Kegagalan Pendidikan di Barat (Bagian 2): Kecacatan Sistem Pendidikan di Berbagai Negara
“Pendidikan itu sendiri adalah penangguhan, penundaan; kita dinasehati agar bekerja keras supaya mendapatkan nilai bagus. Kenapa? Supaya kita bisa mendapatkan pekerjaan bagus. Apa itu pekerjaan yang bagus? Pekerjaan yang gajinya tinggi. Oh. Itu saja? Semua penderitaan ini, hanya agar kita bisa mendapatkan banyak uang, yang bahkan jika kita berhasil mendapatkannya pun tidak akan menyelesaikan masalah kita, bukan? Ini adalah ide sempit yang tragis tentang untuk apa hidup ini sesungguhnya.” -Tom Hodgkinson
Sebuah tawaran untuk memahami tradisi pendidikan Barat, seri artikel ini akan berusaha untuk menganalisa sistem-sistem pendidikan yang mendapatkan penghargaan tertinggi, dan menggaris-bawahi masalah yang menempel pada sistem tersebut. Survei 2015/2016 terkait negara dengan hasil pendidikan terbaik menempatkan Korea Selatan pada no. 1 diikuti oleh Jepang di no. 2 dan Finlandia di no. 5. Sistem pendidikan Singapura yang berada pada posisi 3 menunjukkan banyak persoalan pendidikan yang sama dengan Korea Selatan. Sementara Hong Kong di no. 4 cukup mirip dengan sistem pendidikan di Inggris, sehingga artikel ini hanya berfokus pada negara yang disebutkan di awal.
- Korea Selatan
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan di Korea Selatan menurut laporan yang dibawa oleh Mentri Pendidikan pada 1996 adalah sebagai berikut:
“Untuk membantu perkembangan kepribadian dan kemampuan yang dibutuhkan setiap siswa untuk mempertahankan dan menguatkan tulang punggung negara; untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan kecakapan siswa dalam rangka mempersiapkan mereka pada pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat; untuk mempromosikan otonomi setiap siswa, perkembangan emosi, dan pemikiran kritis (critical thinking) agar dapat digunakan baik di dalam maupun di luar sekolah; dan untuk meningkatkan kekuatan fisik dan mengembangkan jiwa yang tenang.”
Sistem pendidikan dibagi menjadi tiga bagian, mirip seperti sistem pendidikan lain namun dalam istilah berbeda: enam tahun sekolah dasar, tiga tahun sekolah menengah dan diikuti tiga tahun sekolah tinggi (SMA). Sekitar 25% lulusan sekolah menengah melanjutkan di pendidikan vokasi (SMK), sementara mayoritas lainnya ke SMA dan mengejar pendidikan tinggi yang telah mereka siapkan sejak sangat dini, yaitu sejak TK.
Dengan bertenggernya Korsel di no. 1 pada 2015-2016 dan no. 2 pada 2012, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah anak-anak hadir di sekolah tujuh hari seminggu. Sebuah perbedaan mencolok mengenai pendekatan pendidikan di Korsel dibandingkan negara lain. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah pengajaran “pendidikan moral”, topik yang tidak sering dibahas di Inggris dan Amerika. Hal ketiga yang akan kami soroti adalah jadwal pelajaran di sekolah. Jadwal dimulai pukul 8 pagi, sesi pelajaran masing-masing 50 menit, istirahat pagi, jam makan siang dan diakhiri dengan membersihkan kelas. Richard Diem, Tedd Levy dan Ronald Van Sickle yang menulis makalah tentang pendidikan di Korsel, menyatakan pernyataan berikut: “Siswa mungkin akan makan malam singkat di rumah masing-masing, atau mereka akan makan di sekolah. Guru biasanya pindah dari satu kelas ke kelas yang lain, sementara siswa tetap di kelas yang sama. … Siswa kembali ke perpustakaan sekolah untuk belajar atau pergi ke lembaga swasta untuk mendapatkan bimbingan belajar sampai sekitar jam 10 malam hingga tengah malam. Mereka pulang ke rumah, makan camilan, mendengarkan musik, menonton tv sebelum akhirnya pergi tidur. Siswa sekolah dasar dan menengah mengalami hal yang mirip namun harinya tidak terlalu padat dengan jam pelajaran yang lebih pendek dan lebih banyak aktivitas rekreasional.”
Masalah dan Tantangan
“Kecemasan yang anak rasakan saat dites secara terus–menerus, rasa takut gagal, takut hukuman dan aib dengan sangat parah mengurangi kemampuan mereka untuk memahami dan mengingat. Membuat mereka jauh dari materi yang dipelajari lalu mencari strategi untuk membodohi guru agar yakin bahwa siswa tahu apa yang sebenarnya mereka tidak tahu.” – John Holt –
Pandangan sekilas pada sistem pendidikan Korsel menunjukkan pada kita bukti bahwa ilmu pengetahuan yang berpijak pada ekonomi berkembang subur dan memamerkan kesuksesan ekonomi yang mencengangkan. Tingkat literasi 97,9% (99,2% pria dan 96,6% wanita), dan jumlah tertinggi sarjana sains per 100.000 penduduk berumur 25-34 baik pria maupun wanita.
Namun, dengan statistik yang mengesankan seperti itu, sebuah laporan nasional dari Mentri Pendidikan dan SDM Republik Korea Selatan dalam pertemuan Kantor Pendidikan internasional (International Bureau of Education) mengidentifikasi tiga kegagalan kunci di sistem pendidikan Korea Selatan, tiga masalah yang diteriakkan oleh siswa-siswi Korsel.
1) Kompetisi Masuk Perguruan Tinggi yang Terlalu Sengit
Kompetisi sengit yang harus dihadapi oleh siswa di Korsel telah mengubah tujuan pendidikan. Bukan lagi dipandang sebagai tempat untuk mengembangkan diri dan kreativitas, namun hanya sebagai instrumen yang digunakan untuk membantu agar bisa masuk universitas top. Jadi, ‘nilai’ adalah yang paling penting dan menjadi satu-satunya tujuan bagi siswa dan orang tua siswa.
2) Pengeluaran Biaya Untuk Bimbingan Belajar
Kompetisi yang penuh kesengitan dalam sektor pendidikan mendorong kebutuhan pendidikan tambahan selain di sekolah negeri. Murid-murid mendapatkan tambahan jam belajar di lembaga akademik swasta (bimbingan belajar) agar peluang mereka untuk lulus ke perguruan tinggi membesar. Namun, pengeluaran finansial yang dilakukan sudah kelewat batas. Total biaya yang dihabiskan siswa SMA dan keluarganya untuk bimbingan belajar sebanyak $ 11373 juta pada 2002. Ini sebesar 2,3% GDP Korea dan 55% dari budget pendidikan.
3) Manajemen Akademik yang Kaku
Kutipan dari sebuah penelitian menunjukkan pada kita bahwa walaupun manajemen akademik membaik, sekolah di Korea Selatan masih menjalankan sudut pandang penyedia jasa pendidikan, alih-alih siswa. Para siswa masih tidak diizinkan untuk memilih sekolah, dan evaluasi kinerja guru tidak dilakukan dengan baik.’
Se-Woong Koo, dosen Kajian Korea di Universitas Yale, menggemukakan masalah di dalam sistem pendidikan saat ia mencerca tradisi sekolah Korea Selatan yang terlalu kaku dan tidak mengizinkan siswa untuk mengekspresikan pandangan mereka atau mengembangkan pemikiran rasional. Koo menulis di The New York Times terkait kekurangan pendidikan Korea Selatan; “Dunia mungkin memandang Korea Selatan sebagai model untuk pendidikan – siswa-siswinya menempati ranking terbaik pada tes pendidikan internasional – namun sisi gelap sistem membuat bayang-bayang panjang. Didominasi oleh tiger moms (ibu yang sangat disiplin & menuntut), sekolah yang menjejali pengetahuan, dan guru yang sangat otoriter, pendidikan Korea Selatan menghasilkan barisan siswa over-prestatif yang harus ditukar dengan harga mahal: kesehatan dan kebahagian. Keseluruhan program pendidikan sama seperti kekerasan pada anak.” Lalu Se Woong Ko menulis tentang pandangan seorang intelektual reformis, Yi Kwang Su, tentang anak muda di Korea dan mengutip tulisannya yang membandingkan siswa Korea Selatan dengan “budak atau hewan ternak”.
Pada penutup tulisannya, Koo menulis hal berikut, yang dengan jitu meringkas sentimennya terhadap sistem dan menggaris-bawahi ketidakpuasan masyarakat: “Sebelum Korea Selatan dijadikan model untuk abad ke 21, Korea harus mengakhiri sistem feodal kuno yang mewariskan sistem pendidikan ini dan merenungkan apa yang diinginkan oleh warganya yang paling lemah.”
Diamini dari waktu ke waktu oleh berbagai akademisi, jurnalis, orang tua, siswa dll, masalah ini tetap lazim dalam masyarakat Korea Selatan. Pada tulisan untuk Majalah Time, Emily Rauhala berbicara atas nama pemuda di Korea Selatan dan menulis; “Bagi anak muda di Korea sekarang, bagaimanapun, hidup ini penuh target yang mustahil. Anda harus pergi ke universitas yang tepat, mendapatkan pekerjaan yang tepat dan menikah dengan orang yang tepat. Lalu ketika anak-anak Anda lahir, Anda harus menempatkan mereka untuk melalui cobaan dan kesengsaraan yang sama. Life is in some ways impossible.”
- Jepang
Tujuan Pendidikan
Tujuan dan arah umum pendidikan Jepang telah ditetapkan dalam Konstitusi Jepang yang dibuat pada 1964 dan digantikan oleh Hukum Dasar Pendidikan pada 1947, yaitu sebagai berikut: “Perkembangan kepribadian yang utuh, bekerja keras untuk melayani masyarakat, sehat pikiran dan tubuh, mencintai kebenaran dan keadilan, menghargai nilai individu, hormat terhadap pekerjaan dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar.”
Mirip dengan sistem pendidikan Korea Selatan, sistem sekolah Jepang juga dibagi menjadi tiga bagian: sekolah dasar, SMP dan SMA. Sekolah berlangsung selama enam jam per hari lalu diikuti dengan latihan dan PR, namun Minggu tidak termasuk hari sekolah. Tahun ajaran bagi siswa Jepang mulai pada April saat puncak musim semi dan bunga sakura, tidak seperti negara lainnya yang memulai tahun ajaran di bulan September.
Berkebalikan dangan Korea Selatan, 85% siswa Jepang dilaporkan merasa bahagia di sekolah dan sering makan dengan guru mereka saat jam makan siang dalam rangka membangun hubungan 5yang baik. Jepang juga terbaik sedunia dalam hal tingkat literasi dengan capaian memukau, 99% dari seluruh penduduk negeri.
Semester kedua dimulai pada bulan September hingga Desember. Walaupun statistik kepuasan relatif tinggi, kejadian bunuh diri tertinggi di Jepang terjadi pada 1 September saat dimulainya semester kedua. Hal ini dinyatakan sebagai akibat tekanan yang siswa hadapi di sekolah, namun penjelasan yang lebih tepat ada pada epidemi perundungan (bullying) yang menyebar secara luas di sekolah-sekolah Jepang.
Masalah dan Tantangan
“Di awal era 70an siswa mulai memberontak melawan sistem. Sebagian siswa mulai menolak untuk hadir di sekolah; beberapa mulai melakukan kekerasan terhadap sesama siswa; beberapa lainnya mulai menyerang guru mereka sambil sebagian dari mereka merusak properti sekolah.” – An Insider’s Guide to the Real Japan (2005).
Isu utama yang dihadapi sistem pendidikan Jepang, namun tidak terbatas pada hal ini, yaitu:
- Mangkir Sekolah
Selama bertahun-tahun, jumlah siswa yang menolak atau membolos sekolah meningkat dengan signifikan. Sebagian membolos sampai 30 hari dari tahun ajaran. Pada 1991, jumlah yang terlaporkan sebanyak 12.645 siswa SD membolos, meningkat menjadi 26.047 pada 1999. Di sekolah menengah, jumlah yang membolos sebanyak 54.172 pada 1991, dan mengganda pada 1999. Menurut John Nathan, angkanya seperti berikut, “Estimasi konservatif adalah 150.000 anak berumur antara 6 s.d. 17 tahun secara permanen absen dari sekolah. Perhitungan lain, memperkirakan dari kondisi kelas-kelas di sekolah, yaitu 5% dari jumlah total siswa, 350.000 anak, telah membolos secara kronis.”
- Disiplin
Dalam buku The Japanese Self in Cultural Logic, Takie Sugiyama Lebra menulis masalah kedisiplinan menyebar luas di sekolah-sekolah Jepang. Dia menyebutkan bagaimana guru tidak lagi dihormati, baik di antara muridnya atau di antara para orang tua siswa, yang dikenal sebagai pendukung otoritas guru.
Aaron Joseph, seorang asisten guru bahasa mengandalkan aturan sekolah untuk menegakkan disiplin; karena hal ini bukan urusan mereka (guru), “Cukup jelas saat orientasi bahwa kedisiplinan bukanlah urusan kami.”
- Perundungan (Bullying)
Masalah perundungan, atau Ijme dalam bahasa Jepang, disebutkan sebagai alasan sesungguhnya mengapa angka bolos di Jepang sangat tinggi. Menurut mantan Perdana Mentri Ryutaro Hashimoto, 100.000 siswa menolak pergi sekolah karena takut. Menurut statistik, sepertiga siswa sekolah negeri telah melaporkan sebagai korban perundungan dalam berbagai bentuk: diejek, ancaman verbal, kekerasan fisik, dijauhi, disembunyikan barangnya, pemaksaan, dll.
- Buku Pelajaran Kontroversial
Pada Januari 1996, sekelompok professor universitas membentuk Society for the Creation of a New History. Misi mereka untuk membuat buku pelajaran SMP yang dirancang untuk mengembalikan keseimbangan ‘versi masokis sejarah’ yang efeknya, menurut mereka, telah menanamkan perasaan horor dan malu pada anak sekolah tentang masa lalu Jepang. Dalam pandangan mereka, versi resmi sejarah terkait motivasi dan perilaku Jepang selama Perang dunia II adalah fitnah pada bangsa sendiri. Versi ini diajarkan dalam buku pelajaran sekolah menengah sejak tahun 1947, dan dianggap paling bertanggung jawab atas ketidakpastian dan patahnya semangat yang menimpa masyarakat Jepang.” Japan Unbound: A Volatile Nation’s Quest for Pride and Purpose.
- Kekerasan
Di sekolah menengah atas, kekerasan di sekolah telah melesat dari 7,5% pada 1986
menjadi 22% pada 1996. Dalam buku Unmasking Japan Today: The Impact of Traditional Values on Modern Japanese Society, sang penulis menguak pola yang mengusik: pelaku utama kekerasan adalah siswa berprestasi yang meluapkan amarah mereka, seringnya, pada ibu mereka sendiri.
Akademika Jepang masih bertanya-tanya apakah ini akibat pengaruh negara lain seperti Amerika Serikat. Ide barat yang mempengaruhi anak muda Jepang dan mengakibatkan kemerosotan rasa hormat, peningkatan kekerasan, dan penolakan secara umum terkait nilai-nilai keluarga tradisonal yang turun temurun di sekolah Jepang. Meskipun demikian, dalam bukunya: Japan Unbound: A Volatile Nation’s Quest for Pride and Purpose, John Nathan percaya bahwa manyoritas siswa sekolah Jepang masih memiliki “Kesungguhan dan kepolosan yang selalu membedakan mereka.” Dia juga mengungkap skeptisme yang semakin tinggi pada orang Jepang dalam melihat hubungan setengah abad mereka dengan Amerika Serikat.
- Finlandia
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan publik di Finlandia tertulis pada Reformasi Pendidikan Finlandia sebagai berikut:
“Pendidikan publik menjamin setiap anak mendapatkan pendidikan dasar yang baik dan kesempatan setara untuk pendidikan lanjut. Pendidikan publik juga menyetarakan berbagai perbedaan yang dihasilkan oleh ketidaksetaraan dan karakteristik sosio-ekonomi yang berbeda bagi pelajar.” Singkatnya, pendidikan publik adalah Hak Asasi Manusia dan pelayanan dasar untuk semua anak dan keluarganya. Salah satu faktor kunci dibalik bagus dan pantasnya pendidikan Finlandia dalam pengkajian internasional adalah peran kuat dari pendidikan negeri. “Sekolah negeri memiliki peran penting dalam membangun negara demokrasi di atas sini, di Utara.”
Sistem sekolah wajib dibagi menjadi tiga bagian, yaitu satu tahun di pendidikan pra-sekolah, diikuti sembilan tahun pendidikan dasar dan 3-4 tahun di pendidikan tingkat lanjut. Pendidikan tinggi di Finlandia juga disediakan gratis untuk masyarakat dan jalur vokasi sangat dianjurkan.
Masalah dan Tantangan
Finlandia layak mendapatkan pengakuan untuk reformasi yang mengakar dan menyeluruh dalam sistem pendidikannya. Mereka terbukti meraih kesuksesan yang belum pernah dicapai sebelumnya dengan secara konsisten menempati posisi atas dalam ranking PISA (Programme for International Student Assessment). Namun apa yang sering keliru terkait orang Finlandia dan standar pendidikan emas mereka adalah konteks.
- Guru Ditempatkan Sebagai Faktor Tunggal di Balik Pencapaian Pendidikan Finlandia
Sudah diketahui bersama bahwa sistem pendidikan Finlandia menempatkan guru pada posisi yang sangat penting. Dengan hanya 11% dari pelamar yang diterima pada profesi ini. Namun, hal yang keliru adalah pelamar untuk posisi guru sering diharapkan sudah menyelesaikan pendidikan Master, sehingga meninggalkan di belakang bagi sarjana yang memenuhi kualifikasi setara pelamar lulusan S2. Ide mengajar lebih bersandar pada mata pelajaran ilmu pengetahuan dan kualifikasi terkait bukan kecakapan (skills) dan kemampuan (ability). Masalah lain, dengan memberikan fokus hanya pada guru, sistem pendidikan mengabaikan bagaimana pendekatan siswa dalam belajar. Finlandia juga jatuh secara signifikan dalam studi sains dan matematika internasional, yang menggaris-bawahi bahwa pengajaran yang baik bukanlah satu-satunya prasyarat untuk mendapatkan kesuksesan dalam pendidikan.
- Tingkat Bunuh Diri
Dalam grafik laporan yang menyoroti persentase siswa yang merasa bahagia di sekolah, OECD[1] memberi catatan bahwa siswa Finlandia berada di bawah rata-rata yaitu berada di posisi 60 dari 64 negara yang diukur, dengan Korea Selatan di posisi paling bawah (tidak bahagia) dan Indonesia menempati posisi paling atas (paling bahagia). Tingkat bunuh diri pada anak muda di Finlandia juga tinggi dalam standar Uni Eropa. Rendahnya peran sekolah sering dituduh sebagai penyebabnya.
- Papan Angka
Maarit Korhonen di dalam bukunya Wake Up School! mengkritisi sistem Finlandia dan melabelinya sebagai “dangkal dan kuno”. Dia terus menyebutnya sebagai sistem yang terbatas pada grafik PISA dengan mengorbankan 2 dari 3 siswa yang menerima pendidikan di bawah standar. Perbandingan hasil PISA dengan TIMMS[2] mengindikasikan bahwa terdapat fokus yang kuat di subjek literasi (kemampuan memahami bacaan), namun tidak pada aspek lainnya – esensinya bukanlah sebuah pendekatan holistik untuk perkembangan siswa.
Ketika membahas kesuksesan pendidikan di Finlandia, akan bijak jika kita menyadari negeri ini hanya ditinggali populasi yang sangat kecil dan homogen, hanya sekitar lima juta penduduk. Menjadi negeri berpenduduk sedikit, ras cenderung homogen dan hanya berbahasa Finnish berkontribusi besar terhadap kesuksesan pendidikan di Finlandia. Namun apa yang sistem pendidikan Finlandia tidak miliki adalah pembahasan berbagai isu berbeda yang dihadapi dunia pendidikan global. Finlandia tidak memiliki keragaman budaya, agama, ras dan bahasa sebagaimana negara lain, juga tidak memiliki masalah kemiskinan seperti yang banyak ditemukan di negara lain. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem yang Finlandia miliki saat ini bukanlah sesuatu yang bisa diaplikasikan dalam skala universal, karena tidak memiliki solusi fundamental pada isu-isu tersebut.
Kecacatan-Kecacatan
Setelah meninjau beberapa tradisi pendidikan berbeda, kita dapat menyimpulkan apa yang menyebabkan sistem-sistem ini gagal adalah tujuannya. Tujuan utama dari setiap sistem adalah kesuksesan untuk pencapaian dangkal (superficial) dan duniawi. Menyebabkan pengeluaran untuk bimbingan belajar sangat tinggi, dan kekosongan dimensi spritual dan moral telah menyebabkan ketidakpuasan pada siswa dan mengarahkan pada tingkat bunuh diri yang mencengangkan, juga masalah-masalah kedisiplinan. Kekosongan ini juga menyebabkan kemunduran moral seperti kekerasan seksual pada anak umur 5 tahun, penipuan, menyerobot, perundungan, bolos, perlawanan terhadap aturan. Ketika moral tidak memiliki dasar aqidah dan hanya masalah pilihan, pendidikan siswa menjadi sulit. Kemunduran secara umum pada moralitas telah memberikan pengaruh buruk pada standar pengajaran dan pembelajaran.
Mayoritas negara dengan pendidikan top seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Finlandia dll, adalah negara yang cenderung homogen dengan konteksnya sendiri. Negara yang berada di puncak pencapaian dalam pendidikan juga hadir dengan jajaran masalah. Namun masalah utama ketika mengadopsi berbagai sistem ini dan menyebut mereka sebaga standar emas, adalah sistem tersebut tidak dapat diaplikasikan secara universal.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh
Reem Ahmed
References:
http://world.time.com/2012/12/06/is-south-korea-the-greatest-success-story-of-the-last-century/
http://www.ibe.unesco.org/National_Reports/ICE_2004/korearep.pdf
http://ncee.org/what-we-do/center-on-international-education-benchmarking/top-performing-countries/south-korea-overview/
https://www.nytimes.com/2014/08/02/opinion/sunday/south-koreas-education-system-hurts-students.html?_r=0
http://datatopics.worldbank.org/hnp/files/edstats/JPNwde07.pdf
https://www.tokyo-icc.jp/guide_eng/educ/01.html
http://www.huffingtonpost.com/uloop/japans-education-disaster_b_8691650.html
http://www.bookmice.net/darkchilde/japan/problems.html
https://pasisahlberg.com/four-questions-about-education-in-finland/
http://www.bookmice.net/darkchilde/japan/problems.html
http://www.japantimes.co.jp/community/2013/10/27/issues/when-it-comes-to-discipline-in-class-leave-it-to-the-locals/#.WJnthoXXKKU
http://donaldclarkplanb.blogspot.co.uk/2015/01/why-finland-is-finished-as-role-model.html
http://www.huffingtonpost.com/nicole-stellon-odonnell/we-cant-learn-from-finlands-schools_b_9513544.html
Holt, John. (1964). How children fail. 1st ed. New York: Pitman.
Kumagai, F. and Keyser, D. (1996). Unmasking Japan today. 1st ed. Westport, Conn.: Praeger.
Lebra, T. (n.d.). The Japanese self in cultural logic. 1st ed.
Nathan, John. (2004). Japan unbound. 1st ed. Boston: Houghton Mifflin.
Ohta, T. (1986). Problems and Perspectives in Japanese Education. Comparative Education, 22(1), pp.27-30.
[1] OECD – Organisation for Economic Co-operation and Development
[2] Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) adalah Studi Internasional yang dirancang dan diorganisasikan oleh The International Association for Evaluation of International Achievement (IEA) untuk membandingkan prestasi Matematika dan IPA di beberapa negara, setiap 4 tahun sekali.