arab Saudi wajib terlibat aktif dalam perdagangan internasional dan investasi.

Diversifikasi ekonomi dan sumber pemasukan melalui investasi ke luar negeri dijadikan pilihan. Di sinilah, agenda investasi yang mendominasi agenda kunjungan ke Asia, khususnya ke Indonesia kali ini, bisa dianggap sebagai implementasi dari rencana itu. Namun, investasi merupakan rencana jangka panjang dan tidak bisa segera mendatangkan pemasukan. Sementara Saudi sendiri membutuhkan pemasukan dana segar. Untuk itulah, Saudi memutuskan untuk menjual sebagian saham Saudi Aramco melalui IPO pada 2018 mendatang. IPO saham Saudi Aramco nanti diprediksi akan menjadi IPO terbesar di dunia. Sebab, kalau seandainya Arab Saudi melakukan IPO 5% saja dari saham Aramco, maka pemerintah Arab Saudi akan mendapatkan dana segar sekitar US$ 100 miliar atau sekira Rp 1.300 triliun (kurs 1 USD Rp 13.000). Disinilah arti penting tur Raja Salman ke Asia kali ini, yang salah satu misi utamanya adalah mencari calon pembeli potensial untuk IPO saham Saudi Aramco pada 2018 mendatang.

Dari sini, bisa dilihat bahwa tur Raja Salman ke Asia termasuk kunjungan ke Indonesia kali ini merupakan bagian dari agenda penyelamatan ekonomi Saudi.

 

Menimbang Investasi Saudi ke Indonesia

Ada sebagian pihak memiliki ekspektasi, investasi Saudi sebesar USD 25 miliar atau sekitar Rp 323 triliun, akan bisa menggusur cengkeraman China. Karena itu, kedatangan Raja Salman saat ini dianggap sebagai penyelamatan negeri ini dari cengkeraman China.

Pada paparan di atas, malah terlihat sebenarnya kunjungan saat ini lebih merupakan agenda penyelamatan ekonomi Saudi.

Dalam kaitannya dengan penanaman modal langsung ke Indonesia, menurut BKPM, Arab Saudi berada di peringkat 25 di tahun 2015 dengan nilai US$ 30,36 juta atau Rp 400 miliar. Namun di tahun 2016 turun di urutan ke-57 dengan besaran US$ 0,9 juta atau Rp 120 miliar.

Pertanyaannya, kenapa tiba-tiba kali ini Saudi melipatgandakan investasinya ke Indonesia? Faktor sentimen keislaman boleh jadi ada perannya meski tidak signifikan. Alasan prospek ekonomi mungkin lebih dominan.

Amerika Serikat, dengan Trump sebagai presidennya yang menerapkan kebijakan America First, dan mengancam akan mengenakan pajak yang besar untuk investasi luar negeri, tentu tidak lagi bisa menjadi pilihan menari bagi investasi Saudi. Apalagi angka pertumbuhan ekonomi Amerika juga sangat kecil.

Begitupun dengan Eropa. Eropa masih terbelit dengan krisis finansial dan ekonomi yang membelit beberapa negara anggotanya yang dampaknya menimpa seluruh negara Eropa. Angka pertumbuhan ekonomi Eropa juga sangat kecil.

Indonesia termasuk negara yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara di dunia. Apalagi, Indonesia diprediksi akan menjadi negara ekonomi nomor empat atau lima dalam beberapa tahun mendatang.  Pasar Indonesia juga akan terus berkembang seiring dengan makin berkembangnya ekonomi dan bertambahnya jumlah penduduk. Dengan kondisi dan prospek perekonomian Indonesia itu, tentu menjadi tujuan investasi yang sangat menarik bagi Saudi. Apalagi dalam hal itu bisa pula dimainkan sentimen keislaman.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga sedang gencar menarik investasi luar negeri. Maka gayung pun bersambut.

Investasi Saudi yang paling mungkin adalah di sektor industri minyak dan petrokimia. Sebab selama ini memang di sektor itulah, Saudi punya pengalaman. Sementara untuk sektor lain Saudi relatif belum punya pengalaman.

Di situlah sangat masuk akal jika investasi pertama dan besar Saudi di Indonesia adalah investasi pada pembangunan kilang minyak di Cilacap bekerja sama dengan Pertamina yang akan ditandatangani dalam kunjungan kali ini.

Juga sangat masuk akal jika di antara proposal investasi yang akan ditawarkan oleh Pertamina kepada Saudi adalah pembangunan kilang Bontang. Berikutnya tampaknya juga akan sangat mungkin disusul dengan investasi-investasi lain yang utamanya di sektor petrokimia.

Investasi pembangunan kilang di Cilacap sebesar USD 6 miliar memang akan memberikan keuntungan bagi negeri ini dan Saudi. Bagi negeri ini, dengan pembangunan kilang itu bisa diharapkan akan mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM dari Singapura.

Namun investasi ini sebenarnya penting sekali bagi Saudi. Investasi ini bisa dianggap “mengunci” sebagian dari pasar minyak Saudi. Seperti diketahui, saat ini sekira 19 persen impor minyak mentah negeri ini berasal dari Saudi. Dengan dibangunnya kilang itu, maka pasokan minyak mentahnya akan didatangkan dari Saudi. Itu artinya, sekaligus sebagian dari pasar minyak mentah Saudi bisa dikunci dan dijamin kelangsungannya.  Saudi jelas berkepentingan untuk mengamankan pasar minyak mentahnya. Saat ini, Amerika sudah tidak lagi menjadi konsumen utama minyak mentah Saudi. Amerika sudah makin mandiri memenuhi pasokan minyaknya dari produksinya sendiri baik dari minyak konvensional maupun dari minyak serpih (shale oil).

Untuk kepentingan yang sama pula, kunjungan Raja Salman ke China bisa dipahami titik pentingnya bagi Saudi. Sebab peminum terbesar minyak mentah Saudi adalah China. Selain kepentingan itu, juga ada kepentingan menjajaki calon pembeli potensial untuk IPO saham Aramco pada 2018 mendatang. Untuk yang terakhir ini, agaknya juga menjadi misi kunjungan Raja Salman ke Jepang.

 

Investasi Saudi Vs Cengkeraman China

Potensi investasi Saudi yang begitu besar, diharapkan mencapai USD 25 miliar atau sekira Rp 323 triliun, membuat sebagian pihak menarik ekspektasi hal itu bisa menggusur investasi dan utang dari China.  Ekspektasi itu agaknya jauh panggang dari api.

Sebab, Saudi bukan membawa dana segar yang bisa digunakan sesuai keinginan Pemerintah negeri ini. Jika pun begitu, belum tentu dana segar itu akan digunakan untuk melunasi utang ke China. Sebaliknya, dana yang dibawa atau ditawarkan oleh Saudi adalah untuk keperluan investasi pada sektor-sektor dan proyek tertentu.

Lebih dari itu, investasi Saudi tidak bersinggungan dengan investasi China. Investasi Saudi akan lebih dominan di sektor perminyakan dan petrokimia. Jika pun dikabarkan akan ada investasi Saudi di sektor perumahan, dan infrastruktur, termasuk jalan tol misalnya, itu baru kabar dan belum jelas di mana dan berapa besarnya.

Jadi investasi Saudi bukan di sektor infrastruktur dan properti yang selama ini dan nantinya menjadi jarahan investasi China. Apalagi, infrastruktur di Saudi sendiri, misalnya kereta, digarap oleh China. Investasi Saudi juga tidak menjadi substitusi investasi China.

Dari semua itu, terlalu jauh jika berharap bahwa dengan investasi Saudi ini cengkeraman China akan bisa dipangkas atau bahkan dihilangkan. Sebaliknya, keduanya akan berjalan bersamaan. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []Yahya Abdurrahman-LS DPP HTI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*